Senin, 26 Januari 2015

Menjaga Peradaban Sumatera

Menjaga Peradaban Sumatera

Teuku Kemal Fasya  ;   Ketua Panitia Mufakat Budaya Melayu Sumatera
KOMPAS, 24 Januari 2015


                                                                                                                                     
                                                

Tanggal 12-14 Desember lalu di Banda Aceh diselenggarakan acara Mufakat Budaya Sumatera. Acara ini berbentuk diskusi kelompok terarah yang melibatkan para akademisi, seniman, pekerja seni, politikus, aktivis perempuan, dan tokoh masyarakat.

Peserta berasal dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Ketidakhadiran perwakilan semua puak lebih pada masalah teknis dibandingkan dengan masalah etis.

Acara ini menjadi satu rangkaian diskusi kelompok terarah (FGD) dengan wilayah lain di Indonesia. Dimulai dari Kupang, Jakarta, Manado, Bali, dan terakhir di Banda Aceh. Hasil pertemuan menjadi pertimbangan dalam pertemuan besar Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali pada 2015.

Namun, tidak mudah memufakati budaya Sumatera dalam pertemuan sesingkat itu. Apa itu budaya Sumatera? Ketika tema ini harus dinarasikan, ada banyak hal yang mungkin lepas dari tangkap. Ada banyak sisi yang memuai dibandingkan dengan mengerucut. Secara das sein, Sumatera bukan sebuah entitas kultural-antropologis tunggal.

Dimensi kultural

Ada banyak dimensi kultural dan historis hadir di ”pulau emas” ini. Ada banyak biosfer dan fauna endemik dikenal sejak era Marcopolo, seperti anggrek, meranti, damar, keruing, badak, harimau, dan gajah Sumatera.

Ada keunikan geografis yang menjulang- julang dan ceruk ngarai yang tajam ke dalam, berbeda dengan Jawa atau Kalimantan.

Gugusan gunung berapi yang sambung-menyambung yang dikenal dengan nama Bukit Barisan menjadi salah satu wujud ikonis Sumatera. Ia penanda perusak sekaligus penyubur.

Yang paling penting dari semua itu adalah kekayaan kultural. Apa daya, kekayaan kultural Sumatera pada era modern kerap diganggu problem geografikal dan eksploitasi fisikal. Sumatera mulai digarap bangsa-bangsa Eropa sejak abad ke-11 dan dieksploitasi besar-besaran sejak abad ke-17.

Namun, pada era modern, bahkan lebih jauh lagi era reformasi, alam Sumatera mengalami perusakan dan eksploitasi berlipat-lipat. Kerusakan itu tidak hanya ekologis, tetapi juga pada aspek antropologis dan linguistik.

Bahasa tentang alam yang asri dan kebudayaan kosmopolis Sumatera sejak etnografer Arab, Sulayman mencatat tentang Sriwijaya (ia menyebutnya ”Sribuza”) pada abad kesembilan hingga James Mossman merekam pemberontakan Abu Beureueh pada pertengahan abad ke-20, banyak yang luluh dan hilang.

Demikian pula kota-kota di Sumatera. Dalam sebuah riset Hivos tentang kota-kota di Sumatera, Sumatera modern telah mengalami degradasi besar-besaran.
Aspek kultural dan historis yang seharusnya melekat pada kota-kota tua kini tidak terlihat lagi.

Dari dokumentasi penelitian tersimpulkan, hanya Bukittinggi yang masih sehat secara kultural. Kebanyakan kota-kota lain telah kehilangan muka sejarahnya.
Kota Banda Aceh yang diakui telah berumur 810 tahun pada 22 April tahun ini saja terlalu banyak kehilangan sejarah. Semakin sepi bangunan-bangunan tua yang bisa mengingat masa lalu.

Pecinan Peunayong tersambar renovasi masif. Stasiun kereta api tinggal miniatur karikatural. Pohon-pohon tua di taman Putroe Phang; taman yang diciptakan Sultan Iskandar Muda untuk menghipnotis putri Pahang yang ditawan agar bersedia dinikahinya, juga semakin meranggas.

Borjuis ke poskolonial

Eksploitasi dan imperialisasi bumi Sumatera berdampak pada tubuh kulturalnya. Budaya kekerasan sambar-menyambar. Bangsa Melayu menjadi kuli di tanah sendiri. Riau, wilayah yang dianggap serambi Melayu yang santun, menjadi arena amook di antara warga tempatan yang semakin kehilangan lahan karena sawitisasi, alih fungsi hutan, dan eksploitasi migas.

Dengan mudah orang mengatakan warga Riau kejam karena telah menyerang para pekerja di perusahaan sawit.

Orang tidak melihat latar belakang, nadi sejarah, dan kerusakan yang telah membawa darah kotor kebudayaan ke dalam pikiran para warga. Alam bagi bangsa Melayu adalah istana ramahnya, tetapi kini di tanah itu mereka menjadi pekerja yang dibayar sangat murah.

Para peneliti asing pun lebih banyak mengkaji politik kekerasan dan perang di Sumatera ini. Tulisan Edwin M Loeb, Paul van’t Veer, Lance Castle, Herbeth Feith, Anthony Reid, Harold Crouch, hingga Edward Aspinall lebih mengenang Sumatera dalam darah dan kekerasan.

Sebuah buku yang terbit setelah tsunami seperti ingin mendekonstruksi istilah kanonik Aceh dari Serambi Mekkah menjadi ”Serambi Barbar”. Buku yang diterbitkan Asian Studies Political Sciences dan dieditori sejarawan asal Selandia Baru, Anthony Reid, diberi judul Verandah of Violence: The Background to Aceh Problem.

Mungkin di sini perlu strategi pengetahuan poskolonial yang lebih empatik tentang Sumatera. Termasuk bagaimana mendekonstruksi dan mencari batas-batas maksimal baru dalam melihat kemelayuan Sumatera yang, meskipun secara historis-arkeologis-kultural disebut tanah suci Melayu, kini dengan entengnya diampu Malaysia menjadi maharaja Melayu, kolonial.

Penting bagi kita untuk membangun narasi baru tentang Sumatera yang berangkat dari data dan dokumen lama yang gemilang. Jangan sampai yang terbentang hanya duka cita, sementara Sumatera begitu menyejarah pada abad-abad lalu.

Jangan hanya dipengaruhi oleh iklim modernisasi ekstrem dan globalisasi salah kaprah, seperti Amerikanisasi, RCTI-sasi, Arabisasi, dan Wahabisasi. Sumatera bukan sekadar serobek mitos atau legenda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar