Jumat, 26 Desember 2014

Normalisasi Hubungan Kuba-AS

               Normalisasi Hubungan Kuba-AS

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  24 Desember 2014

                                                                                                                       


Pidato Raul Castro dan Barack Obama untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik mungkin adalah kado Natal terbaik tahun ini untuk masyarakat Kuba dan Amerika Serikat, yang selama ini terpisah oleh tembok politik selama lebih dari lima puluh tahun.

Setelah runtuhnya tembok Berlin pada 1989, pidato dua kepala negara secara bersama pada Rabu lalu untuk memperbarui hubungan politik kedua negara adalah peristiwa politik penting yang menandai rekonsiliasi dua ideologi: kapitalisme dan komunisme. Peran dari Paus Fransiskus dan pemerintah Kanada sangat besar dalam mewujudkan upaya rekonsiliasi ini.

Peran ini sendiri bukanlah sebuah usaha pertama kali yang dilakukan seorang Paus dalam sejarah Gereja Katolik. Paus Yohanes Paulus II juga pernah memiliki hasrat yang sama ketika ia mengunjungi Kuba pada 1998, namun belum berhasil. Terlepas dari sangat tertutupnya proses negosiasi di antara kedua negara dan para pihak lain yang terkait, kita dapat mengambil pelajaran penting dari peristiwa diplomatik fenomenal dalam abad ini.

Pertama, sisi teknis penyampaian berita rekonsiliasi yang dilakukan kedua kepala negara yang tidak menimbulkan kesan satu negara menang terhadap negara lain dan sebaliknya. Penyampaian pidato yang bersamaan ini mungkin pertama kali terjadi dalam catatan saya dalam perjalanan diplomasi.

Waktu menjadi penting untuk menandakan bahwa Amerika dan Kuba tetap dapat menjaga integritas mereka di mata penduduknya sebagai sebuah negara yang berdaulat. Penyampaian berita dalam waktu yang bersamaan menyingkirkan debat yang tidak produktif tentang siapa yang lebih diuntungkan dari peristiwa tersebut.

Kedua, kredibilitas dan legitimasi yang tinggi dari pemerintah Vatikan dan Kanada yang berperan sebagai fasilitator dan penghubung dalam mengupayakan perbaikan hubungan baik kedua negara ini. Tanpa kredibilitas yang tinggi maka niat baik dari kedua pemerintah itu mungkin tidak dapat tersalurkan.

Sebaliknya, banyak negara atau tokoh yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi namun belum tentu niat mereka untuk membuat kedua negara ini rujuk diterima. Di sini kita melihat faktor lain, yaitu legitimasi. Legitimasi dapat kita definisikan dengan sederhana sebagai sebuah kepemimpinan, keputusan, atau kebijaksanaan yang dapat diterima oleh pihak lain dengan baik.

Kita dapat melihat legitimasi dari beberapa sudut. Dari sisi politik, legitimasi terkait dengan otoritas pemimpin. Sistem politik dalam sistem pemerintahan kerajaan/ feodal didominasi oleh raja sebagai penerima mandat dari Tuhan untuk memerintah. Dalam pemerintahan Jerman di bawah Hitler, legitimasi sebagai pemimpin dibangun lewat ideologi rasialis dan teror.

 Sementara itu pada pasca Perang Dunia II, pemerintahan mendapat legitimasi dari sejauh mana mereka memenuhi prinsip-prinsip negara demokratis. Kita dapat memperdebatkan dari mana sumber-sumber legitimasi diperoleh namun yang pasti legitimasi mengalami pasang-surut sesuai zaman dan tidak ada legitimasi yang dapat kukuh bertahan selamanya.

Uni Soviet dan Amerika Serikat pernah menerima legitimasi negara-negara dunia karena sama-sama menjadi kiblat ideologis negaranegara yang berpaham sosialisme dan kapitalisme. Pada waktu itu, sulit bagi negaranegara lain untuk tidak mengikuti apa yang mereka inginkan. Namun demikian, legitimasi tersebut runtuh seiring dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua negara.

Legitimasi pemerintahan Vatikan juga sebenarnya tergerus dengan kasus korupsi dan pelecehan seksual di dalam hierarki gereja. Peran-peran kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh para biarawan maupun kaum awam, belum mampu mengangkat legitimasi gereja dan ini ditandai dengan semakin menurunnya frekuensi masyarakat Barat untuk hadir dalam upacara keagamaan.

Terpilihnya Paus Fransiskus tampaknya adalah titik balik dari krisis legitimasi tersebut. Ia membangun kembali citra gereja sebagai penjaga moral dan demokrasi dengan melakukan revolusi mental di dalam dan di luar gereja. Di dalam gereja, Paus mereformasi birokrasi gereja, menegur dan memecat biarawan yang korupsi.

Paus Fransiskus juga membuka penyelidikan kasus-kasus pelecehan seksual dan tidak menghalangi kaum gay dalam beribadah. Sementara ke luar, ia membela agama Islam sebagai agama yang membawa perdamaian, membuka pembicaraan dengan Suriah dan Irak, dan negara-negara lain yang sedang mengalami konflik.

Tidak sedikit yang menentang gerakan reformasi yang dilakukannya, namun ia tetap bergeming dan melanjutkan proses tersebut. Terakhir, ia mengkritik birokrat gereja yang sering bergunjing. Faktor ketiga yang memuluskan perbaikan hubungan kedua negara adalah dinamika politik internal. Setelah runtuhnya Uni Soviet, Kuba dapat bertahan dengan ideologi sosialisnya walaupun tidak mudah.

Kuba harus melepaskan perlahan-lahan kontrol negara atas beberapa aktivitas ekonomi dalam pasar terutama yang terkait dengan sektor pariwisata, kedokteran, dan jasa. Contoh, di Kuba, sopir taksi adalah pegawai pemerintahan dan pekerjaan ini adalah bagian yang diliberalisasi sejak 2011.

Kuba membutuhkan investasi asing untuk membiayai pertumbuhan ekonominya dan itu dapat dilakukan apabila blokade ekonomi terhadapnya dapat dilonggarkan. Perbaikan hubungan dengan AS tentu akan mendorong negara-negara lain di Eropa untuk melonggarkan blokade ekonominya dan mendorong turis datang.

Di AS, keputusan untuk melakukan perbaikan hubungan dengan Kuba terjadi pada saat hasil pemilu sela (midterm election) keluar di mana kubu Republik menguasai mayoritas kursi. Banyak analis yang mengatakan bahwa perbaikan hubungan dengan Kuba ini adalah salah satu upaya Presiden Obama sebagai wakil Partai Demokrat untuk mengambil hati para pemilih dari keturunan Amerika Latin yang mulai goyah dan berbalik mendukung Republikan.

Apabila hasil pemilu sela ini berbeda, banyak yang pesimis bahwa upaya rekonsiliasi ini dapat terjadi. Kita dapat berspekulasi seperti itu, namun sebenarnya proses negosiasi dengan Kuba sendiri sudah berlangsung lama sebelum hasil pemilu sela di AS tersebut keluar.

Artinya bahwa ada satu kesungguhan dari awal bahwa AS ingin mengembalikan legitimasinya sebagai negara patriotik, di mana AS berupaya membawa pulang para patriot-patriot Amerika yang ditahan di Kuba sebagai tahanan politik sambil tetap menjaga kredibilitasnya sebagai negara yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Indonesia, ada sejumlah hal yang menarik sebagai catatan.

Pertama, di kawasan Asia masih ada sejumlah negara yang bersikukuh mempertahankan ideologi komunisme yakni China dan Korea Utara. Meskipun ideologi itu sendiri tidak lagi muncul sebagai pemecah hubungan, negara-negara kawasan Asia secara tidak langsung selalu diarahkan untuk mengungkapkan bentuk dukungan atau penolakan terhadap kedua negara tersebut.

Dengan dinamika diplomasi di benua Amerika, arah penguatan diplomasi menjadi makin penting dalam menghadapi negara-negara yang paling “berbeda” sekalipun. Dalam konteks Asia, kita tidak boleh gamang meskipun harus berseberangan dengan AS dan China.

Kedua, Indonesia patut lebih percaya diri karena punya kredibilitas sebagai negara demokrasi terbesar kedua di Asia setelah India dan mayoritas penduduknya yang muslim. Kredibilitas tersebut telah mengangkat citra Indonesia di kawasan Asia melalui ASEAN dan sebenarnya berpotensi juga mengangkat Indonesia ke tingkat internasional.

Namun, kredibilitas tersebut harus diimbangi dengan memperkuat legitimasi yang memadai dalam hubungan internasional karena sejumlah kasus domestik pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan berlabel agama, dan kurangnya toleransi dalam kehidupan beragama.

Tugas Presiden Joko Widodo adalah memperkuat kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi sehingga Indonesia juga punya legitimasi kuat di mata dunia. Pemerintahan Joko Widodo perlu menjaga relasi berimbang baik dengan AS maupun China dan Pemerintah juga harus mampu meyakinkan bahwa kemajuan Indonesia adalah juga kemajuan negara-negara lain, khususnya di Asia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar