Senin, 26 Januari 2015

Pendidikan Keayahbundaan atau Pendidikan Pengasuhan?

Pendidikan Keayahbundaan

atau Pendidikan Pengasuhan?

Amich Alhumami  ;   Sarjana Ilmu Pendidikan Lulusan UPI Bandung;
Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
MEDIA INDONESIA, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BEBERAPA hari yang lalu, seorang teman mengirim pesan pendek untuk minta konfirmasi, “Saya dengar, Kemendikbud mau nerbitin tabloid `Ayah-Bunda' ya?“ Sejenak saya berpikir, apa sesungguhnya maksud pertanyaan kawan saya itu. Lalu, saya segera sadar bahwa layanan pesan singkat (SMS) itu pastilah berhubungan dengan rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membentuk direktorat `Pembinaan Pendidikan Keayahbundaan' di bawah `Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.' SMS kawan itu jelas merupakan bentuk sinisme, bahkan mungkin juga ekspresi satiris.

Tak pelak, di media sosial, publik ramai bergunjing mengenai nama direktorat tersebut. Tentu saja, pergunjingan para netizen bernada sinis dengan aneka usulan nama baru yang cenderung mengolok-olok, seperti direktorat `kepapamamaan', `kepapimamian', `kepipimimian', `kebapakibutirian', bergantung pada istilah yang digunakan dalam penyebutan orangtua.

Pertanyaan awam, dari manakah nama direktorat tersebut berasal? Mengingat terminologi yang digunakan berkaitan dengan proses pendidikan, adakah argumen pedagogis yang mendasari penggunaan istilah tersebut?

Saya cenderung mengatakan penggunaan istilah pendidikan `keayahbundaan' --dari mana pun istilah itu didapat, bahkan menurut kabar, atas usulan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sendiri-hanya sekadar `kegenitan intelektual' belaka. Jika ditelusuri penggunaan istilah pendidikan `keayahbundaan' mungkin yang dimaksudkan sebagai padanan istilah Inggris, yakni parenting education. 

Jika bukan lantaran sikap genit, pastilah karena keterbatasan imajinasi intelektual sehingga parenting education diterjemahkan menjadi pendidikan `keayahbundaan.' Padahal, parenting education lebih tepat dialihbahasakan menjadi `pendidikan pengasuhan' karena berkaitan dengan tanggung jawab orangtua untuk mendidik dan mengasuh anak. Parenting education adalah pendidikan untuk menjadi orangtua yang baik dan selanjutnya bisa mendidik serta mengasuh anak dengan baik pula. Paling kurang ada empat argumen bahwa penggunaan istilah `pendidikan keayahbundaan' tidak tepat.

Sekadar status

Pertama, secara linguistik, istilah `keayahbundaan' hanya kata benda belaka yang tidak punya konsekuensi apa pun dalam proses pendidikan.Ayah bunda hanya sekadar predikat yang melekat pada pasangan suami istri yang punya anak, atau status yang disematkan kepada pasangan suami istri ketika mereka memiliki keturunan sehingga sang anak memanggilnya ayah bunda. Padahal, parenting education mensyaratkan kemampuan, kecakapan, dan passion dalam mendidik anak yang harus disertai pengetahuan yang baik mengenai semua hal berkenaan dengan proses pendidikan dan pengasuhan anak. Istilah `keayahbundaan' tidak mengandung makna semantik apa pun yang dapat dihubungkan. Terutama dengan tiga hal yang sangat esensial dan paling elementer dalam proses pendidikan anak, yakni nurturing, rearing, and caring. Bagi yang pernah belajar filsafat pendidikan, tentu paham ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok dalam ilmu pedagogi.

Kedua, pengasuhan lebih cocok sebagai padanan parenting karena akar kata `asuh' sangat sarat makna pendidikan. Kata dasar `asuh' punya muatan pedagogi yang sangat dalam karena menggambarkan suatu proses panjang perihal merawat, membimbing, mengarahkan, melindungi, dan menyayangi anak untuk dapat tumbuh kembang menjadi pribadi dewasa dan bertanggung jawab. Proses panjang dalam pengasuhan anak merupakan bagian dari pekerjaan pen didikan sehingga orangtua harus memahami prinsip-prinsip dasar ilmu pedagogi agar dapat menjalankan tugas dan fungsi sebagai orangtua dalam mendidik dan mengasuh anak. Mengingat pengasuhan itu berkenaan dengan ikhtiar untuk merawat, membimbing, mengarahkan, melindungi, dan menyayangi anak, maka orangtua harus pula memahami tahap tumbuh kembang anak. Dalam suatu disiplin keilmuan, ada satu cabang ilmu psikologi (pendidikan) yang sangat penting, yakni child development pyschology--suatu subdisiplin ilmu yang fokus pada tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan anak menurut tingkatan usia. Untuk dapat menjalankan tugas pengasuhan dengan baik, orangtua harus membekali diri dengan pengetahuan mengenai psikologi perkembangan anak (psychology of child development stages). Dengan penjelasan demikian, kata `asuh' dan `pengasuhan' jelas memiliki implikasi pedagogis--sesuatu yang tidak ditemukan dalam penjelasan kata `keayahbundaan.'

Ketiga, implikasi pedagogis pada kata `asuh' dan `pengasuhan' sangat nyata, kontekstual, dan dapat dijumpai dalam budaya masyarakat Indonesia. Di masyarakat Sunda, misalnya, dikenal konsep `silih asah, silih asih, silih asuh,' yang dengan sangat jelas menggambarkan suatu proses pendidikan mulai dari kanak-kanak sampai dewasa. Konsep tersebut berlaku pula untuk pembinaan masyarakat luas, terutama bila dikaitkan dengan ide mengenai education for the good society. Bagi masyarakat Sunda, filosofi tersebut diinternalisasi dan ditransmisikan kepada seluruh warga masyarakat. Filosofi `silih asah, silih asih, silih asuh' menjadi semacam etika sosial sekaligus landasan moralitas untuk membangun masyarakat yang baik. Dalam tradisi masyarakat Sunda, filosofi tersebut juga dimaknai dalam konteks pendidikan sepanjang hayat, baik dalam konteks pendidikan sepanjang hayat maupun ikhtiar membangun good society. Setiap anggota keluarga dan warga masyarakat harus bersedia 1) saling berbagi ilmu, pengetahuan, kearifan, kebajikan (silih asah), 2) saling kasihmengasihi atau berbagi kasih sayang dalam jalinan relasi individual dan interaksi sosial yang harmonis (silih asih), dan 3) saling membimbing, memandu, dan mengasuh berdasarkan nilai-nilai kearifan serta kebajikan di dalam keluarga dan masyarakat (silih asuh).

Keempat, berbeda dengan istilah `pengasuhan'. Pilihan istilah `keayahbundaan' akan membatasi bahwa proses pendidikan seolah-olah hanya bisa dilakukan ayah dan ibu. Padahal, banyak anak yang masih dalam usia sekolah telah kehilangan salah satu atau kedua orangtua sehingga mereka harus dirawat, diasuh, dan dididik orang lain yang bertindak menjadi wali pengganti orangtua. Mereka yang bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang kehilangan orangtua bisa saja kerabat dekat (kakek nenek, paman bibi, dan sepupu), atau bahkan orang lain yang tidak punya hubungan keluarga sama sekali. Di sini, istilah `pengasuhan' jelas melampaui batas-batas hubungan kekerabatan karena yang diutamakan ialah proses pendidikan dalam wujud yang nyata, yakni merawat, membimbing, mengarahkan, memandu, melindungi, dan menyayangi anak yang menjadi tanggung jawab seseorang dalam pengasuhan.

Coba fokus

Pendidikan ialah bagian dari urusan publik sehingga dalam proses penyusunan kebijakan, Kemendikbud perlu menyerap aspirasi publik. Alih-alih konsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis dalam pembangunan pendidikan, Kemendikbud bahkan sang menteri sendiri gemar bersikap genit dengan penggunaan istilah-istilah baru nirmakna dan niresensi. Alangkah baik bila menteri fokus pada isu-isu strategis, seperti pemerataan akses pendidikan, terutama pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus untuk mendapat perhatian serius. Kebijakan mengenai pendidikan inklusi, misalnya, harus terintegrasi dengan kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah reguler agar anak-anak berkebutuhan khusus memperoleh layanan pendidikan yang sama.Demikian pula pendidikan layanan khusus harus menjadi prioritas agar seluruh anak usia sekolah yang tinggal di daerah-daerah terpencil, perbatasan, dan pulau-pulau terdepan juga memperoleh layanan pendidikan bermutu tanpa terkendala oleh kondisi geografis yang sulit. Mengingat pendidikan ialah hak dasar, maka berapa pun jumlah penduduk yang memerlukan layanan (pendidikan) khusus harus dapat dipenuhi pemerintah tanpa berhitung seberapa besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sungguh sangat riskan bila urusan pendidikan diserahkan kepada orang-orang yang tidak punya pemahaman yang baik mengenai isu-isu mendasar pembangunan pendidikan apalagi tidak punya basis ilmu pedagogi yang kuat. Tak mengherankan bila yang muncul hal-hal sangat trivial seperti istilah genit `pendidikan keayahbundaan'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar