Jumat, 26 Desember 2014

Membangun Desa Mandiri

                                        Membangun Desa Mandiri

Herry Firdaus  ;   Sekretaris Petani Center dan Anggota Forum Alumni IPB
KORAN SINDO,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


Sejak dilantik 27 Oktober 2014 lalu, para menteri Kabinet Kerja langsung tancap gas. Beberapa menteri bergegas melakukan blusukan untuk mengetahui detail lapangan. Sebagaimana Presiden Joko Widodo, virus blusukan menjadi salah satu faktor kunci sejauh mana program-program langsung menyentuh hajat hidup masyarakat, tingkat akseptabilitas masyarakat, kapabilitas pengambil kebijakan, ataupun daya dukung di masyarakat itu sendiri. Di sinilah peran penting gaya blusukan yang ditularkan Presiden Jokowi kepada para menterinya.

Salah satu kementerian baru yang menjadi sorotan adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDT dan Trans). Kementerian baru pemerintahan Presiden Jokowi ini merupakan gabungan secara parsial antara Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dengan Direktorat Jenderal Transmigrasi dan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, yang semula masingmasing menjadi bagian dari Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Dalam Negeri.

Mengapa kementerian ini relatif menjadi sorotan? Ada tiga hal yang menjadikan kementerian ini memiliki peran yang cukup kuat dan vital. Pertama , payung hukum dalam bentuk Undang-Undang Desa. UU yang disahkan pada 15 Januari 2014 menjelang akhir masa pemerintahan Presiden SBY, adalah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai peraturan pelaksanaannya.

Amanat dalam UU tersebut sangat jelas. Salah satunya yang pernah menjadi diskusi hangat publik adalah dana desa. Amanat UU malah menetapkan 10% dari dana perimbangan, di luar dana transfer daerah, setelah dikurangi dana alokasi khusus akan diterima oleh desa. Diperkirakan jumlah tersebut bisa mencapai sekitar Rp103,6 triliun.

Jumlah tersebut akan dibagi ke 74.000 desa se-Indonesia, sehingga masing-masing desa diperkirakan akan memperoleh dana sekitar Rp1,4 miliar per tahun. Tentu saja dana yang cukup besar tersebut menuntut desa untuk melakukan perubahan, penguatan secara internal secara organisasi pemerintahan desa yang lebih efektif, profesional, transparan, dan akuntabel.

Pengaturan desa seperti tersebut dalam UU merupakan upaya untuk memajukan perekonomian dan pembangunan sektor-sektor penting di pedesaan. Kedua, daya dukung desa. Sesuai amanat UU Desa, dengan dukungan dana yang cukup besar, desa dituntut lebih mampu mengorganisasi diri. Tumpuan pembangunan yang bergulir ke pinggiran, yaitu desa-desa, maka daya dukung desa perlu ditingkatkan.

Penguatan aparatur desa dalam hal perencanaan pembangunan, akuntabilitas, untuk menghasilkan kinerja yang efektif, transparan, bersih, dan bisa dipercaya. Tanpa adanya pendampingan dan pelatihan yang digulirkan baik dari LSM maupun pemerintah, bisa jadi daya dukung desa kurang optimal. Berkaitan dengan daya dukung desa, perlu diketahui bahwa antara desa yang satu dan desa yang lain memiliki perbedaan yang signifikan.

Pun dengan keunikan cita rasa adat lokal. Maka dengan tanpa mengurangi keunikan cita rasa lokal, pemerintah dituntut lebih jeli menimba potensi lokal berikut pengembangannya. Hal yang sama dialami desa-desa di perbatasan. Diperlukan pendekatan berbeda. Sebagai jendela sebuah negara, desa-desa di daerah perbatasan masih banyak yang memiliki problem utama. Infrastruktur, misalnya.

Ketiga, hadirnya negara. Negara yang hadir tidak hanya memberikan payung hukum berupa UU, atau telah bergerak sesuai amanat UU saja. Pada titik yang lain, negara sebagai fasilitator dan melakukan pendampingan untuk mengangkat derajat desa. Negara tak hanya mendekati pembangunan desa sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek.

Memberikan fasilitas pada segenap masyarakat desa untuk bisa mengelola, mengorganisasi, dan membuat perencanaan pembangunan desa sesuai amanat lokal. Harapannya adalah desa mampu mengangkat dirinya sendiri dengan pemerintah sebagai fasilitator dan mentornya. Pemerintah mampu mengelola suatu kebijakan untuk mendorong komitmen pemegang kunci pembangunan di desa.

Pemerintah, dengan segala kekuatan perangkat yang dimilikinya, harus hadir untuk menggenapi efek psikologis UU Desa yang sangat memberikan peluang berkembangnya desa-desa mandiri, sehingga jangan sampai desa menjadi salah kelola hanya karena ketidaktahuan aparaturnya karena persoalan administrasi, atau akunting, misalnya.

Gambaran tersebut menunjukkan tugas menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tidak ringan. Sebab selain persoalan di atas, Kementerian yang saat ini dipercayakan kepada politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar itu juga masih perlu menyatukan persepsi dari tiga kementerian secara parsial.

Dengan pengalaman selama 10 tahun sebagai anggota di Komisi Bidang Infrastruktur DPR, Marwan diharapkan memahami persoalan di daerah tertinggal, perbatasan ataupun terpencil. Dia menjabat ketua Fraksi PKB DPR RI periode 2009-2014, yang juga menjadi inisiator RUU Desa. Semoga pengalaman tersebut menjadi modal terwujudnya desa yang lebih kuat, maju, mandiri, demokratis dan sejahtera.

Menteri Desa menyarikan tantangan dari berbagai blusukan yang dilakukan dan menyusun program kerja prioritas yang disebutnya sebagai Nawakerja 2015. Berikut adalah program kerjanya: Gerakan 5.000 Desa Mandiri, pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur di desa, mendorong pembentukan dan pengembangan 5.000 BUM desa, pembangunan infrastruktur untuk mendukung penguatan produk unggulan di 5.000 desa mandiri,

revitalisasi pasar desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, penyiapan implementasi penyaluran dana desa Rp1,4 miliar per desa secara bertahap, penyaluran modal bagi koperasi/UKM di 5.000 desa, pilot project sistem pelayanan publik jaringan koneksi online di 5.000 desa, dan program ”Save Villages” di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil.

Nawakerja yang digagas Marwan Jafar sebenarnya sejurus dengan sembilan agenda strategis prioritas (Nawacita) Presiden Jokowi, terutama pada poin tiga, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Dan Nawacita itu diperkuat dengan strategi pembangunan nasional, yang di antaranya sangat berkaitan dengan desa yang menjadi kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan bahwa Kementerian Desa bahkan menjadi salah satu pilar utama yang menampakkan keberpihakan secara riil negara kepada rakyatnya, sekaligus sebagai pusat koordinasi pembangunan desa yang memiliki interkonektivitas dengan desa-desa yang lain.

Tujuannya adalah peningkatan kemampuan daya saing. Korea Selatan, misalnya. Salah satu negara kuat di Asia ini dikenal sebagai negeri industri baru. Meski begitu, Korea Selatan tetap mempertahankan Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Desa (Ministry of Agriculture, Food, and Rural Affairs).

Kemudian ada Malaysia, negeri tetangga dekat Indonesia, juga memiliki Kementerian Pembangunan Desa dan Regional (Ministry of Rural and Regional Development). Sedangkan Tiongkok, raksasa ekonomi Asia, juga yang memiliki Ministry of Housing and Urban-Rural Development atau India yang memiliki Kementerian Pembangunan Desa (Ministry of Rural Deelopment), yang mengoordinasikan berbagai kegiatan seperti rural livelihood, rural connectivity, dan national social assitance.

Negara-negara tersebut tentu saja memahami bahwa dengan memperkuat desa maka otomatis memperkuat manusianya, yang kemudian bisa memperkukuh pilar ketahanan ekonomi nasional. Membangun desa adalah tugas utama pemerintahan yang memiliki banyak makna strategis, karena jika rakyat di pedesaan memiliki suatu daya ekonomi maka ekonomi seluruh bangsa akan merasakan manfaatnya, sehingga perlu dikelola oleh satu kementerian khusus bernama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Di sinilah diperlukan kehadiran negara. Pada sisi yang lain, desa juga perlu untuk mendorong dirinya sendiri sebagai entitas yang memiliki kehidupan dan penghidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar