Jumat, 30 Januari 2015

Menyinergikan Lembaga Penegak Hukum

Menyinergikan Lembaga Penegak Hukum

Joko Wahyono  ;  Analis pada Studi Politik Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PENEGAKAN hukum dalam pemberantasan korupsi di negeri ini benar benar tengah diuji. KPK dan Polri terlibat dalam aksi saling sandera kasus dan wibawa. Setelah Komjen (Pol) Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Selasa (13/1), karena kasus dugaan korupsi, Jumat (23/1), giliran Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri terkait kasus sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010. Akibatnya, drama perseteruan KPK dan Polri semakin meruncing.

Penetapan seseorang menjadi tersangka memang menjadi domain hukum. Namun, tak bisa dinafikan bahwa proses di domain hukum tersebut tak bisa terhindar dari anasir-anasir politik yang melingkupinya. Terlebih, politik memiliki logika dan hukum sendiri. Premis politik sering kali bergerak jauh lebih cepat ketimbang proses hukum.Bahkan, hukum politik yang bertumpu pada kebenaran logis (opini publik) terkadang jauh lebih kejam daripada kebenaran empiris (fakta hukum) itu sendiri. Tak heran jika muncul persepsi di publik bahwa apa yang dilakukan Polri merupakan wujud perlawanan dan pelemahan KPK. Yang mencuat ke permukaan ialah upaya kriminalisasi KPK.Padahal, publik berharap agar perseteruan KPK dan Polri, baik di level personal maupun institusional ini cepat selesai.

Lepaskan ego

Kita melihat bahwa konflik antara KPK dan Polri lebih disebabkan oleh cara pandang satu dimensi dan totaliter. Menurut Herbert Marcuse dalam One Dimensional Man (1964), pemikiran satu dimensi secara sistematis dipromosikan perekayasa politik dan pemasok informasinya. Wacana-wacananya dihuni hipotesis yang divalidasi sendiri se cara monopolistik dan terus-menerus menjadi definisi yang menghipnotis. Akhirnya, semua menjadi politis. Politik itu sendiri membuat orang menjadi miopia (berkacamata kuda), skizofrenia, dan berorientasi jangka pendek.

Kita khawatir jika publik menerjemahkan persoalan KPK dan Polri ini sebagai politik balas dendam. Jika itu yang terjadi dan terusmenerus dipelihara, hanya akan mengaburkan esensi masalah yang sebenarnya, yakni korupsi. Bahkan, konflik antara KPK dan Polri malah kontraproduktif dan melemahkan pemberantasan korupsi. Karena itu, di tengah tantangan yang semakin berat, KPK dan Polri kini harus mampu melepaskan ego sektoral atau egocentric righteousness, yakni merasa lebih baik atau `superior' karena masing-masing merasa yakin benar. Sebab, belenggu ego sektoral ini hanya akan membuat mereka cenderung menjadi agresif, ingin berkuasa, dan merasa menjadi lembaga yang super dan paling benar. Semua harus sadar bahwa era demokrasi ialah semangat untuk menjunjung tinggi semangat untuk menjunjung tinggi keterbukaan.

Maka, pola komunikasi yang dibangun bukan seperti yang diistilahkan oleh Karl Popper (2002) bersifat pejorative, yakni memosisikan diri sebagai pihak yang paling benar atau falsifikatif, yakni memosisikan pihak lain sebagai pihak yang salah dan keliru. Namun sebaliknya, yang justru perlu dibangun ialah rasa pengakuan diri secara asertif untuk menerima kesalahan diri dan mengakui kebenaran di pihak lain. Karena itu, jika merujuk Lieven Boeve (2003), bahwa setiap kebenaran ketika dikonteskan dengan kebenaran lain, hanya akan berujung pada defisit kebenaran.

Bangun sinergi

Pada dasarnya KPK dan Polri sama-sama menjadi tulang punggung masyarakat dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Perang melawan korupsi membu tuhkan napas dan tenaga lintas sektoral, sehingga sinergisme antara lembaga penegak hukum menjadi suatu keniscayaan. Dengan mengandalkan KPK untuk meringkus rayap dan tikus penggarong keuangan negara ialah harapan yang tidak realistis, mengingat keterbatasan KPK dan peta sebaran korupsi.

Karena itu, normalisasi kehidupan penegakan hukum mutlak dilakukan dengan cara menjauhkan aparat-aparatnya dari cara berpikir satu dimensi dan totaliter.KPK dan Polri harus membebaskan diri dari mitos-mitos yang membuat mereka miopik, yakni berorientasi jangka pendek. Apa yang selama ini menjadi ego sektoral harus dikesampingkan dan digantikan dengan hubung an saling menjaga kepercayaan. Pada konsep yang lebih integratif, pola hubungan antara KPK dan Polri juga harus berubah dari hubungan yang sebelumnya independen menjadi interdependen.

Sehingga, tanggung jawab moral setiap subsistem lembaga penegak hukum juga akan menjadi tanggung jawab moral bagi subsistem yang lainnya. KPK dan Polri tidak selayaknya berbenturan, tetapi saling mendukung dan bersinergi demi pembersihan negara dari virus korupsi. Kalaupun harus berkonflik, harus dikelola dengan cara-cara yang lebih elegan dan penuh adab demi pendidikan politik serta hukum bagi publik.

Pola komunikasi harus dibangun secara sehat dan terbuka demi terciptanya kerangka hubungan yang lebih sinergis di antara sesama aparat penegak hukum. Etika kejujuran, integritas, dan kredibilitas moral, serta proporsionalitas harus dikedepankan dalam setiap pengambilan keputusan. Ikhtiar untuk itu pada gilirannya akan berujung pada peningkatan kepercayaan publik terhadap institusi. Kehadiran Presiden Jokowi mutlak dibutuhkan untuk mencari terobosan alternatif bagi terciptanya konsensus baru dalam rangka mengakhiri konflik KPK dan Polri.

Presiden harus memastikan agar persoalan ini menjadi momentum bagi KPK dan Polri untuk saling berbenah diri. Ia harus membangun kesamaan kesadaran bahwa pemberantasan korupsi ialah prioritas tertinggi yang harus dihayati semua penegak hukum tanpa terkecuali. Jangan sampai besarnya harapan publik membuat mereka abai terhadap problem korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar