Senin, 26 Januari 2015

Fokus Realokasi Belanja Pemerintah

Fokus Realokasi Belanja Pemerintah

A Prasetyantoko  ;   Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

MAJALAH The Economist (17-23 Januari 2015) menulis, India dan Indonesia adalah negara berkembang yang paling diuntungkan dari penurunan harga minyak dunia. Pemotongan subsidi energi menurunkan 20-30 persen anggaran, tanpa ada efek inflasi. Selanjutnya, pemerintah negara pengimpor minyak ini bisa menaikkan belanja sosial serta mengalokasikannya pada pos pengeluaran produktif.

Pada edisi sebelumnya, majalah ini mengapresiasi kecepatan Presiden Joko Widodo memangkas subsidi serta meluncurkan program sosial, yakni Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera, hanya kurang dari 20 hari sejak dilantik. Presiden Amerika Serikat Barack Obama membutuhkan lebih dari 400 hari mengesahkan program kesehatan sosial atau Obama Care.

Berkah penurunan harga minyak terlihat dalam RAPBN-P 2015 yang sedang dibahas di DPR. Pertama, total belanja pemerintah turun Rp 44,9 triliun (2,2 persen) dibandingkan dengan APBN 2015 sehingga secara keseluruhan fiskal menjadi lebih ramping. Kedua, belanja subsidi energi turun Rp 186,26 triliun (54 persen), sementara subsidi non-energi naik Rp 4,3 triliun (6,1 persen). Transfer ke daerah naik Rp 5,3 triliun dan dana desa naik Rp 11,7 triliun (129 persen). Ketiga, dari fungsi belanja pemerintah pusat untuk perlindungan sosial naik Rp 20,84 triliun (250 persen), belanja ekonomi naik Rp 72,97 triliun (50,8 persen). Sementara belanja pelayanan umum turun Rp 178,92 triliun, akibat refocusing program pemerintah serta efisiensi (termasuk rapat dan perjalanan dinas). Dengan demikian, selain ramping, anggaran hasil perubahan ini juga lebih produktif dan efisien. Pertanyaannya, apakah postur anggaran ini benar-benar bisa dinikmati masyarakat sehingga beban hidup lebih ringan serta ketimpangan ekonomi bisa dipersempit?

Target kualitatif ini memang lentur sehingga tak bisa dijawab dalam satu tahun anggaran. Namun, perubahan fiskal ini harus lebih solid, baik dari sisi alokasi belanja maupun dari administrasi pencairannya. Semua itu tentu harus didukung konsensus politik antara pemerintah dan DPR.

Pertanyaan lebih sederhana, apakah realokasi belanja subsidi energi bisa segera diarahkan untuk mengungkit sektor yang berimbas langsung pada sektor riil? Misalnya, peningkatan 50 persen belanja ekonomi diukur dengan target kualitatif, seperti rasio biaya logistik nasional atas PDB sebesar 23,6 persen, rata-rata bongkar-muat barang (dwelling time) 5-6 hari, serta beberapa ukuran dalam distribusi barang. Artinya, peningkatan belanja ekonomi harus diiringi perbaikan sistem logistik nasional. Jika tidak tercapai, strategi anggaran tidak efektif atau bahkan salah arah.

Salah satu hal yang jadi sorotan publik dari RAPBN-P 2015 ini adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN yang naik dari Rp 7,31 triliun menjadi Rp 74,99 triliun. Pertama, urgensinya bagi BUMN yang sudah go public. Bukankah mereka bisa cari modal dari pasar modal? Kedua, terkait alokasinya yang dianggap tumpang-tindih dan tidak fokus.

PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) mendapatkan suntikan modal pemerintah sebesar Rp 20,35 triliun. Sementara PT Aneka Tambang (Persero) Tbk Rp 7 triliun dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Rp 5,6 triliun. Tiga BUMN ini penerima tambahan modal pemerintah terbesar. Tujuan penambahan modal kepada PT SMI dan PT Bank Mandiri untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Namun, hal rancu, PT SMI disiapkan untuk menjadi bank infrastruktur.

Jika memang PT SMI didorong menjadi bank infrastruktur, mengapa pemerintah juga memberikan tambahan modal pada Bank Mandiri dengan tujuan agar mampu memberikan kredit sektor infrastruktur?

Pada perusahaan yang sudah terdaftar di bursa, tambahan modal ini akan meningkatkan nilai pasar. Itulah mengapa BUMN lain yang juga tercatat (listed) merasa dianaktirikan. Aura kontestasi ini terlihat pada bank-bank BUMN. Selain PT Bank Mandiri, masih ada PT Bank BRI, PT Bank BNI, dan PT Bank BTN yang sama-sama milik pemerintah dan sudah tercatat di pasar modal.

Jika tujuan pemberian tambahan modal pemerintah adalah mempercepat pencapaian target pemerintah, PT Bank BTN (Persero) sangat strategis. Hal itu karena bank ini menjadi anchor dari pencapaian target pembangunan satu juta rumah rakyat.

Memang benar, pemerintah sudah memberikan tambahan modal pada Perum Perumnas sebesar Rp 2 triliun. Namun, tambahan modal ini tak akan mencukupi, mengingat perbedaan kebutuhan dan pasokan yang mampu disediakan (backlog) perumahan di Indonesia sekitar 15 juta unit rumah.

Esensinya, bagaimana menurunkan arah besar pembangunan ke dalam strategi fiskal merupakan titik paling penting. Di situlah tarik-menarik kepentingan terjadi. Perubahan APBN 2015 yang disusun pemerintah sebelumnya merupakan penjabaran visi pemerintah baru ke dalam anggaran. Sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan, RAPBN-P 2015 ini dirancang berdasarkan konsep Nawa Cita atau 9 program utama yang diusung Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Seperti biasa, penjabaran visi ke dalam program serta anggaran selalu mengandung risiko deviasi. Maka, dibutuhkan diskusi dan masukan agar postur anggaran ini benar-benar berdaya guna. Yang paling penting, masyarakat bisa segera menikmati berkah anjloknya harga minyak. Pemerintah dan DPR harus cepat menetapkan RAPBN-P 2015 ini menjadi Undang-Undang APBN Perubahan 2015 sehingga bisa segera direalisasikan dalam proyek dan menghasilkan sesuatu yang konkret bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar