Kamis, 29 Januari 2015

Akar Ideologis Terorisme Keagamaan

Akar Ideologis Terorisme Keagamaan

Haidar Bagir  ;  Pengajar Filsafat dan Mistisisme Islam di ICAS-Paramadina
KOMPAS, 29 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

HARIAN  Kompas (15/1/2015) menyajikan tulisan menarik karya Noor Huda Ismail berjudul ”’Je Suis Charlie’ dan Terorisme di Perancis”. Tulisan itu menyitir gagasan tentang lethal cocktail (campuran mematikan) terkait tiga faktor yang mendorong orang terlibat dalam kekerasan atau terorisme: individu yang termarjinalkan, kelompok yang memfasilitasi, dan ideologi yang membenarkan.

Tulisan ini berusaha mengelaborasi akar-akar  sosial-psikologis  yang menyediakan ramuan bagi ketiga faktor tersebut, khususnya ideologi yang membenarkan itu.

Zaman kita adalah zaman berkelimpahan. Namun, pada saat yang sama, inilah zaman kegalauan. Kata pujangga kita, Ranggawarsita, inilah zaman Kalabendu.

Jangankan bagi orang yang hidupnya susah secara ekonomi, bagi orang-orang yang hidupnya berkecukupan, tekanan hidup semakin keras: tuntutan kebutuhan artifisial yang terus muncul, beban pekerjaan yang overwhelming,  lingkungan hidup yang kurang bersahabat dan cenderung nafsi-nafsi, kerumitan kehidupan keluarga yang semakin meningkat (ancaman terhadap hubungan suami/istri dan institusi perkawinan, juga semakin besarnya tantangan terhadap pendidikan anak) telah membuat banyak orang mengalami stres.

Dekonstruksi narasi besar

Agama dan spiritualitas, yang seharusnya dapat menjadi oase tempat orang bisa melakukan tetirah,  justru malah sempat terpinggirkan. Kesemuanya ini berkontribusi pada lahirnya perasaan teralienasi, bahkan dari diri sendiri, yang cenderung melahirkan masyarakat yang depressed. Keberlimpahan serta kemajuan sains dan teknologi yang tadinya dianggap bisa menjadi penopang kebahagiaan hidup justru meninggalkan kehampaan psikologis dan spiritual karena hanya menegaskan kenyataan bahwa—setelah semua keberlimpahan itu tercapai—kebahagiaan hidup tak dapat ditemukan di situ.

Sayangnya, semangat dan mood zaman kita malah tidak membantu. Inilah zaman yang dicirikan oleh gejala posmodernistik dalam bentuk arus dekonstruksi atas narasi-narasi besar (grand narratives), termasuk di dalamnya terhadap agama. Kenyataannya, zaman posmodernistik menandai perubahan dari pengaruh menentukan agama dalam kehidupan masyarakat menuju penguatan terhadap sekularisme, kalau malah bukan permusuhan terhadap agama.

Disimbolkan oleh tokoh Zarathustra-nya Nietzsche, zaman kita seperti menyeru, ”Agama sudah mati!” Maka, jadilah zaman ini suatu zaman yang di dalamnya penganutan agama terdedahkan pada kegamangan. Tak seperti pada masa-masa lampau, di zaman ini, memeluk suatu keimanan bukanlah sesuatu yang mudah. Ia selalu berada dalam ancaman dekonstruksi dan peragu-raguan, baik oleh pemikiran sekuler, rasionalistik, dan materialistik maupun oleh keragaman pemikiran keagamaan intra-agama sendiri yang semakin menjadi-jadi.
Gejala ini menjadi semakin kuat dengan adanya information spill over (peluberan informasi) sebagai konsekuensi semakin digdayanya teknologi informasi yang merupakan pilar era informasi dan globalisasi. Tak seperti dulu, para pemeluk agama tak bisa lagi mengisolasi diri dari banjir informasi  yang mengancam kepercayaan mereka. Televisi, internet, dan media sosial mencegat di mana-mana dengan informasi yang menghantam orang bagai tsunami. Maka, banyak orang, karena tidak lagi punya waktu dan energi untuk meng-engage berbagai pemikiran dan informasi yang membanjir itu, berusaha mencari pegangan keyakinan yang simpel (baca: simplistik) dan instan, tetapi pada saat yang sama, menjamin ketenteraman hidup berkat janji keselamatan dunia akhirat yang ditawarkannya.

Nah, kebutuhan seperti ini sulit dipenuhi oleh para pemikir dan ulama berkualitas yang cenderung menolak terkungkung dalam paham keagamaan monolit dan tertutup. Bagi para agamawan seperti ini, sudah seharusnya agama  mengakomodasi pluralitas yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Maka, bagi para penganut agama yang mengalami kebingungan dan disorientasi—tetapi sudah telanjur kelelahan ini—kebutuhan akan pegangan seperti ini dengan sangat baik dipenuhi oleh orang-orang yang membawa paham-paham keyakinan yang bersifat fundamentalistik, integristik-total, dan mengklaim diri sebagai satu-satunya dari kebenaran.

Orang-orang model seperti ini bukan hanya mengklaim bahwa paham mereka pasti benar, bahkan lebih jauh memastikan bahwa yang selain dirinya pasti salah dan membawa penganutnya jauh dari keselamatan dunia akhirat. Dari para guru seperti inilah mereka merasa mendapatkan jaminan keselamatan yang mereka cari juga ketenteraman dalam penganutan keimanan. Sayangnya sikap-sikap sekelompok guru agama seperti ini masih diperparah oleh perasaan bermusuhan yang meluap-luap kepada semua orang di luar mereka, baik yang dianggap sebagai musuh agama, maupun—termasuk orang-orang yang seagama dengan mereka—yang dianggap mendukung para musuh agama tersebut.

Penafsiran keagamaan

Bercampur dengan frustrasi yang diakibatkan oleh faktor-faktor sosial ekonomi serta imbas persaingan kelompok politik dan keagamaan lokal, regional, dan internasional yang menyediakan patronase—dua bahan bagi ramuan mematikan  ala Richardson—”sekadar” paham ekstrem atau fundamentalistik bisa melahirkan radikalisme dan terorisme keagamaan seperti yang kita saksikan semakin terasa menjadi-jadi belakangan ini.

Maka, menjadi tugas para agamawan dan pemikir keagamaan moderat untuk menawarkan suatu paham atau penafsiran keagamaan yang mampu menjadi tandingan pemahaman sempit kaum fundamentalis dan radikal. Penulis merasa bahwa sejenis pemahaman keagamaan yang bersifat mistik (sufistik) kiranya merupakan alternatif yang paling efektif.  Sebelum yang lain-lain, sifat mistisisme yang menekankan pada pembinaan dan perawatan kedekatan manusia kepada Tuhan-nya dapat memberikan perasaan tenteram, kebahagiaan, dan jaminan keselamatan yang dicari semua orang.

Selanjutnya, tak seperti fundamentalisme dan radikalisme yang berporos pada eksklusivisme, kebencian, dan penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan, mistisisme didominasi oleh inklusivisme, cinta, dan kedamaian. Di sisi lain, mistisisme (sufisme) memang memberi ruang seluas-luasnya bagi–bahkan cenderung tak melanggar ranah—urusan-urusan duniawi sejauh ia diupayakan dengan memelihara moralitas dan moderasi.

Jadi, sebaliknya menghambat bagi upaya-upaya ”sekuler” umat manusia, nilai-nilai mistisisme justru kondusif terhadapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar