Senin, 26 Januari 2015

BW

BW

Toriq Hadad  ;   Pengarang, Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 25 Januari 2015


                                                                                                                                     
                                                

Ada yang rada aneh dari kawan saya Abdul Simo. Dia sekarang ke mana-mana dikawal tiga orang bodyguard berbadan kekar. Kami bertemu di sebuah sekolah dasar di pinggiran Jakarta. Anak kami sama-sama bersekolah di sana. Dia kelihatan grusah-grusuh.

"Dul, mau ke mana sih? Kok seperti orang dikejar-kejar," tanya saya. Sambil berbisik, saya teruskan bertanya, "Mengapa bawa-bawa pengawal segala sih?"
"Mas, apa tak tahu keadaan sedang gawat? Saya ngeri tiba-tiba dihadang, dicomot. Bambang Widjojanto saja mendadak ditangkap di sekolah anaknya. Pakai diborgol segala, dan langsung jadi tersangka. Kalau pejabat negara diperlakukan seperti maling begitu, bagaimana nasib orang biasa-biasa seperti kita?" jawabnya, sambil terus celingak-celinguk kanan-kiri.
Saya bertanya, "Lo, memangnya kamu salah apa, Dul?"

"Sekarang saya balik tanya: BW itu salah apa? Menyuruh orang bersumpah palsu? Itu peristiwa 2010 yang sudah clear, sudah diklarifikasi sewaktu BW diuji DPR sebelum menjadi pimpinan KPK. Kalau mau dibuka lagi kasus itu, dengar dulu dong saksi-saksi, dengar dulu orang yang bersumpah palsu, kok langsung BW yang diduga menyuruh sumpah palsu dicokok," Dul menyala-nyala.
Saya menyela, "Tapi apa perlu sampai bawa pengawal segala, Dul?"

"Justru saya ingin memberi contoh, pimpinan KPK itu perlu dikawal seperti saya. Jangan sampai dia ditangkap lalu tak ada yang tahu. Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti saja mengaku tak tahu BW ditangkap sewaktu dia ditelepon Johan Budi dari KPK sejam setelah penangkapan. Baru kemudian Kepala Humas Polri membenarkan BW ditangkap. Artinya, Wakapolri saja tak mendapat laporan ada polisi yang bergerak menangkap BW. Lalu, perintah siapa? Apakah ada polisi yang bergerak di luar koordinasi? Ngeri sekali, Mas. Jadi saya bawa pengawal mulai sekarang."

Saya menghela napas. Kali ini sulit benar membantah kata-kata Dul. "Tapi begini, Dul. Jangan beranggapan semua polisi buruk. Saya yakin tidak kurang polisi yang benar-benar mencintai negeri, taat hukum, bisa diandalkan melindungi masyarakat."

Dul "meletup" lagi. "Kalau begitu, kita sebagai rakyat perlu bukti bahwa masih ada polisi baik, patuh kepada aturan dan hukum. Dalam kasus BW, misalnya, mau nggak polisi mengakui bahwa penangkapan BW salah prosedur. Lalu, beranikah pimpinan Polri menindak anak buahnya yang "nyelonong" menangkap BW? Mas baca nggak pernyataan budayawan Butet Kartaredjasa: segoblok-gobloknya masyarakat, pasti melihat penangkapan BW itu terkait dengan penetapan tersangka Budi Gunawan. Jelas, Mas, ini soal balas-membalas."
Saya cuma bisa garuk-garuk kepala, yang sebenarnya tak gatal. "Apa tak terlalu jauh tuh, Dul?"

"Jelas toh, Mas. Setelah calon Kapolri Budi Gunawan dijadikan tersangka oleh KPK, sampai batal jadi Kapolri, muncul banyak hal. Budi Gunawan menempuh jalur hukum, itu wajar saja kalau ada bukti-bukti. Yang tak jelas siapa pelakunya, foto mirip Abraham Samad dengan cewek cantik beredar luas. Lalu diikuti penangkapan BW. Lalu entah apa lagi nanti. Kalau polisi tak mau dituduh terlibat, tangkap semua pelakunya. Buktikan sang pelaku bukan polisi."

Abdul Simo bergegas pergi. Sebagai dedengkot relawan pendukung Jokowi, dia punya jalur khusus untuk bertemu. "Saya akan mengingatkan dua janji kampanye Jokowi. Pertama: perkuat KPK. Kedua, poin ke-38 dari 42 prioritas utama Jokowi-Kalla: akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan berkomitmen pada penegakan hukum."

Saking cepatnya Dul berlalu, saya tak sempat "nitip" pesan buat Presiden: KPK perlu dibela karena korupsi akan membuat negeri kita lapuk. Membusuk. Tegaslah, Pak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar