Minggu, 25 Januari 2015

Catatan Minggu Tentang Seni

Catatan Minggu Tentang Seni

Bre Redana  ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS, 25 Januari 2015

                                                                                                                                     


Ke Singapura kali ini terasa ironis. Berangkat, di airport Cengkareng tak sengaja ketemu seniman, pemilik galeri, kolektor, pimpinan majalah gaya hidup, semuanya punya tujuan sama, mengunjungi perhelatan seni rupa yang tengah banyak berlangsung di Singapura. Ditutup hari Minggu ini, memang berlangsung Singapore Art Week, pasar seni rupa Art Stage, lelang, diskusi, pemutaran film, dan lain-lain.

Tiga balai lelang menyelenggarakan acara hampir berbarengan, yaitu Borobudur, Larasati, dan 33 Auction. Ingat, nama-nama itu adalah balai lelang Indonesia. Yang dilelang selain karya-karya seniman mancanegara tentu saja karya-karya perupa kita dari tingkat master sampai ke para perupa baru. Peserta lelang alias pembeli, sebagian besar orang Indonesia.

Jadi, di situ kita akan bertemu dengan sebagian besar lingkungan seni rupa Indonesia, entah itu seniman, kritikus, art dealer, galeriest, kolektor, istrinya, atau sekadar para tukang kepo. Pada acara cocktail seperti pada pembukaan Art Stage, mereka berbaur dengan seluruh VIP. Cantik-cantik, makmur, dalam wangi parfum dan aura champagne. Belum lagi kalau kita dugem dalam after party. Tambah menggairahkan lagi.

Ironisnya, suasana seperti ini yang berlangsung setahun sekali, dengan kapital sosial sebagian besar kalangan seni rupa Indonesia, mengapa berlangsungnya di Singapura? Tiga seniman Indonesia, FX Harsono, Melati Suryodarmo, Ay Tjoe Christine, menerima penghargaan dari lembaga berbeda-beda. Mengapa semua di Singapura, tidak di Jakarta, atau entah kota mana di Indonesia? Di luar persoalan teknis seperti gembar-gembor tentang industri kreatif, tidakkah di situ persoalannya?

Sama seperti film. Banyak sineas muda bermunculan. Penonton film Indonesia adalah orang-orang Indonesia. Kenapa bioskop-bioskop tidak tumbuh di kota-kota kecil di luar Jakarta?

Semua orang—kecuali pemerintah dan para pejabat—tahu bahwa masyarakat Indonesia sangat kreatif. Pemerintah kita tidak memiliki policy kebudayaan. Kreativitas dan kesenian dinalar dalam kategori administratif, bukan frame work kehidupan. Kategori administratif melahirkan proyek dan proyek berpeluang melahirkan korupsi.

Karena kebudayaan bukan dianggap sebagai spirit bangsa, melainkan kategori administratif tadi, maka ketika pemimpin tertinggi negara menentukan dewan pertimbangan yang dipilih adalah orang-orang partai. Bukan brahmana gunung atau samudra yang diandaikan memiliki kemampuan melihat cakrawala di balik cakrawala. Tampaknya masa depan kita dianggap bukan soal kebudayaan, peradaban, melainkan sekadar soal kekuasaan.

Implikasi dari cara berpikir seperti itu sudah sangat jelas. Setiap hari, seperti sekarang, kita dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang mengusik akal sehat. Jenderal tersangka korupsi diusulkan sebagai kepala kepolisian. Tengah proses hukum berlangsung, petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi ditangkap. Entah kegilaan apa lagi bakal muncul berikutnya.

Manusia, menurut Francis Fukuyama yang intensif meneliti asal-muasal lahirnya system politik dan hukum, secara alami adalah pengikut aturan (rule-following animals). Mereka lahir untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang mereka lihat dan ada di sekelilingnya.

Lingkungan normatif kebudayaan itulah yang tidak diperhatikan pemerintah. Ini memanifestasi dalam apa yang kita lihat sehari-hari: Taman Ismail Marzuki, Balai Budaya, merana. Begitu pun taman-taman budaya di sejumlah kota. Sebagian besar jadi karang hantu. Ngenes ingat itu semua.

Kesenian, kata Milan Kundera, ”...to safeguard us from forgetting to be.” Melindungi diri kita dari lupa untuk menjadi/bereksistensi.

Menjadi apa? Kalau revolusi mental bukan cuma slogan, ya tentunya menjadi bangsa yang bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar