Sabtu, 31 Januari 2015

Lupakan Politik Balas Budi demi Rakyat

Lupakan Politik Balas Budi demi Rakyat

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
JAWA POS, 30 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

TIM independen yang terdiri atas sembilan orang (Tim 9) merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk tidak melantik Komjen Budi Gunawan sebagai kepala Polri karena berstatus tersangka. Meski berjanji mempertimbangkannya, presiden dikhawatirkan agak sulit melaksanakan rekomendasi tersebut lantaran berada dalam tekanan partai politik.

Tekanan politik itulah yang belakangan membuat sikap politik Jokowi terkesan kompromistis dan terjebak dalam dilema. Apabila melantik Budi dengan status tersangka, Jokowi pasti akan mendapat resistansi dari masyarakat luas maupun jaringan relawan pendukungnya. Jangankan melantik, saat Jokowi menyatakan menunda pelantikan Budi saja, moralitas publik sudah dibuat tersinggung.

Bagaimana tidak, jika di Filipina Presiden Ferdinand Marcos yang dikenal diktator dan korup saja berani melantik hakim bersih Efren Plana yang sangat sukses memberantas korupsi di Kantor Pajak Filipina pada 1975, masak di sini presiden penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (2010) yang dipilih langsung oleh rakyat justru ingin melantik petinggi polisi berkasus?

Memang, ada opsi lain yang ditawarkan Tim 9, yakni melantik Budi, lalu memintanya mundur sebagaimana yang diusulkan Menko Polhukam dan Menkum HAM. Namun, cara tersebut bisa mengangkangi maksud pasal 11 ayat 5 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 11 ayat 5 tersebut berbunyi, ’’Dalam keadaan mendesak, presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan DPR.’’

Dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud keadaan mendesak adalah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara. Pertanyaannya, sumpah jabatan apa yang dilanggar Budi? Sulit dicerna akal sehat, seseorang yang baru disumpah, kemudian langsung dinilai melanggar sumpah jabatan.

Budi bisa saja tidak mundur dengan alasan yang bersandar pada penafsiran hukum tersebut. Indikasi awalnya pun sudah tampak ketika dia bersikeras mempraperadilankan KPK ke pengadilan. Termasuk, melaporkan dua komisioner KPK ke Kejaksaan Agung, yakni Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Kini kontroversi Budi telah memicu ’’kuretase’’ dalam rahim pemberantasan korupsi, yakni seluruh pimpinan KPK sudah berstatus terlapor dan tersandung masalah hukum (Porosberita.com, 28/1).

Bagaimanapun, pedang pengambilan keputusan tetap harus dihunus presiden. Memang tidak mengenakkan, apalagi desas-desus pemakzulan mulai bergaung di Senayan. Salah satunya diungkapkan politikus PDIP Effendi Simbolon yang menganggap sikap dan keputusan Jokowi telah membuka celah bagi kemungkinan pemakzulan dirinya. Misalnya, ketidaktegasan pidato Jokowi dalam menengahi ketegangan antara KPK dan Polri setelah penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka (Kompas.com, 26/1).

Memang, sejauh ini Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tidak cukup kuat untuk menopang pemerintahan agar terhindar dari berbagai gangguan politis, termasuk pemakzulan. Kuatnya posisi politik DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP) dan masih rentannya relasi politik antara pemerintah dan DPR membuat roda pemerintahan sewaktu-waktu bisa terganjal. Apalagi jika benar sinyalemen bahwa kerukunan mendadak antara KMP dan KIH yang menyetujui pencalonan Budi sebagai calon Kapolri merupakan strategi adu domba untuk menjerumuskan Jokowi dalam lembah ketidakpercayaan dan kemarahan publik. Dengan demikian, amunisi melancarkan pemakzulan terhadap presiden semakin kuat. Yakni, menguatnya konsolidasi elite di DPR plus kekecewaan dan ’’perlawanan’’ rakyat terhadap pemerintah.
Kondisi seperti itu pernah terjadi saat Gus Dur menjadi presiden dan Megawati –yang merupakan pemimpin partai mayoritas di DPR– menjabat wakil presiden. PDIP dan orang-orang dekat Megawati memanfaatkan keretakan hubungan poros tengah dengan Gus Dur yang berujung lengsernya Gus Dur. Megawati pun lantas menggantikannya sebagai presiden.

Meski demikian, Jokowi tidak perlu terlalu grogi sehingga bisa membuatnya salah mengambil keputusan. Sistem presidensial masih memberikan kemewahan konstitusional bagi pemerintahan untuk tetap eksis selama lima tahun. Menurut konstitusi, presiden dapat dimakzulkan oleh sejumlah alasan hukum, bukan alasan politik. Yakni, melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. Itu pun dengan sejumlah tahap politik yang ’’rumit’’ serta memakan waktu.

Sejauh ini, kepercayaan rakyat terhadap Jokowi masih terjaga. Hasil survei Indopolling Network (28/1) menyatakan, tingkat kepercayaan terhadap kemampuan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK dalam melaksanakan program prioritas Nawacita masih tinggi. Tingkat kepercayaan tertinggi ada pada aspek menjaga toleransi kehidupan beragama (78,5 persen), disusul membangun infrastruktur (69,8 persen) dan memperkuat posisi KPK (68,2 persen).

Modal itulah yang harus dirawat sebaik-baiknya oleh Jokowi. Karena itu, lupakan saja soal Budi atau baik budi atau balas budi. Kali ini, Jokowi sebaiknya membuktikan definisi demokrasinya (sewaktu debat capres), yakni mendengarkan suara rakyat dengan membatalkan pelantikan Budi dan melantik Kapolri lain yang memiliki rekam jejak penuh integritas, kompetensi, dan akseptabilitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar