Rabu, 28 Januari 2015

Manuver Barbar Hancurkan KPK

Manuver Barbar Hancurkan KPK

Feri Amsari  ;  Dosen Hukum Tata Negara Universitas Andalas;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas
DETIKNEWS, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Acap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 'diterjang badai' serangan balik para koruptor (corruptors fight back). Lembaga antirasuah itu bahkan kerap berada di ujung tanduk. Namun semuanya mampu dilewati, KPK selalu bertahan dan terselamatkan berkat pertolongan masyarakat. Kini KPK kembali diuji cobaan berat.

Ketua KPK Abraham Samad menjadi pusat permasalahan ketika dituduh 'duduk bersama tim sukses' Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk membicarakan bursa calon wakil presiden pada pemilu presiden (pilpres) 2014 lalu. Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang mengungkapkan hal itu. Masalah kian berat ketika Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap polisi seperti penjahat yang akan melarikan diri.

Untuk melihat masalah ini lebih jernih, ada baiknya permasalahan pimpinan KPK di atas disigi satu per satu. Dalam kasus Abraham, pernyataan Hasto itu memperlihatkan bagaimana PDIP bekerja memenangkan pertarungan. Sebagai aparat penegak hukum, Abraham dirayu untuk lari dari konsistensinya sebagai orang terdepan dalam pemberantasan korupsi. Jadi, sebelum mempertanyakan etika Abraham, PDIP harus terlebih dulu berkaca terhadap segala tindakannya tersebut. Lalu, kondisi apa yang menyebabkan Hasto berani malu membongkar aib partai sendiri?

Sulit bagi PDIP untuk menghindari dugaan bahwa pernyataan Hasto berkaitan dengan tertundanya pelantikan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri. Pernyataan Hasto seolah Abraham menaruh dendam terhadap BG, yang dianggap menggagalkannya sebagai calon wapres PDIP, patut dikritisi. Sejauh manakah pengaruh BG dalam menentukan kebijakan PDIP sehingga dapat menentukan siapa yang berhak menjadi calon wapres atau tidak? Bukankah BG merupakan aparat penegak hukum yang harus independen?

Jadi pernyataan Hasto itu tidak boleh menjadi alasan bagi publik mencurigai kinerja KPK. Setidaknya terdapat tiga alasan agar publik tidak terpengaruh 'hasutan' PDIP.

Pertama, asas satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis, Pasal 169 HIR/306 R.Bg) harus dijadikan pedoman dalam melihat perkara ini. Keterangan yang disampaikan Hasto bukan berarti kebenaran mutlak, sebab tuduhannya berpotensi menjadi fitnah yang berupaya menghancurkan kesolidan internal KPK. Jika pun pertemuan itu terjadi, keinginan Abraham menjadi calon wapres bukanlah kejahatan pidana. Apalagi jika Ketua KPK itu tidak menjanjikan kepada PDIP keuntungan apa pun yang terkait dengan jabatannya.

Kedua, penetapan status tersangka BG tidak dapat dikaitkan dengan hasrat Abraham menjadi calon wapres. Sebab, Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa pimpinan KPK bekerja secara kolektif. Penentuan seseorang sebagai tersangka adalah kerja bersama pimpinan KPK. Suara Abraham hanya satu dari lima (sekarang empat) suara pimpinan yang ada. Sehingga, penetapan BG sebagai tersangka tidak dapat dibatalkan dengan langkah hukum apa pun.

 Ketiga, sebaiknya publik melihat kasus penundaan pelantikan Kepala Polri dan status tersangka yang menimpanya dengan fokus kepada dugaan pidana korupsi yang melibatkannya. Segala hal yang kemudian menyertai proses pemilihan Kepala Polri harus dianggap sebagai kekuatan politik yang tidak senang kepada kinerja KPK.

Ada politik tingkat tinggi yang sedang bermain untuk menyudutkan KPK hingga berada di ujung tanduk. Dalam kasus penangkapan Bambang, publik sesungguhnya sudah dipertontonkan aksi barbar kepolisian dalam upaya menghancurkan KPK. Tidakkah bisa dijelaskan terlebih dulu apa sebabnya Bambang ditahan? Cara penangkapan itu sangat kasar dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan.

Menghalangi Proses Hukum

Apabila tindakan Hasto bertujuan hendak menghentikan proses hukum kasus rekening gendut yang menimpa BG, perbuatan tersebut adalah pidana menghalang-halangi proses penegakan hukum (obstruction of justice). Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).”

Perlu ketegasan tersendiri bagi KPK dalam menyikapi serangan yang dilakukan ke tubuh KPK. Sebab, serangan itu diarahkan kepada pribadi pimpinan KPK secara terencana. Mulai dari penyebaran foto-foto rekayasa perselingkuhan Abraham Samad hingga tuduhan bermain politik dalam pencalonan wapres. Bahkan penangkapan Bambang Widjojanto merupakan indikasi tegas bahwa terdapat pergerakan terorganisasi untuk menyudutkan hingga menghancurkan lembaga yang membanggakan ini.

KPK tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk melawan institusi Polri korup yang didukung kekuatan politik, kecuali peran masyarakat dalam melindungi KPK. Melihat ancaman di tubuh KPK saat ini, saatnya elemen publik kembali bahu-membahu menghadapi upaya menghancurkan lembaga antirasuah ini. Jika tidak, kita akan kehilangan sebuah harapan besar agar Indonesia bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mari selamatkan KPK sekali lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar