Senin, 26 Januari 2015

Ayo, Polri, Maju Terus!

Ayo, Polri, Maju Terus!

Reza Indragiri Amriel  ;   Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
KORAN TEMPO, 26 Januari 2015

Bandingkan dengan artikel RIA di KORAN SINDO 24 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Rivalitas kepolisian versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanas kembali, seiring dengan penangkapan terhadap Bambang Widjojanto. Situasi itu alamiah, bahkan keniscayaan, cerminan asumsi Presiden Sukarno bahwa tidak ada satu pun organisasi yang sudi kekuasaannya diambil organisasi lain. Fungsi KPK, yang seakan mensubordinasi Polri dalam pemberantasan korupsi, bisa dibayangkan menciptakan goresan pada martabat Polri. Apalagi ketika kemudian khalayak jatuh hati kepada KPK, Polri secara karikatural merasa “sakitnya tuh di sini, di sini, di sini”.

Masyarakat sepatutnya tidak apriori terhadap langkah hukum yang Polri ambil terhadap Wakil Ketua KPK itu. Meskipun khalayak salut atas kinerja KPK, tapi kurang baik apabila dukungan bagi KPK ditegakkan secara “membabi-buta”. KPK harus terus dikawal secara kritis. Demikian pula sikap kontra terhadap Polri tidak boleh dibangun di atas kebencian gelap mata. Polri patut terus diberikan semangat untuk maju.

Sebagai lembaga penegakan hukum, Polri perlu diberi kesempatan untuk menuntaskan penin­­dakan yang telah dilancarkannya terhadap Bambang Widjojanto yang kadung ditetapkan sebagai tersangka. Bermodalkan tiga alat bukti sebagai pendahuluan, Polri semestinya mampu mematahkan sentimen apriori masyarakat lewat terselenggaranya persidangan atas Bambang.

Tapi sebaliknya, apabila Polri gagal membuktikan tuduhannya terhadap Bambang, bahkan justru mempermalukan diri sendiri seiring terkuaknya berbagai rekayasa hukum, maka sudah saatnya institusi tersebut dijatuhi sanksi berat.

Ganjaran paling keras adalah pembubaran institusi Polri, sebagaimana yang dipraktekkan pemerintah Veracruz (Meksiko) empat tahun lalu. Di sana, dalam rangka mencabut korupsi hingga ke akar-akarnya, seluruh jajaran kepolisian diberhentikan. Militer mengambil alih peran polisi.

Mantan polisi dapat menduduki pekerjaan kembali, setelah melewati tahapan seleksi yang jauh lebih ketat. Selama itu belum berhasil direalisasi, tentara terus bertugas sebagai “polisi”.

Selama 1990-an, ada tiga puluhan institusi kepolisian lokal yang juga dibubarkan. Penyebab utamanya adalah penyalahgunaan kewenangan yang kronis oleh kepolisian (institutional reason), di samping keterbatasan anggaran (contingency reason). Langkah tegas serupa diambil Gubernur Hong Kong, Sir Henry Pottinger, sekian ratus tahun silam.

Langkah revolusioner sedemikian rupa memang dapat berisiko pada meningginya frekuensi, variasi, dan intensitas kejahatan. Namun, jika militer memiliki kesiapan untuk mengantisipasi rangkaian pro­­blem susulan tersebut, pem­­­vakuman lembaga kepolisian untuk sementara waktu tetap merupakan sebuah opsi yang patut dipertimbangkan guna memurnikan organisasi tersebut.

Pembubaran institusi kepolisian adalah keputusan dengan harga mahal. Amat sangat mahal. Tapi kesimpulan penelitian Jennifer Marek (2013) bisa memperkuat nyali. Bahwa penilaian masyarakat akan korupnya lembaga kepolisian bertali-temali dengan pandangan publik bahwa pemerintah mereka pun berasyik-masyuk dengan kerusakan yang sama. Pemerintahan Joko Widodo akan dapat mematahkan simpulan Marek di atas jika ia, bersama DPR, memiliki daya untuk menunjukkan sikap tegas dan konsistensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar