Senin, 29 Desember 2014

Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis

Pelaksanaan UU Korupsi dan Lex Specialis

Andi Hamzah  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Pidana
KORAN SINDO,  27 Desember 2014

                                                                                                                       


Kita telah memiliki sosok Jaksa Agung baru. Kita berharap, Jaksa Agung yang akarnya berasal dari internal, bisa menjadi figur independen, mampu membuat strategi penegakan hukum yang adil dan fair.

Ketegasan Jaksa Agung baru penting mengingat saat ini mengemuka kasus-kasus hukum yang kontroversial terhadap sejumlah perusahaan, baik swasta maupun BUMN. Kasus-kasus tersebut karena cenderung Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ditafsirkan terlalu luas sehingga keluar dari teori hukum pidana.

Belakangan ini kasus-kasus yang cukup ramai dibahas dan banyak menjadi kekhawatiran para pebisnis adalah perkara pengadaan LTE PLTGU Belawan Medan dan kerja sama PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT Indosat Mega Media (IM2) dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Dua kasus ini mirip karena diduga terjadi pemaksaan terhadap korporasi.

Pada kasus-kasus ini, perdebatan yang sudah sejak lama terjadi adalah, apakah layak tetap menggunakan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), ataukah selayaknya menggunakan Undang- Undang Lex Specialis, mengingat ada payung hukum khusus selain UU Tipikor. Adalah tugas mulia Jaksa Agung baru menempatkan kasus apakah layak dengan UU Tipikor ataukah dengan lex specialis, seperti UU Telekomunikasi dan UU Kepabeanan.

Cukup menarik perhatian dalam perkara IM2, yang bahkan bisa dijadikan studi kasus hukum karena kontroversinya. Kasus tersebut saat ini ramai di publik akibat munculnya dua putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang muncul tak berselang lama tapi saling bertentangan. Dalam perkara IM2, MA mengeluarkan dua putusan kasasi yang tidak sinkron. Pertama, kerja sama Indosat dan anak usahanya tersebut dianggap merugikan negara senilai Rp1,3 triliun berdasarkan perhitungan BPKP.

Hal ini tertuang dalam putusan Kasasi Nomor 282K/PID.SUS/2014 tertanggal 10 Juli 2014, yang memutuskan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto dijatuhi hukuman pidana selama delapan tahun disertai dengan denda sebesar Rp 300 juta, dan kewajiban uang pengganti sebesar Rp1,358 triliun yang dibebankan kepada korporasi IM2.

Sedangkan dalam putusan kasasi yang lain yaitu Nomor 263 K/TUN/2014 tertanggal 21 Juli 2014, yang isinya menolak kasasi yang diajukan Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi atas putusan PTUN perkara IM2. Bagaimana penyelesaiannya?

Lex Specialis

 Perkara ini adalah tentang kerja sama antara PT Indosat Tbk dan anak usahanya PT IM2 dalam penyelenggaraan 3G di frekuensi 2.1 GHz. Bila melihat kasus ini melalui Undang-Undang Telekomunikasi No 36 Tahun 1999, terdapat 11 rumusan delik. Dengan demikian apakah perbuatan menyewa jaringan internet Indosat harus ada izin Menkominfo atau tidak perlu izin?

Jika harus mengajukan izin menteri dan IM2 tidak mendapat izin tetapi IM2 tetap melanjutkan usahanya, maka IM2 termasuk melanggar Pasal 47 jo pasal 11 ayat (1) jo Pasal 7 UU Telekomunikasi tersebut. Pasal itu memuat ancaman pidana hingga maksimum enam tahun penjara dan denda maksimum 600 juta rupiah. Itulah merupakan lex specialis.

Tetapi, saya tidak melihat pasal lain mana yang dilanggar. Hal ini juga telah diperkuat oleh Surat Kementerian Komunikasi dan Informatika bernomor T684/ M.KOMINFO/KU.04.01/11/ 2012 yang menegaskan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 tersebut telah sesuai aturan. Sesungguhnya, bila pejabat atau Menteri Kominfo telah mengatakan bahwa kerja sama Indosat dan IM2 serta perbuatan Indar Atmanto tidak melawan hukum karena sudah sesuai UU Telekomunikasi, berarti dia tidak melawan hukum seandainya pun negara dapat rugi.

Kejaksaan Agung seharusnya menggunakan dasar Undang-Undang Telekomunikasi sebagai pengecualian (lex specialis). Bukan dengan menggunakan aturan yang bersifat umum (legi generali ). Dengan status lex specialis , artinya memiliki bobot lebih besar ketimbang undangundang legi generali.

Dalam memutuskan sebuah kasus yang menyangkut UU lex specialis, maka UU legi generali harus mengikuti lex specialis. Namun mantan Dirut PT IM2, Indar Atmanto telah dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Tidak tepat dalam perkara semacam IM2 ini menggunakan legi generali.

Layak Bebas

PT IM2 dan mantan dirutnya layak bebas jika satu atau semua bagian inti delik tidak terbukti. Ada tiga bagian inti delik atau delictsbestanddelen dalam Pasal 2. Pertama, unsur melawan hukum. Kedua, unsur memperkaya diri sendiri atau suatu korporasi. Ketiga, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Apabila ini digunakan untuk mengusut kasus penggunaan jaringan 3G PT Indosat oleh PT IM2, maka ketiga bagian delik dalam Pasal 2 itu harus termuat dalam surat dakwaan dan harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun, jika satu bagian inti saja tidak terbukti, maka putusannya menjadi bebas.

 Perbuatan melawan hukum artinya beberapa pengertian, namun yang paling cocok untuk korupsi ialah ”tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati uang tersebut”. Melawan hukum ini berkaitan langsung dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Kedua bagian inti delik inilah yang paling penting.

Sedangkan bagian inti delik ”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” otomatis terbukti jika dapat dibuktikan orang itu, dengan melawan hukum dia memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Hal yang sering terjadi dalam praktek penegakan hukum, sering salah kaprah mengenai Pasal 2 ini.

Ketika telah merugikan keuangan negara, sudah langsung dianggap telah terjadi korupsi. Padahal yang terpenting harus dibuktikan bahwa orang itu telah melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Bahkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia menegaskan bahwa kerugian negara bukan unsur korupsi.

Jadi walaupun negara sudah jelas mengalami kerugian tetapi orang itu tidak memperoleh, mendapatkan, menerima uang yang jumlahnya besar (memperkaya) atau menyebabkan orang lain atau korporasi menjadi kaya secara melawan hukum? Saya ulangi yang terpenting dibuktikan ialah secara melawan hukum telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Berapa jumlahnya dan perbuatan itu melawan hukum. Jika tidak dibuktikan itu semua, maka putusan itu keliru. Kejaksaan Agung tidak menggunakan UU Telekomunikasi, barangkali karena tidak berwenang menyelidiki delik telekomunikasi. Dalam proses persidangan juga sudah menghadirkan Menkominfo saat itu.

Bahkan ada surat edaran bahwa PT IM2 tidak merugikan negara. Sehingga kementerian itu tidak gusar karena semua penyedia jasa layanan internet di Indonesia menggunakan model bisnis yang sama. Jadi PT IM2 tidak melawan hukum. Dan karena melawan hukum menjadi bagian dari inti delik korupsi Pasal 2, maka terdakwa harus diputus bebas jika tidak melawan hukum karena dakwaan tidak terbukti.

Selain itu untuk dapat menghitung dapat merugikan negara, maka semua akuntan atau auditor dapat dipanggil sebagai ahli tidak mesti BPKP. Namun yang harus dibuktikan lebih dulu adalah apakah perbuatan terdakwa itu melawan hukum atau bertentangan dengan UU Telekomunikasi atau tidak dan berapa jumlah uang yang diperoleh secara melawan hukum? Upaya mencari keadilan bagi Indar dengan dua putusan saling bertentangan maka ada langkah Peninjauan Kembali (PK).

Jika putusan itu nyata ada kekeliruan hakim yaitu menjatuhkan pidana yang tidak didakwakan maka PK adalah sesuai Pasal 263 KUHAP. Ada kelalaian hukum yang nyata dan ada putusan yang saling bertentangan. Kasus IM2 memang bisa menjadi pertaruhan dan tugas mulia kejaksaan dan Jaksa Agung baru untuk kembali menata dan mendudukan persoalan pelaksanaan UU Tipikor (legi generali) dan lex specialis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar