Kamis, 25 Desember 2014

Natal dan Revolusi Mental

Natal dan Revolusi Mental

MGR Yustinus Harjosusanto MSF  ;  Uskup Tanjung Selor
KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


ADA  yang istimewa dalam perayaan Natal tahun ini karena dirayakan di tengah ajakan pemerintah kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan revolusi mental. Apa hubungan Natal dengan revolusi mental?

Bagi umat Kristiani, Natal adalah peristiwa ketika Tuhan, yang mengenal manusia yang tak berdaya karena dosa, berbela rasa dan bertindak langsung menyelamatkan umat-Nya. Pengenalan keadaan itu bukan hanya menanti pihak manusia berseru minta tolong, melainkan dan terlebih dari pihak Allah yang Maha Mengenal.

Bela rasa inilah, ketika tiba waktunya, membuat Ia bertindak dengan cara apa pun agar manusia diselamatkan. Sikap dan tindakan-Nya itu nyata dengan wujud tidak mempertahankan keadaan mulia, tetapi mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi manusia.

Pilihan tempat lahir bukan Jerusalem, kota terbesar pada zaman itu, melainkan Betlehem, kota kecil. Istana raja yang megah dan gemerlap tidak menjadi pilihan-Nya, tetapi kandang hewan yang sangat sederhana. Dengan penjelmaan-Nya itu, relasi manusia dengan Allah dipulihkan, dasar mendalam relasi antarmanusia diletakkan, yaitu kasih-Nya.

Merasakan masih jauhnya wujud cita-cita bangsa Indonesia, sementara kerinduan untuk itu semakin kuat, diperlukan perubahan mentalitas, yaitu cara berpikir, sikap dasar, dan perwujudannya. Sebagian kecil warga terbuai menikmati kenyamanan dan kemapanan, sementara sebagian besar masyarakat hidup sangat miskin dan tak berdaya, tergoda untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa peduli akan sesama.

Bela rasa

Mentalitas individualistis telah menjiwai sebagian besar warga masyarakat. Sikap itu melemahkan sikap bela rasa terhadap sesama, khususnya yang menderita. Mentalitas itu tanpa disadari telah menelikung begitu banyak orang.

Egoisme, dan ketidakpedulian, menyelinap di setiap bidang kehidupan sehingga perorangan ataupun kelompok telah dirasuki sikap lebih mengedepankan kepentingan pribadi, kelompok, golongan, suku, asosiasi, partai, dan seterusnya daripada kepentingan bangsa.

Persaingan tidak sehat berangkat dari sikap tidak peduli akan sesama, bahkan menginginkan pesaingnya kalah atau bahkan mati. Mentalitas itu mesti diubah secara mendasar kalau kebersamaan bangsa dalam menggapai cita-cita bersama sungguh-sungguh mau dikembangkan.

Segenap warga masyarakat perlu berubah dari sikap individualistis dan egoistis ke altruis (alter = yang lain), yaitu mengarahkan diri keluar, melihat keprihatinan di sekitarnya, mengembangkan sikap bela rasa, dan bertindak nyata sekalipun sederhana dan dalam skala kecil.

Sikap dasar berbela rasa itu bukan hanya soal sosial, melainkan moral. Membiarkan sesama menderita pada dasarnya adalah sikap tidak memberikan hak sesama hidup layak. Padahal, semua orang bermartabat sama di hadapan Sang Pencipta.

Maka, semua orang yang selama ini diam, tertutup, dan merasa aman serta menikmati ”kemuliaan” mesti meninggalkan rasa mapan dan nyaman untuk blusukan demi melihat ke-nyata-an, mengembangkan sikap bela rasa, dan mewujudkan tindakan nyata.

Mentalitas menyenangkan atasan merupakan usaha mengelabui dan sekaligus menutupi ke-nyata-an. Alhasil, pemimpin tidak mengenal realitas yang sesungguhnya dan masyarakat hidup dalam dunia, meminjam istilah Gus Dur, seakan-akan; seakan-akan mutu pendidikan telah merata, pelayanan kesehatan telah memadai ke seluruh pelosok, dan seterusnya. Untuk berubah, diperlukan sikap terbuka, rendah hati, dan jujur.

Mentalitas lain yang dibiarkan hidup dan tumbuh subur adalah mencari keselamatan diri dengan melepaskan prinsip baik dan benar. Tata nilai yang benar dikorbankan demi keselamatan diri. Nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dikalahkan demi kepentingan tertentu sehingga memupuk sikap oportunistis dan pragmatis. Tidak mengherankan banyak orang bersikap mencla-mencle; esuk dele, sore tempe (pagi dele, sore tempe), kata pepatah Jawa.

Ubah mentalitas

Promosi media massa secara agresif, masif, dan meluas, dengan prinsip mendulang untung sebesar-besarnya, harus diubah. Masyarakat tanpa sadar telah ”digiring” menganut tatanan nilai tertentu, khususnya menempatkan nilai kenikmatan indrawi dan kenyamanan sebagai yang utama.

Parahnya, kenikmatan dan kenyamanan itu mesti dibeli sehingga uang diutamakan, bahkan menjadi penguasa. Akibatnya, dunia seakan arena perburuan dan perebutan uang dengan cara apa pun: menipu, mencuri, merampok, dan khususnya korupsi. Tindakan tersebut berangkat dari tata nilai yang telah terjungkirbalikkan.

Media massa yang berkontribusi penting perlu berubah mentalitas dari kecenderungan berorientasi bisnis ke pengutamaan pendidikan nilai luhur kemanusiaan. Perubahan mentalitas secara revolusioner itu membutuhkan proses panjang, kerja keras, dan wujud nyata berupa tindakan yang konsisten. Tanpa itu, yang akan terjadi hanya gebrakan sesaat, tidak akan membawa banyak perubahan.

Perubahan membangun sikap baru itu berat karena bagai berbalik arah 180 derajat. Tidak semua pihak setuju dan mendukung gerakan itu. Maka diperlukan sikap sabar, tahan banting dan sekaligus optimistis. Selamat Natal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar