Selasa, 27 Januari 2015

Kegetiran Menuju Seratus Hari

Kegetiran Menuju Seratus Hari

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
KORAN TEMPO, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Dalam hitungan hari ke depan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla genap berusia seratus hari. Sekiranya hendak diperbandingkan dengan seratus hari pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kondisi yang dialami Presiden Jokowi jauh lebih terjal dan berliku. Ibarat pengantin baru, pemerintahan saat ini nyaris dapat dikatakan tidak menikmati bulan madu sama sekali karena sejak awal dihadapkan pada impitan persoalan yang tak sederhana.

Bila pada hari-hari pertama Jokowi berhadapan dengan kekuatan politik di Koalisi Merah Putih, dalam beberapa hari terakhir "desakan" justru datang dari beberapa partai politik yang mendukungnya.

Sampai sejauh ini, kekisruhan di sekitar pengusulan calon Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi semacam titik penting menilai kepemimpinan Jokowi. Namun, dari eskalasi yang ada, peristiwa ini menjadi kegetiran yang tidak terperikan, karena besar kemungkinan berbagai pihak bergerak menuju penghancuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Andai pun terlalu berlebihan untuk mengatakan menghancurkan, paling tidak, mereka tengah melakukan berbagai upaya sistematis untuk melumpuhkan KPK.

Seandainya dibaca kembali pohon janji yang disampaikan Jokowi ketika kampanye, tidak sedikit pun dibayangkan mayoritas publik bahwa Budi Gunawan akan diajukan sebagai calon Kepala Polri. Sebagai salah satu petinggi kepolisian yang telah menjadi buah bibir sejak 2010 karena memiliki rekening gendut, mengajukan bekas ajudan Megawati tentunya jauh di luar batas nalar waras. Dasar pandangan demikian disebabkan karena Jokowi menjanjikan secara tegas akan memilih Kepala Polri yang tidak bermasalah. Secara sederhana, memilih figur yang sejalan dengan janji tersebut hampir pasti sulit dipenuhi Budi Gunawan.

Begitu pula dengan kriminalisasi kepada Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Sebagai orang yang secara eksplisit berjanji akan memperkuat lembaga antirasuah ini, semestinya Jokowi mampu memberikan jaminan bahwa tidak akan ada tindakan "tidak senonoh" terhadap personel KPK. Karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, serta berpikiran hukum secara sehat, rasanya mustahil mengatakan prahara yang membelit Bambang Widjojanto tak ada kaitannya dengan kasus Budi Gunawan. Prahara ini lahir dari laporan yang tak jelas, namun dikerjakan dengan cara yang ajaib agar segera dapat ditersangkakan.

Sederhananya, bila ditelusuri ke belakang, kasus yang disangkakan ke Bambang Widjojanto adalah pekerjaan seorang advokat yang merancang komposisi kesaksian berdasarkan urgensi saksi. Bahkan, dengan menelusuri proses terpilihnya bekas aktivis LBH ini, isu sekitar perannya dalam penyelesaian sengketa hasil pemilihan Bupati Kota Waringin Barat telah diklarifikasi secara tuntas. Sepanjang yang bisa dilacak, klarifikasi tersebut tidak hanya dilakukan panitia seleksi, tapi juga ketika proses fit and proper test di DPR.

Karena itu, melacak perjalanan yang bersangkutan menuju kursi pemimpin KPK, sulit untuk mengatakan bahwa mengangkat kembali kasus Kota Waringin Barat bukan merupakan akal-akalan untuk "mengeluarkan" Bambang Widjojanto dari KPK. Dengan cara pandang tersebut, tanggapan Presiden Jokowi tentu saja menimbulkan pertanyaan serius dari publik. Melihat perkembangan yang terjadi, seharusnya presiden secara tegas menyatakan dan melarang polisi melakukan kriminalisasi kepada pemimpin KPK. Sikap tegas tersebut kian diperlukan karena dua dari tiga pemimpin KPK berada dalam ancaman untuk "dibambang-widjojantokan".

Barangkali, perkembangan yang masih memungkinkan untuk menghindarkan KPK dari kelumpuhan yang disebabkan oleh ancaman kriminalisasi adalah langkah Presiden Jokowi membentuk Tim Tujuh. Melihat nama-nama yang diundang ke Istana Negara, 25 Januari lalu, banyak kalangan percaya bahwa Tim Tujuh akan menjadi jalan strategis untuk mengakhiri kekisruhan KPK-Polri. Untuk itu, Presiden Jokowi harus memastikan tim ini segera bekerja dengan landasan hukum yang kokoh sehingga segera menyelisik silang-sengkarut di sekitar penetapan Bambang Widjojanto sebagai tersangka.

Terkait dengan konteks kehadiran Tim Tujuh, barangkali Presiden Jokowi dapat belajar dari pembentukan Tim Delapan pada era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagaimana diketahui, saat itu Tim Delapan dibentuk dengan tujuan menyelesaikan skandal kriminalisasi Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah yang dikenal dengan Cicak versus Buaya Jilid I. Terlepas dari perdebatan terhadap rekomendasi yang dikeluarkan, kehadiran Tim Delapan mampu menyudahi kisruh KPK-Polri.

Kini, saat kita menunggu pemerintahan Jokowi genap berusia seratus hari, demi alasan menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi, langkah darurat sangat diperlukan. Tanpa langkah tersebut, para pendukung dan pemilih Jokowi pasti berada dalam kegetiran yang teramat sangat menuju seratus hari pertama pemerintahannya yang akan jatuh 30 Januari mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar