Kamis, 25 Desember 2014

Rupiah dan Daya Saing Indonesia

Rupiah dan Daya Saing Indonesia

Kiki Verico  ;  Kepala Kajian Perdagangan Internasional LPEM FE UI
MEDIA INDONESIA,  23 Desember 2014

                                                                                                                       


BEBERAPA waktu belakangan ini, pemerintah dan Bank Indonesia disibukkan dengan pelemahan rupiah. Pelemahan sebenarnya sudah beberapa kali terjadi dalam dua tahun terakhir, yaitu awal 2012 dan akhir 2013 hingga awal 2014. Setelah itu, rupiah sempat menguat sampai pertengahan 2014, namun kembali melemah pada akhir 2014. Penyebab pelemahan rupiah dalam beberapa tahun terakhir ini memang beragam, tetapi bisa dikelompokkan dalam dua faktor besar, yaitu domestik dan luar negeri.

Jika dilihat dari data dua tahun terakhir, sumber pelemahan di awal hingga pertengahan 2012 ialah faktor domestik, yaitu menurunnya daya saing ekonomi nasional dan jatuh tempo pembayaran luar negeri termasuk impor.Sementara itu, pelemahan pada triwulan terakhir di 2013 disebabkan karena faktor luar negeri, yaitu kebijakan pengurangan stimulus fiskal di Amerika Serikat (tapering-off) yang menjadi sinyal di seluruh dunia bahwa ekonomi Amerika membaik. Aliran modal kembali ke sana dan rupiah melemah. Hal serupa terjadi pada triwulan terakhir 2014, yaitu faktor luar negeri akibat melemahnya ekonomi Rusia dan simpang siur rencana kenaikan suku bunga US$.

Indonesia cukup beruntung karena faktor domestik, seperti kenaikan harga BBM tidak terjadi bersamaan dengan faktor luar negeri sehingga tekanan terhadap rupiah tidak terlalu besar. Namun, agar rupiah tahan terhadap fluktuasi, harus kuat secara fundamental dan kuncinya terletak pada daya saing ekonomi nasional. Sebenarnya, pada periode 2012-2013 ekonomi nasional tumbuh lebih cepat dari laju inflasinya, yaitu 6,3% (2012) dan 5,8% (2013), sementara laju inflasi sekitar 4%.

Namun, jika dilihat lebih jauh, penarik pertumbuhan ekonomi nasional ialah sektor yang tidak terkait langsung dengan daya saing (non-tradable), yaitu sektor jasa, seperti pengangkutan, komunikasi, real estate, dan jasa perusahaan. Sementara itu, sektor yang terkait langsung dengan daya saing (tradable) hanya tumbuh di subsektor penggalian, pertambangan bukan migas, dan perikanan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi nasional tidak sepenuhnya menggambarkan peningkatan daya saing.

Saat ini hanya pariwisata yang surplus devisa. Neraca perdagangan bahkan defisit untuk pertama kalinya di 2012, sehingga neraca transaksi berjalan ikut defisit pada periode 2012-2013. Dari sisi impor, dalam periode 20122014, defisit terjadi pada yang terkait minyak bumi dengan rata-rata impor sekitar US$10 miliar, sementara rata-rata ekspor US$ 4 miliar.

Langkah pemerintah mengurangi subsidi BBM, mengevaluasi proses produksi domestik, dan impor BBM ialah langkah yang tepat mengingat kita bukan lagi net exporter dan minyak bumi ialah impor mahal yang membebani devisa dan rupiah. Cadangan devisa Indonesia sebesar 111 miliar US$ setara dengan 6 bulan pembiayaan luar negeri. Besaran itu masih di bawah rata-rata dunia sekitar 13 bulan dan secara nominal di bawah negara tetangga, seperti Singa pura (US$273 miliar), Thailand (US$168 miliar), dan Malaysia (US$132 miliar).
Bagaimana agar pertumbuhan ekonomi mencerminkan daya saing? 

Jawabannya ialah pertumbuhan ekonomi harus juga menghasilkan devisa, seperti meningkatkan ekspor, investasi jangka panjang dari dan ke luar negeri, transfer pendapatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan kunjungan turis asing. Jika dilihat dari daya saing perdagangan, produk unggulan Indonesia yang berdaya saing kuat, yaitu RCA (revealed comparative advealed comparative advantage) lebih dari satu, constant market share analysis (CMSA) positif, harga ekspor per harga impor lebih kecil dari satu, dan sebaran pasar atau GHI (gini hirschman index) lebih kecil dari 0,5 ialah hasil sumber daya alam (SDA) nonmineral, seperti minyak nabati dan hewani, kopi, teh, cokelat, kayu, kertas, karet, tembakau, dan SDA mineral, seperti timah, tembaga, dan bijih besi.

Sementara itu, produk industri terbatas pada instrumen musik, alas kaki, tekstil, dan perlengkapan mandi. Hasil laut termasuk ikan juga merupakan produk unggulan dan sumber devisa negara sehingga langkah pemerintah menjaga hasil laut dari pencurian ikan ialah langkah yang tepat.

Indonesia perlu menggeser daya saing perdagangan dari hasil SDA ke produk industri.Kontribusi sektor industri terhadap PDB terus menurun dari 28% (2008) ke 24% (2013).Jika itu dihubungkan dengan rendahnya kontribusi sektor pertanian pada PDB, yaitu 15% dengan serapan pekerja 42%, yakni 80% di antaranya ialah pekerja informal. Upaya pemerintah mengembangkan industri berbasis pertanian termasuk di dalamnya perikanan ialah kebijakan yang tepat. Langkah selanjutnya ialah menguasai pasar dunia.

Caranya bisa dilakukan dengan membantu pendirian restoran dan toko-toko yang menjual kebutuhan pokok Indonesia di luar negeri. Restoran dan toko-toko itu bisa menjadi sarana untuk memasarkan produk industri pertanian Indonesia di seluruh dunia. Selain menghasilkan devisa, cara itu efektif untuk semakin memperluas jaringan industri makanan dan minuman khas Indonesia di luar negeri. Di masa depan pun para pekerja Indonesia di luar negeri memiliki pilihan untuk tidak bekerja sebagai asisten rumah tangga, tetapi bekerja formal di restoran dan toko-toko penjual kebutuhan pokok asal Indonesia.

Dari sisi investasi, Indonesia cukup menjanjikan. Proporsi PMA per PDB meningkat cukup baik dari 0,73% (2004) ke 2,18% (2012). Efisiensi investasi juga membaik seiring dengan penurunan ICOR (incremental capital output ratio) dari 4 (2004-2008) ke 3,92 (2009-2012). Indikasi yang paling penting ialah mulai diperhitungkannya Indonesia dalam jaringan produksi global atau kawasan.
Indonesia ialah negara penerima investasi ASEAN tertinggi. Cepat atau lambat orientasi investasi asing jangka panjang (FDI inflows) di Indonesia akan bergeser dari memanfaatkan Indonesia sebagai sumber bahan mentah dan pemasaran produk ke salah satu basis produksi atau bagian dari jaringan produksi global. 

Indikasi baik itu membutuhkan syarat, yaitu Indonesia harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Jika dilihat dari klasifikasi UNESCO (2013), Indonesia masuk dalam kategori negara `menengah', berada di bawah Singapura dan Brunei yang masuk kategori `sangat tinggi', dan Malaysia serta Thailand yang masuk kategori `tinggi'.

Saat ini proporsi penduduk dengan pendidikan SMA ke atas meningkat dari 21% (2001) ke 32% (2012). Namun, dari sisi pekerja dengan keahlian tinggi, menurut indikator pengeluaran R&D per PDB, jumlah publikasi di jurnal internasional paten dan jumlah peneliti teknik serta rekayasa teknik per 1.000 penduduk, Indonesia tetap tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Itu pekerjaan rumah jangka panjang bagi pemerintah.

Selain meningkatkan daya saing perdagangan, manajemen energi, investasi, dan SDM, yang juga harus diperhatikan ialah ketersediaan infrastruktur yang berkualitas dan iklim investasi yang kondusif. Kedua hal itu terkait dengan peran pemerintah dalam menyediakan barang dan pelayanan publik yang baik. Jika semua itu ditingkatkan, daya saing ekonomi Indonesia akan membaik dan rupiah lebih stabil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar