Selasa, 27 Januari 2015

Menguji Ketegasan Jokowi

Menguji Ketegasan Jokowi

Yasmi Adriansyah  ;  Kandidat PhD,
School of Politics and International Relations Australian National University
REPUBLIKA, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Prahara perpolitikan Indonesia terkini dapat dihipotesiskan bermula dari ketidaktegasan Presiden Jokowi. Bola liar kasus Budi Gunawan yang kini memasuki fase pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah terbilang mengkhawatirkan. Jika lembaga KPK yang menjadi harapan terakhir rakyat menjadi tak berkutik, Indonesia akan jatuh ke dalam genggaman para oligark politik, sebuah kondisi berbahaya bagi negeri.
           
Pertanyaannya, bagaimanakah solusi politik terbaik agar hipotesis di atas tidak terjadi? Kuncinya ada di kepemimpinan dan ketegasan Jokowi, baik selaku presiden maupun pelaku utama perpolitikan elite. Dan ketegasan ini tengah diuji, khususnya oleh para elite politik maupun rakyat selaku pemberi amanah.

Krisis dan ketegasan

Cendekiawan sudah kerap mengingatkan, kualitas sesungguhnya kepemimpinan seseorang terlihat ketika ia menghadapi krisis (Lussier & Achua 2009). Berangkat dari premis ini, kita dapat menguji apakah Jokowi termasuk pemimpin tegas atau sebaliknya. Sayangnya, melihat dinamika terkini perpolitikan Indonesia, penulis berasumsi bahwa Jokowi belum memiliki ketegasan.
         
Tentu ada yang akan berpendapat bahwa Jokowi sejatinya telah menunjukkan ketegasan sejak menjadi presiden. Kebijakan menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan, menghukum mati gembong narkoba, dan bahkan menghapuskan subsidi BBM adalah beberapa contoh ketegasan Jokowi.

Namun perlu dicatat, kebijakan-kebijakan di atas tidak dibuat ketika Jokowi menghadapi sebuah krisis. Kebijakan-kebijakan di atas masih dapat diputuskan dengan didahului sejumlah cara, termasuk riset ilmiah, dialog politik, atau bahkan konsultasi dengan tokoh-tokoh publik.
           
Adapun dalam bola liar kasus Budi Gunawan yang bergulir cepat dan kini bertransformasi pada fase pelemahan KPK, sikap tegas Jokowi seakan menguap. Anis Hidayah dari Migrant Care bahkan menyindir sikap Jokowi tidak lebih tegas dari seorang ketua RT. Sarkastis memang, namun Jokowi harus membuktikan bahwa ia memang layak menjadi presiden rakyat Indonesia.
           
Ada beberapa asumsi bahwa prahara terkini perpolitikan Indonesia bermula dari ketidaktegasan Jokowi. Pertama, Jokowi tidak tegas dalam mencoret nama Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Padahal, Jokowi sudah pernah melihat catatan merah KPK dan PPATK terhadap perwira polisi pemilik rekening gendut tersebut.
           
Publik mahfum bahwa pihak yang sangat menginginkan Budi Gunawan sebagai kapolri adalah Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Hal ini semakin disulut oleh tekanan Partai Nasdem. Tentu wajar jika publik membaca ada kepentingan politis yang kuat dari dua partai pendukung Jokowi ini. Namun, publik tidak gentar. Perlawanan terhadap Budi dilakukan dengan berbagai cara.
           
Sayangnya, Jokowi tidak tegas atau bahkan minim keberanian menolak tekanan Megawati cs. Bola semakin liar karena Sidang Paripurna DPR secara cepat menyetujui Budi Gunawan, padahal dua hari sebelumnya ia baru dinyatakan KPK sebagai tersangka. Hal ini memang aneh sekaligus lucu, bahwa DPR sebagai representasi suara rakyat justru hampir secara bulat mendukung dan bahkan memuji-muji Budi Gunawan. Seorang pengamat menyebutkan, memang demikianlah kualitas sebagian besar wakil rakyat kita.
           
Dalam kondisi "lampu kuning" negara, rakyat sedikit lega ketika Jokowi memutuskan menunda pelantikan Budi Gunawan. Kekhawatiran akan sebuah prahara dapat diredam. Tentu saja para elite politik di sekeliling Jokowi tidak langsung menyerah. Mereka selanjutnya secara brutal menyerang KPK. Para pimpinan KPK diserang secara politik dan kriminalisasi. Indonesia kini berada dalam situasi "lampu merah". Ketegasan Jokowi kembali diuji.

Menuntut ketegasan Jokowi

Asumsi kedua ketidaktegasan Jokowi terlihat dari sikap normatifnya dalam menghadapi perseteruan KPK-Polri (baca: pelemahan KPK), dan hal ini amat patut disesalkan. Seorang pemimpin memang harus adil. Namun, sikap adilnya harus dilandasi pada kebenaran dan bukan semata akomodatif berusaha menyenangkan pihak-pihak berseteru.
           
Solusi bagi Jokowi sejatinya sangatlah sederhana. Ia hanya perlu bersikap tegas dengan berpihak kepada suara rakyat. Pertanyaannya, suara rakyat yang mana? Ini pun mudah dijawab. Logika sederhana menunjukkan bahwa suara yang menginginkan Budi Gunawan sangat sarat kepentingan politik, baik tersembunyi maupun kasat mata. Sementara suara rakyat sangat jelas, mereka menolak Budi karena menginginkan pemberantasan korupsi, sebuah penyakit kronis bangsa ini.
           
Jika memihak kepada suara rakyat, sebagian pihak akan berkilah bahwa Jokowi memerlukan dukungan politik, khususnya dari Megawati dan parpol koalisi pendukung pemerintahan. Ini pun logis. Namun, sekiranya sikap dan suara para elite politik sudah jelas-jelas melawan suara rakyat, pilihan Jokowi hanya satu, yaitu rakyat.
           
Allah SWT sudah mengajarkan hal ini. Dalam Alquran, Allah memerintahkan Rasulullah SAW bahwa jika ada pihak yang sesungguhnya tidak berniat baik dan meminta keputusan, maka berilah putusan di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. Kemudian, jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan membahayakanmu sedikit pun (QS 5: 42).
           
Intinya, Jokowi hanya perlu berpaling dan bersikap tegas dengan mengatakan "tidak" kepada para elite politik yang memiliki kepentingan menjerumuskan. Jokowi pun harus yakin bahwa sikap ini tidak akan membahayakannya karena ada rakyat yang akan selalu mendukung. Ia cukup meminjam adagium "suara rakyat adalah suara Tuhan".
           
Sekalipun misalnya ketegasan Jokowi menolak tekanan akan berisiko ia dipaksa mundur oleh para oligark politik, hal ini lebih baik daripada berkhianat kepada rakyat. Karena, sejarah akan mengenang nama baik seorang pemimpin yang memperjuangkan kemaslahatan umat, bukan sebaliknya. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar