Senin, 29 Desember 2014

Menanti Gebrakan Riset Perguruan Tinggi

Menanti Gebrakan Riset Perguruan Tinggi

Rakhmat Hidayat  ;   Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ);
PhD Lulusan Universit Lumire Lyon 2 France
KORAN SINDO,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


Secara resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) sudah dipisahkan dari naungan Kemendikbud dan berada di bawah tanggung jawab Kemenristek yang kemudian nomenklaturnya berubah menjadi Kemenristek-Dikti.

Sebelum perubahan ini, banyak akademisi yang mendesak agar Dikti dikelola satu atap dengan Ristek dan desakan tersebut direspons oleh Pemerintahan Joko Widodo. Saya kira poinnya adalah masyarakat kampus sepakat bahwa Dikti harus dikolaborasikan dalam kebijakan Ristek agar lebih memiliki dampak dan manfaat nyata dan memiliki koneksitas dengan dunia industri.

Setelah pelantikan Kabinet Kerja kemudian dilanjutkan dengan serah terima jabatan Kemenristek- Dikti, kini saatnya kita menagih gebrakan dan terobosan yang akan dilakukan kementerian ini dalam mengakselerasi kebijakan Dikti dalam naungan Kemenristek-Dikti. Kata kuncinya adalah perguruan tinggi, riset, dan dunia industri.

Menristek-Dikti Dr Nasir menuturkan, agenda pertama kementeriannya setelah pelantikan adalah reorganisasi yang menekankan bahwa penggabungan Dirjen Dikti akan berjalan lancar tanpa memberikan efek kepegawaian. Menteri menargetkan reorganisasi akan selesai pada akhir Desember 2014.

Terkait reorganisasi tersebut, Menteri Nasir mengatakan bahwa pegawai di Kementerian Ristek dan Dirjen Dikti tak perlu khawatir. Sesuai arahan Presiden, Menteri Nasir mengatakan akan menggunakan sumber daya yang ada untuk segera memulai program. Tahun 2014 akan berakhir dan masa reorganisasi Kemenristek-Dikti juga akan segera selesai.

Tahun 2015 adalah waktu di mana realisasi program-program riset perguruan tinggi yang dinantikan seluruh pemangku kepentingan pendidikan tinggi. Ini sekaligus menjadi ekspektasi kita pada 2015 dalam menunggu terobosan riset di perguruan tinggi.

Globalisasi

Pernyataan Gerard Delanty benar dalam bukunya, Challenging Knowledge;The University in The Knowledge Society (2001), bahwa saat ini universitas berada di antara globalisasi dan kapitalisme akademik. Ketika menjelaskan tema ini, Delanty mengatakan bahwa universitas mengalami transformasi yang sangat pesat.

Pertama, universitas, sebagaimana perspektif konvensional, hanya dianggap sebagai agen utama produsen pengetahuan. Hari ini cara pandang itu perlahan-lahan mulai terbantahkan. Bahwa sebagai konsekuensi logis globalisasi, universitas bukan satu-satunya otoritas tunggal produsen pengetahuan.

Selain universitas terdapat korporasi atau media yang juga kian diperhitungkan sebagai produsen pengetahuan. Kedua, saat ini universitas semakin terintegrasikan dengan dunia global. Universitas mengalami persinggungan di antara transnasionalisasi komunikasi, pasar, dan modal. Membaca konteks Indonesia dengan cara pandang Delanty rasanya sangat tepat.

Sebagai bagian dari komunitas global, universitas di Indonesia juga berada dalam kondisi yang sudah dijelaskan Delanty. Dalam praktiknya, kita melihat apa yang disampaikan Delanty, yaitu universitas berada dalam ranah globalisasi.

Meski tesis Delanty relevan dalam melihat posisi universitas di Indonesia dalam ranah globalisasi, kondisi Indonesia masih berkutat dengan setumpuk masalah yang tak kunjung usai. Seolah kita melihat wajah universitas berada dalam posisi yang paradoks. Di satu sisi berada dalam akselerasi globalisasi, di sisi lain masih menghadapi berbagai persoalan internal.

Politik Pendidikan

Paling tidak ada dua masalah utama yang sangat prinsip dalam diskursus universitas di Indonesia. Pertama, kita masih terjebak dengan riuh politik pendidikan yang menjadi acuan pengelolaan universitas. Energi republik ini terkuras habis dalam memikirkan polemik otonomi versus komersialisasi pendidikan.

Dari UU BHP hingga UU Pendidikan Tinggi. Benang merahnya sama: komersialisasi masih dianggap sebagai momok menakutkan dalam manajemen universitas. Otonomi dianggap sebagai zombi yang menyeramkan bagi masa depan universitas. Muncul resistensi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi bagi universitas. Padahal, secara filosofis, otonomi selalu melekat dalam sosok universitas.

Deklarasi Bologna 18 September 1988, yang kemudian dikenal dengan Magna Charta Universitatum, dengan tegas menyebutkan otonomi sebagai prinsip fundamental universitas. Otonomi dari sistem politik dan birokrasi yang ada di sekitarnya. Polemik komersialisasi yang terjadi selalu terkait dengan posisi universitas. 

Rasanya tema selalu bermuara pada perdebatan yang sangat panjang dan melelahkan. Padahal, banyak energi lain yang sejatinya dapat diselesaikan sesegera mungkin. Polemik komersialisasi mencerminkan juga politik pendidikan sebagai salah satu masalah krusial dalam pendidikan di Indonesia.

Peran negara tetap saja tak terbantahkan memiliki kekuatan strategis dalam merumuskan berbagai kebijakan pendidikan. Alhasil, seringkali universitas harus melakukan berbagai cara dan mekanisme sebagai strategi merespons globalisasi. Universitas ”dipaksa” melakukan berbagai pola adaptasi melalui berbagai cara.

Salah satu di antaranya peningkatan kapasitas dan perubahan manajemen. Karut-marutnya pendidikan tinggi Indonesia bisa jadi disebabkan tidak jelasnya visi politik pendidikan yang dijalankan di negeri ini. Negara masih dominan dalam manajemen universitas. Tawarannya adalah mempertegas sekaligus ”meluruskan” politik pendidikan dalam konteks Indonesia.

Masalah Riset

Masalah lain yang sangat penting adalah riset universitas. Ada dua hal penting terkait riset. Pertama , pemanfaatan hasil penelitian untuk pengembangan pendidikan masih lemah. Penelitian harusnya menjadi faktor utama dalam proses pengambilan kebijakan. Di negara maju, apa pun kebijakan diambil tidak akan ditempuh tanpa penelitian ilmiah yang valid.

Kedua, terkait dengan minimnya anggaran untuk riset. Kita masih jauh tertinggal dari segi alokasi dana riset dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Korea, Jepang, India, dan Brasil. Jepang bahkan memiliki anggaran riset teknologi terbesar kedua di bawah Amerika Serikat. Selain itu, negara-negara berkembang lain seperti Brasil dan India juga sangat mendukung pertumbuhan investasi untuk riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Bagi universitas, riset menjadi penggerak penting kemajuan ilmu pengetahuan. Budaya dan peradaban universitas tak bisa hanya dilakukan ibarat business as usual , yaitu dengan mengutamakan pengajaran konvensional. Menurut data Dirjen Dikti, universitas adalah sumber penting penelitian dan pengembangan.

Lebih dari 50 persen penelitian dasar yang menghasilkan terobosan pemikiran dilakukan oleh universitas. Ini sekaligus menjadi kritik bagi universitas dalam memacu produktivitas riset yang bermanfaat bagi kehidupan. Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset perguruan tinggi? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus dilakukan.

Pertama, tentu saja menambah jumlah anggaran riset untuk perguruan tinggi yang mencakup seluruh disiplin maupun multidisiplin. Dalam hal ini penyebaran anggaran harus merata dan tidak termonopoli oleh satu disiplin tertentu. Kedua, terbuka lebarnya akses dan informasi forum-forum internasional berupa konferensi, seminar, workshop, fellowship, short course, yang mendukung kapasitas dosen dan peneliti Indonesia untuk mengembangkan kemampuan meneliti atau mengajar serta mendapatkan pengalaman internasional.

Kesempatan ini juga agar bisa diprioritaskan kepada peneliti/dosen muda yang memiliki kemampuan dan prestasi. Selama ini faktanya forum-forum internasional banyak didominasi oleh akademisi senior, sementara akademisi muda masih terbatas kesempatannya. Ketiga, memberikan suasana dan iklim kondusif dalam mengembangkan kualitas riset.

Ini bisa dilakukan dengan pemberian insentif maupun penghargaan yang memacu produktivitas hasil riset. Penghargaan bisa diberikan pemerintah, dunia swasta maupun dunia industri. Di Amerika Serikat terdapat sebuah SMA yang bernama Bronx High School of Science. Sekolah ini berada di kawasan New York.

Seperti diberitakan BBC News, sekolah ini menghasilkan delapan alumni yang menjadi pemenang Nobel dalam bidang fisika dan kimia sejak 1972. Sekolah ini memiliki program andalan dalam bidang sains. Bahkan, banyak ilmuwan muda yang tertarik mendaftar di sekolah tersebut. Tentu dengan seleksi yang sangat ketat.

Jika sekolah di Amerika Serikat bisa menghasilkan alumninya yang mendapatkan Nobel, seharusnya menjadi motivasi bagi universitas yang ada di Indonesia untuk melakukan hal yang sama. Kita tidak kalah dalam hal sumber daya manusia. Banyak ilmuwan Indonesia lulusan terbaik dari luar negeri.

Mereka punya prestasi cemerlang ketika di luar negeri. Saatnya membuktikan bahwa universitas menjadi ujung tombak dalam pengembangan riset dan teknologi. Tidak sekadar sibuk mengurus perdebatan yang sangat melelahkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar