Senin, 26 Januari 2015

Minyak dan Era Perekonomian Indonesia Baru

Minyak dan Era Perekonomian Indonesia Baru

Anton Hendranata  ;   Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
KOMPAS, 26 Januari 2015


                                                                                                                                     
                                                

MERUPAKAN fenomena wajar bahwa harga minyak dunia turun karena pemulihan ekonomi dunia, seperti di Tiongkok, Jepang dan Uni Eropa—dengan perkecualian Amerika Serikat—berjalan lambat. Namun, cukup mengagetkan, harga minyak dunia turun drastis memasuki awal 2015, jauh dari yang diperkirakan sebelumnya. Menariknya lagi, ketika harga minyak dunia turun, Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) tak mau mengurangi produksi.

Kejatuhan harga minyak ini makin dalam lagi karena peningkatan produksi minyak shale dari AS. Suplai minyak yang berlebihan, sementara permintaan minyak masih lemah menyebabkan harga minyak tercatat 48 dollar AS per barrel per 15 Januari 2015, anjlok hampir 60 persen.

Padahal, enam bulan lalu harga masih tinggi di atas 100 dollar AS, yaitu 115 dollar AS per barrel pada Juni 2014. Situasi ini mungkin akan terus berlanjut dan bisa menuju ke level di bawah 40 dollar AS per barrel, seperti saat krisis ekonomi dunia 2008, di mana harga minyak mencapai level terendah 37 dollar AS per barrel pada Desember 2008.

Dampak ke Indonesia

Untuk Indonesia, penurunan harga minyak dunia ini sangat menguntungkan perekonomian domestik karena Indonesia negara importir neto minyak. Momen langka ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah karena tren penurunan harga minyak ini sifatnya hanya sementara, mungkin hanya sampai satu hingga dua tahun ke depan.

Harga minyak dunia sekarang yang rendah bukan harga yang normal secara ekonomi, melainkan harga abnormal yang disebabkan perang harga yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi untuk menjatuhkan produsen minyak negara lain, seperti Iran, Rusia, dan Amerika Serikat. Pada saat banyak produsen minyak bangkrut, suplai minyak akan berkurang dan harga minyak dunia akan kembali merangkak naik ke harga wajarnya.

Oleh karena itu, menarik untuk ditelaah, apa dampak harga minyak dunia yang abnormal ini ke perekonomian domestik? Bisakah ini menjadi titik awal reformasi migas dan menjadi awal kebangkitan perekonomian Indonesia menuju era keseimbangan baru yang lebih kuat dan berkesinambungan?

Reformasi migas sudah dimulai dengan penghapusan subsidi bensin. Pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah melakukan dua gebrakan berkaitan dengan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pertama, pada November 2014, pemerintah menaikkan harga bensin dan solar masing-masing Rp 2.000 per liter menjadi Rp 8.500 dan Rp 7.500 per liter dengan alasan untuk menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak sehat, walaupun saat itu banyak yang menentang karena kebijakan ini dianggap berlawanan dengan tren penurunan harga minyak dunia.

Kedua, ketika harga minyak dunia turun drastis ke 56 dollar AS per barrel, pemerintah menurunkan harga bensin menjadi Rp 7.600 per liter, sedangkan solar menjadi Rp 7.250 per liter pada 1 Januari 2015. Kebijakan ini akhirnya berhasil menghapus subsidi bensin dan hanya memberikan subsidi tetap sebesar Rp 1.000 per liter untuk solar.

Suatu kebijakan berani dan tidak populer yang diambil oleh pemerintah Jokowi-JK. Untungnya, tidak ada reaksi penolakan dari masyarakat karena yang ditangkap oleh rakyat adalah harga bensin dan solar turun, walaupun subsidi dicabut dan ke depannya akan bergerak mengikuti harga pasar.

Keputusan krusial ini menyebabkan pemerintahan baru terbebas dari sandera subsidi BBM yang selalu menjadi beban dan ganjalan berat APBN setiap tahun. Kebijakan ini memberikan napas segar untuk kesehatan APBN ke depan. Pada 2015, pemerintah dapat menghemat sekitar Rp 200 triliun-Rp 250 triliun dari kebijakan subsidi BBM ini.

Seperti kita ketahui, dalam sepuluh tahun terakhir, alokasi pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM menyerap hampir 25 persen dari total pengeluaran. Ironisnya, pengeluaran untuk kapital, yang mestinya sangat penting untuk mendorong roda perekonomian karena berkaitan langsung dengan pembangunan infrastruktur hanya 13 persen dari total pengeluaran, yang berarti hanya separuh dari pengeluaran untuk subsidi BBM.

Lebih pro pertumbuhan

Dengan adanya penghematan dari subsidi BBM, postur APBN 2015 akan berubah drastis menjadi pro pertumbuhan, bukan hanya sekadar pengeluaran rutin, sekadar menjalankan roda pemerintahan secara administratif. Porsi pengeluaran kapital bisa naik signifikan sekitar 30 persen, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan APBN sebelumnya, yang hanya 13 persen.

Angka yang fantastis, yang memberikan harapan baru untuk pembangunan infrastruktur yang lebih baik, seperti jalan, bendungan, irigasi, jembatan, dan pelabuhan.

Agresivitas dan komitmen pemerintahan Jokowi–JK terhadap percepatan pembangunan infrastruktur sangat jelas terlihat dari rencana penerbitan surat utang obligasi pemerintah tahun ini. Pemerintah menaikkan obligasi yang akan dikeluarkan menjadi Rp 460 triliun dari Rp 431 triliun, walaupun sudah berhasil menghemat dari penghapusan subsidi BBM.

Berbicara pengurangan subsidi BBM, biasanya akan mendapat penolakan keras di masyarakat dan DPR. Hampir pasti jika subsidi BBM dikurangi maka harga BBM akan naik dan memicu kenaikan harga barang dan jasa secara signifikan. Namun logika ini tidak berlaku untuk saat ini, pada saat subsidi bensin dicabut dan dilakukan subsidi tetap untuk solar, harga bensin dan solar malahan bisa turun signifikan karena berkah anjloknya harga minyak dunia.

Sayangnya, harga bensin dan solar yang turun dan kemungkinan akan turun lagi belum direspons oleh penurunan harga barang dan jasa. Ironis memang, umumnya di Indonesia ketika harga barang sudah naik tidak mudah turun, kecuali jika ada penurunan yang sangat signifikan dari biaya input produksi. Walaupun demikian, kita masih berharap bahwa inflasi akan bergerak stabil dalam perekonomian dalam waktu dekat ini karena penurunan harga BBM.

Kebijakan penyesuaian harga bensin dan solar setiap dua minggu sekali, saya kira akan sangat baik untuk inflasi ke depan. Kalaupun suatu saat harga bensin dan solar naik, kenaikan akan terjadi secara gradual sehingga dampak ke inflasi pun akan secara gradual dan shock inflasi dalam perekonomian juga akan minimal. Tidak seperti pengalaman sebelumnya, inflasi akan melonjak ketika ada kenaikan harga BBM bersubsidi dan tingginya ekspektasi inflasi sebelum kenaikan harga BBM tersebut.

Dalam jangka menengah dan panjang, pada saat pembangunan infrastruktur berjalan dengan baik serta konektivitas antarkota, daerah dan pulau juga berjalan dengan baik—sehingga distribusi barang, jasa, dan orang bergerak lebih efisien—maka tren inflasi rendah dan stabil akan menyongsong perekonomian Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi 7 persen, bahkan 10 persen, bukanlah mustahil bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. Potensi sumber daya alam dan manusia Indonesia sangat besar dan kaya. Pada saat ini, kita hanya merindukan pemerintahan yang kuat dan berkarakter yang mampu melakukan reformasi bidang energi, birokrasi, dan hukum secara spartan dan konsisten.

Penghapusan subsidi BBM adalah baru tahap awal. Semoga momentum ini terus berlanjut ke setiap sendi perekonomian Indonesia. Mari kita tunggu dengan semangat dan sabar menuju era pertumbuhan ekonomi baru, inflasi rendah, dan stabil serta rupiah yang membanggakan dan mampu memberikan kepercayaan kepada insan ekonomi di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar