Rabu, 31 Desember 2014

Menyelamatkan Ekosistem Pasar Klewer

Menyelamatkan Ekosistem Pasar Klewer

Heri Priyatmoko   ;   Anak bakul di Pasar Klewer;

Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB, UGM

JAWA POS, 30 Desember 2014

                                                                                                                       


SABTU malam, 27 Desember 2014, warga se-Solo Raya berduka. Radar Solo (28/12), jaringan Jawa Pos Group, mendokumentasikan, si jago merah mengamuk dan melalap Pasar Klewer yang dibangun pada 1971. Kobaran api dengan cepat membesar lantaran angin juga berembus cukup kencang malam itu. Ribuan pedagang panik dan tidak kuasa menahan air mata tatkala menyaksikan ribuan kios habis dijilati api. Sekitar 2.300 kios beserta isinya ludes. Kebakaran pasar sandang tersebut dinilai sebagai musibah kebakaran terbesar di Solo Raya dalam beberapa tahun terakhir.

Ekosistem pasar yang tersusun rapi selama puluhan tahun pun hancur dalam sekejap. Setidaknya terdapat tiga konsep lahir di ranah ekonomi pasar tersebut yang rusak, yakni dagang, pedagang, dan perdagangan. Izinkan saya mengutip pokok pemikiran antropolog Jennifer Alexander yang dituliskan dalam Wanita Pengusaha di Pasar-Pasar Jawa (2000).

Konseptualisasi dagang memperlakukan pasar sebagai sistem tukar-menukar barang, memeriksa secara geografis persebaran pasar, serta produksi barang niaga. Berikutnya, konsep pedagang menempatkan pasar sebagai sistem sosial, melukiskan tipe pedagang (pengecer, pedagang besar, serta perantara), dan lembaga yang menyalurkan mereka ke jaringan hubungan sosial. Tidak melulu bersifat ekonomi, relasi yang terjalin juga bersifat sosial karena mereka menghubungkan anggota keluarga, pelanggan, dan klien.

Selanjutnya, konsep perdagangan memaknai pasar sebagai aliran informasi yang terstruktur berdasar budaya dan cara bakul bertahan hidup. Konsep yang terakhir itu memusatkan perhatian kita pada proses jual beli di suatu tempat, memanfaatkan kemitraan, dan tawar-menawar mekanisme penentuan harga.

Peristiwa tawar-menawar yang lazim terjadi di dalam pasar sandang tersebut kini juga tiada lagi. Padahal, transaksi ekonomi tradisional yang dirumuskan ilmuwantermasyhur Clifford Geertz dengan istilah sliding prize dalam bukunya Penjaja dan Raja (1973) tersebut merupakan media interaksi dan menjaga kerukunan sosial di wilayah yang dijuluki ’’kota bersumbu pendek’’ itu.

Jika ingin belajar demokrasi yang baik, pasar tradisional semacam Pasar Klewer sebelum kobongan adalah tempatnya. Juga, melihat kecerdikan dan kegigihan pembeli yang berulang-ulang menawar dan hanya menaikkannya dalam jumlah yang amat sedikit di antara rentang waktu yang berlangsung lama.

Banyaknya penganggur dan tersendatnya perekonomian kota adalah gambaran yang mudah kita tebak untuk hari-hari ke depan. Pendapatan asli daerah (PAD) kota pasti juga melorot drastis karena pasar yang puluhan tahun menjadi sumber pemasukan terbesar tersebut telah luluh lantak.

Karena itu, langkah sigap yang harus ditempuh adalah segera membuat pasar darurat untuk menyelamatkan ekosistem Pasar Klewer. Pemerintah Kota Surakarta menyatakan, lokasi yang memungkinkan dan berdekatan dengan Klewer adalah Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, Beteng Trade Centre, dan Pusat Grosir Solo.

Perlu dijelaskan kepada pembaca, apakah alun-alun keraton yang dulu sarat nilai filosofis tersebut merupakan lokasi yang tepat untuk pasar darurat? Pakar tata ruang perkotaan Jawa Bagoes P. Wiryomartono (1995) memaparkan, pasar secara harfiah berarti tempat berkumpul untuk tukar-menukar barang atau jual beli sekali dalam lima hari Jawa.

Pasar dalam konsep urban Jawa adalah kejadian yang berulang secara ritmik dengan transaksi tidak sentral. Yang sentral dalam kegiatan pasar adalah interaksi sosial dan ekonomi dalam satu peristiwa. Berkumpul dalam arti saling bertemu muka dan berjual beli pada hari pasaran menjadi semacam panggilan sosial periodik. Kata lain pasar adalah peken dengan kata kerja mapekan yang berarti berkumpul.

Peken adalah tempat berkumpul yang tidak berkaitan dengan upacara. Berbeda dengan berkumpul karena ada ’’gawe’’ atau upacara atau slametan, kegiatan pasar tidak dititipi ritual dan simbol-simbol. Hal itu menjadi petunjuk bahwa hari pasaran bukanlah peristiwa ketika manifestasi kekuasaan itu mengalami transformasi. Pada pertemuan ritual atau slametan, orang Jawa percaya adanya transformasi kekuatan yang memengaruhi stabilitas jagat Jawa.

Jika pasar dipandang sebagai kejadian periodik yang tidak bersangkut paut dengan konsep kekuasaan secara langsung, letak pasar secara urban Jawa tidak akan di alun-alun. Pasar akan menjadi kejadian di luar alun-alun dan masuk ke dalam kegiatan warga yang membuat kehidupan dunya bisa berlangsung.

Namun, seiring dengan perubahan zaman dan hancurnya hegemoni keraton, alun-alun mengalami degradrasi nilai filosofis. Alun-alun difungsikan sebagai ruang ekonomi, bukan tempat latihan prajurit dan pergelaran rampogan. Pedagang batik pekalongan yang mencari sesuap nasi di Kota Solo, misalnya, setiap Senin dan Kamis rutin mangkal di tanah lapang tersebut. Setiap pergelaran ritual Sekaten, pasar malam juga ditampung di alun-alun.

Diperbolehkannya alun-alun dijadikan pasar darurat justru akan menunjukkan keberpihakan dan kepedulian lembaga Keraton Kasunanan terhadap nasib jutaan orang yang menggantungkan hidup pada pasar tersebut. Terlalu lama masyarakat berjarak dan kurang respek terhadap keraton. Berbeda bila dibandingkan dengan Keraton Kasultanan Jogjakarta yang penduduknya memiliki ikatan emosional begitu kuat serta menjadi rujukan publik dalam hal budaya. Masyarakat pasti menaruh hormat atas langkah bijak Keraton Kasunanan dan berpeluang memperbaiki citra keraton di mata warga.

Upaya tersebut sebetulnya dapat mencegah maraknya kriminalitas karena banyaknya penganggur yang tidak tertampung. Sebab, bila sudah menyangkut urusan perut, tindakan apa pun mudah dikerjakan. Mereka sebagai tulang punggung keluarga kudu memenuhi kebutuhan makan dan biaya sekolah buah hati.

Kebakaran pasar sandang yang sehari-hari beromzet miliaran rupiah tersebut memang memukul jaringan ekonomi pasar. Kita tetap berharap pemkot mengupayakan pasar darurat di alun-alun sehingga ekosistem Pasar Klewer bisa terselamatkan dan bangkit dari keterpurukan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar