Kamis, 25 Desember 2014

Natal dan Spiritualitas Keterlibatan

Natal dan Spiritualitas Keterlibatan

I Suharyo  ;  Uskup Keuskupan Agung Jakarta
KOMPAS,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


YESUS  lahir ketika Herodes berkuasa di wilayah Yudea. Herodes disebut ”Agung” meskipun perilakunya sebagai penguasa sama sekali tidak agung.
Istri dan beberapa anaknya dibunuh karena dicurigai akan merongrong dan berbahaya bagi kekuasaannya. Sekian banyak orang lain dihilangkan karena alasan yang sama. Dalam rangkaian itu pula, ia memerintahkan pembunuhan anak-anak yang berusia di bawah 2 tahun, termasuk di dalamnya Yesus, seperti tersua dalam Injil Matius.

Belum cukup berkuasa dengan teror, rakyat ditindas dengan pajak yang mesti dibayarkan untuk memenuhi ambisinya melakukan pembangunan besar-besaran, termasuk Bait Suci untuk mengambil hati rakyatnya. Akan tetapi, tetap saja ia ditolak dengan berbagai alasan yang lain.

Ketika ia meninggal, kerajaannya diwariskan kepada tiga anaknya. Salah satunya bernama Arkhelaus yang mendapat bagian wilayah Yudea dan Samaria. Ternyata Arkhelaus tak mampu mengendalikan rakyat yang tetap merasa tak puas. Oleh karena itu, Pemerintah Romawi melengserkannya. Sejak itu wilayah Yudea dan Samaria diperintah oleh seorang wali negeri Romawi.

Itulah awal dari pemerintahan Romawi langsung atas wilayah tersebut, awal pergolakan-pergolakan besar yang memuncak pada dihancurkannya kota Jerusalem pada 70 M. Di tengah- tengah hiruk-pikuk kehidupan inilah Yesus lahir, bertumbuh, dan pada waktunya tampil di depan umum.

Dalam keadaan seperti itu rakyat merasa tak berdaya, bahkan putus asa. Mereka menyebut diri sebagai bangsa terpilih, dibawa masuk ke tanah terjanji yang mengalirkan susu dan madu. Namun, kenyataan—sosial, politik, ekonomi, religius—amat jauh dari yang diharapkan. Dengan sendirinya muncul penafsiran-penafsiran atas janji itu. Hasilnya adalah harapan yang kian kuat akan datangnya tokoh hebat yang mereka sebut Mesias. Kedatangan Mesias akan mengakhiri zaman yang berat ini dan akan membuka zaman baru. Ada pula kepercayaan yang didasarkan pada keyakinan bahwa Nabi Elia akan datang kembali sebagai tanda datangnya zaman baru itu.

Harapan ini antara lain bermuara pada gerakan kerohanian baru dalam bentuk hidup bertapa, menyepi di padang gurun, menarik diri dari dunia ramai sambil menantikan Mesias dengan cara hidup khusus.

Yohanes Pembaptis ikut dalam gerakan kerohanian baru ini meskipun ia tidak menarik diri dari dunia ramai dan menjalani hidup secara khas. Rupanya gerakan Yohanes ini menarik perhatian banyak orang. Maka, orang-orang bertanya, ”Siapakah engkau?” Yohanes menjawab, ”Aku bukan Mesias.” Mereka bertanya lagi, ”Apakah engkau Elia?” Yohanes menjawab, ”Bukan.” Selanjutnya ia mengatakan, ”Di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal.”

Hidup beriman baru

Secara tersurat Yohanes tampaknya hanya menyangkal bahwa dirinya bukan Mesias dan bukan Elia. Namun, di balik itu ada kritik tajam terhadap penghayatan keagamaan yang lazim sampai saat itu. Tersirat pula ajakan untuk mengembangkan pola hidup beriman yang baru. Seakan-akan Yohanes mengatakan, tinggalkan model hidup keagamaan yang lama, mulailah yang baru.

Kebaruan itu berakar pada ”Dia yang tidak kamu kenal”, yaitu Dia yang menjelma menjadi manusia (inkarnasi). Dalam bahasa teologi Kristiani sekarang, semangat hidup  beriman yang baru ini disebut spiritualitas inkarnatoris, yang dapat disebut juga spiritualitas keterlibatan.

Spiritualitas keterlibatan memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri. Ciri pertama adalah kontemplasi. Kontemplasi membuat mata hati semakin tajam dan nurani semakin peka terhadap berbagai peristiwa dan pengalaman hidup. Kontemplasi juga mendorong orang untuk tidak pernah puas dengan keadaan nyaman dan puas diri. Melalui kontemplasi, suara dan kehendak Allah didengar dan dilihat dalam kenyataan hidup yang riil.

Akan tumbuh dan berkembang pula kompetensi etis bela rasa yang mendorong orang untuk terlibat dalam hiruk-pikuk kehidupan dunia dan mengajukan pertanyaan yang tidak akan pernah selesai dijawab, ”Apa yang harus kita lakukan agar lingkungan kita menjadi semakin manusiawi?”

Ciri kedua adalah kecerdasan budi yang terasah. Dunia kita, sebagaimana dunia yang dimasuki oleh Yesus, tidak pernah merupakan realitas sederhana. Sebaliknya realitas itu semakin lama semakin kompleks, terdiri antara lain dari berbagai sistem yang dibangun dan mempunyai dinamikanya sendiri.

Dinamika itu dapat dengan mudah bermuara pada struktur yang tidak adil, yang dalam bahasa sehari-hari disebut mafia. Sistem-sistem serta struktur- struktur itu semakin memaksakan tuntutannya dan mempertahankan diri dengan kekerasan. Diperlukan kecerdasan yang terasah, keberanian,  dan kerja sama untuk mengurainya dan menawarkan jalan keluar.

Ciri ketiga adalah gerakan, sebagai muara kontemplasi dan kecerdasan. Yohanes mengajak pengikutnya melakukan gerakan pembaruan hidup amat nyata, yang terarah pada tata hidup bersama yang semakin adil. Yesus pun pada titik tertentu dalam hidupnya mulai mengaruskan gerakan Kerajaan Allah dengan mempertaruhkan hidupnya demi terwujudnya kebenaran, keadilan, dan damai sejahtera.

Harapan untuk Indonesia

Laporan akhir tahun yang dimuat Kompas setiap hari selama beberapa hari (15-23 Desember) dan beberapa hari selanjutnya menceritakan dan menelaah berbagai gerakan yang memberikan harapan untuk Indonesia yang semakin berkeadilan, berkeadaban, dan sejahtera.
Laporan itu mencerminkan nurani yang jernih, budi yang cerdas, dan keterlibatan yang tidak kenal lelah. Perayaan Natal mewajibkan umat Kristiani untuk mengembangkan spiritualitas keterlibatan karena Allah sendiri telah menunjukkan keterlibatan-Nya dalam hidup manusia dengan segala realitasnya yang amat kompleks dalam peristiwa kelahiran Yesus.

Selamat hari raya Natal dan selamat Tahun Baru 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar