Senin, 26 Januari 2015

Revisi UU Pemilihan Kepala Daerah

Revisi UU Pemilihan Kepala Daerah

Saldi Isra  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
MEDIA INDONESIA, 26 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BOLEH jadi, Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah) merupakan produk hukum yang berasal dari proses yang sangat unik. Bahkan, dari sejarah pembentukan UU di Indonesia, produk hukum ini memiliki sejarah dan hikayat manuver yang amat berliku. Karena posisi tersebut, produk hukum yang berupaya memberi makna terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 ini layak dipertimbangkan untuk diajukan dan dicatat dalam Museum Rekor Indonesia.

Bila hendak menoleh ke belakang, UU Pemilihan Kepala Daerah ini berasal dari posisi politik pemerintah (yaitu Kementerian Dalam Negeri) mengubah pola yang berupaya mengubah pola pemilihan kepala daerah dari dipilih secara langsung menjadi dipilih anggota DPRD. Namun, begitu mengetahui kemungkinan reaksi mayoritas kekuatan politik di DPR, pemerintah menggeser keinginannya menjadi hanya gubernur yang dipilih DPRD dan bupati/wali kota tetap dipilih langsung. Lalu, posisi ini berubah lagi; gubernur dipilih langsung, sebaliknya bupati/wali kota dipilih anggota DPRD.

Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah memilih mengalah menghadapi keinginan politik di DPR; tetap mempertahankan pola pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Begitu pemerintah berubah sikap dengan menyetujui model pemilihan langsung, setelah hasil Pemilu Anggota Legislatif 2014 diketahui dan polarisasi politik di sekitar pemilihan presiden dan wakil presiden, mayoritas partai politik (parpol) di DPR berputar haluan dengan cara mendukung pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD.

Sama-sama diketahui, proses persetujuan UU Pemilihan Kepala Daerah (26/9/2014) menghasilkan drama politik yang menggelikan. Bahkan setelah disetujui, drama politiknya menjadi kian seru yang ditandai dengan penolakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, sebagai salah satu pihak yang memiliki kewenangan sama besarnya dengan DPR, penolakan tersebut mesti disampaikan pada proses persetujuan bersama dengan DPR. Artinya, secara konstitusional, jika pemerintah (baca: presiden) tidak setuju, rancangan undang-undang tidak akan menjadi UU.

Keunikan tersebut berlanjut dengan sangat singkatnya wajtu pemberlakuan UU No 22/2014. Hanya dalam hitungan jam, UU No 22/2014 dicabut keberlakuannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (Perppu No 1/2014).
Sebagaimana diketahui, parpol yang pada saat pembahasan di DPR mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD tiba-tiba berbalik arah mendukung Perppu No 1/2014. Apa pun pertimbangan di balik perubahan sikap parpol tersebut, kita tentu memberikan apresiasi karena mereka telah kembali ke jalan yang benar; memulihkan daulat rakyat dalam menentukan kepala daerah.

Keniscayaan revisi

Sebagai sebuah produk hukum yang dituntaskan dalam periode proses politik dengan tensi tinggi, hampir dapat dipastikan sebagian substansinya memiliki kelemahan. Oleh karena itu, melakukan perubahan atas beberapa substansi menjadi semacam keniscayaan yang tak terelakkan.

Pada titik itu, publik perlu memberikan apresiasi lain terhadap anggota DPR karena pembahasan persetujuan Perppu No 1/2014 berlangsung sangat singkat. Dengan pembahasan yang begitu singkat, masih tersedia waktu yang cukup untuk merevisi beberapa substansi dalam UU Pemilihan Kepala Daerah.
Karena semua kekuatan politik di DPR setuju dengan Perppu No 1/2014 1/2014, pertanyaan sentral yang hadir ke permukaan; mengapa dalam pembahasan persetujuan tidak dilakukan saja perubahan beberapa substansi yang dianggap bermasalah tersebut?

Secara formal, meski semua parpol menilai terdapat banyak substansi yang harus direvisi, langkah ke arah itu tak bisa dilakukan dalam proses perse tu juan. Berdasarkan keten tuan Pasal 22 UUD 1945, DPR sebagai pihak yang memiliki ruang menilai hak subjektif presiden dalam mengeluarkan perppu hanya bisa mengambil sikap setuju atau tidak setuju dengan produk hukum tersebut.

Bahkan, keterbatasan ruang DPR ini ditegaskan kembali oleh Pasal 52 ayat (3) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas perppu. Dalam hal DPR setuju, perppu ditetapkan menjadi UU.

Dengan keterbatasan tersebut, secara formal, perubahan betapa pun kecilnya menjadi sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Pilihan satu-satunya, perubahan dilakukan dengan cara mempercepat pem bahasan untuk memperoleh persetujuan.

Kemudian, setelah persetujuan, presiden segera melakukan tindakan pengesahan dan pemerintah harus segera menuju tahapan pengundangan. Beruntungnya, sebagai sebuah keniscayaan melakukan revisi, parpol di DPR dan pemerintah telah bersepakat mengoreksi beberapa materi dalam Perppu No 1/2014.

Terkait dengan keniscayaan revisi, banyak kalangan percaya bila tidak dilakukan kesepakatan, beberapa substansi yang dinilai bermasalah akan diteruskan menjadi bagian dalam proses pemilihan kepala daerah ke depan. Dengan kesepakatan tersebut, parpol dan pemerintah menjadi terikat melakukan revisi setelah Perppu No 1/2014 menjadi UU. Tak hanya ih wal substansi, kedua belah pihak juga menyepakati bahwa revisi dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas, yaitu tidak melewati pertengahan Februari 2015. Kesepakatan ini penting untuk memastikan penyelenggara memulai tahapan-tahapan pemilihan kepala daerah.

Substansi revisi

Salah satu kesepakatan yang sangat positif, sekalipun akan dilakukan perubahan, publik tidak perlu ragu bahwa pemerintah dan DPR akan mengganti pola pemilihan kepala daerah. Ihwal ini, kedua belah pihak (termasuk DPD) telah sepakat dengan pemilihan langsung. Secara positif, kesepakatan melakukan revisi membuka ruang dan kesempatan kepada kita mengajukan atau mengemukakan usul perubahan yang akan dilakukan.

Pertama, untuk menghindari sengkarut perdebatan seputar keabsahan penyelenggara pemilihan kepala daerah, revisi perlu memberikan penegasan soal ini. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah tidak masuk dalam rezim pemilihan umum.

Karena itu, formulasi pengaturan otoritas KPU RI, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota harus mampu meminimalisai (jika perlu menghentikan) perdebatan di sekitar ini. Sepanjang yang saya ketahui, masalah penyelenggara menjadi salah satu isu yang selalu dipertanyakakan sebagian anggota KPU. PU.

Kedua, uji publik dengan menjadikannya sebagai tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Perppu No 1/2014, warga negara Indonesia yang mendaftar sebagai bakal calon gubernur, bakal calon bupati, dan bakal calon wali kota yang diusulkan oleh parpol, gabungan parpol, atau perseorangan wajib mengikuti uji publik.

Sebagai gagasan baru, adanya ruang untuk melakukan uji publik tentu sangat menarik. Sebagai tahapan yang eksplisit diwajibkan bagi setiap bakal calon, uji publik menjadi aneh karena proses ini tidak dapat menggugurkan pencalonan. Cara pandang begini muncul apabila dalam proses diketahui bakal calon memiliki masalah dengan kapabilitas dan integritas, misalnya tidak bisa digugurkan pihak yang melakukan uji publik.

Karena tidak memungkinkan untuk mendiskualifikasi bakal calon, tahapan uji publik menjadi sesuatu yang layak ditimbang lagi untuk terus dipertahankan. Gagasan ini mendesak karena uji publik menjadi tahap penyelenggaraan yang mesti dipenuhi.

Apalagi, dengan keharusan melakukannya tiga bulan sebelum pendaftaran calon, proses penyelenggaraan uji publik akan memerlukan banyak waktu dalam proses pemilihan kepala daerah. Dengan ketentuan tiga bulan tersebut, sangat mungkin tahapan uji publik menghabiskan waktu tiga sampai empat bulan.

Sebagai sebuah gagasan baru, dalam berbagai kesempatan saya kemukakan (misalnya di Koran Sindo, 20/1), sebaiknya uji publik dijadikan kewajiban parpol dalam merekrut calon sebelum diajukan kepada penyelenggara pemilihan. Untuk ini, parpol yang mesti dipaksa melakukan proses pencalonan yang terbuka dan transparan agar calon tidak lahir melalui proses oligarkis partai politik. Misalnya, parpol didorong melakukan semacam konvensi dalam menentukan calon.
Supaya memiliki daya ikat, bagi parpol yang tidak melakukan proses terbuka dan partisipatif, penyelenggara membatalkan haknya mengajukan calon. Untuk itu, revisi Perppu No 1/2014 perlu mengatur secara tegas otoritas penyelenggara dalam menolak calon yang diajukan parpol.

Ketiga, pengaturan ihwal dinasti politik. Dalam hal ini, Pasal 7 huruf q Perppu No 1/2014 menyatakan calon tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Ketentuan ini dimaknai sebagai bentuk pelarangan atas kemungkinan munculnya dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah.

Ihwal larangan tidak memiliki konflik kepentingan ini, dalam Penjelasan Pasal 7 huruf q dinyatakan; tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan petahana kecuali telah melewati satu kali masa jabatan.

Secara jujur harus diakui, hadirnya larangan ini dipicu pengalaman beberapa daerah yang memunculkan semacam dinasti. Meski demikian, pelarangan begini potensial memicu masalah konstitusionalitas dengan cara menguji ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi UUD 1945 mengatur hak setiap warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan.

Karena itu, supaya niat baik ini tidak menjadi kontraproduktif, menjadi jauh lebih baik jika yang diatur ialah larangan tegas dan rinci bagi petahana menggunakan fasilitas jabatannya untuk mendukung calon yang memiliki ikatan keluarga dan ikatan perkawinan.

Keempat, penyelengaraan pemilihan secara serentak. Dalam soal ini, harus ditimbang betul untuk menyelenggarakan serentak secara nasional, atau melakukan pemilihan menjadi dua tahap pelaksanaan.

Selain tak sederhana untuk menghitung transisi kelebihan atau kekurangan masa jabatan kepala daerah yang ada saat ini karena harus dilaksanakan secara serentak, masalah keamanan dan potensi konflik secara nasional perlu pula diperhitungkan. Untuk ini, barangkali perlu dipikirkan alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak dengan memilih basis provinsi.

Selain substansi di atas, masih terdapat masalah-masalah lain yang mestinya direvisi dalam UU Pemilihan Kepala Daerah. Misalnya, penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah, kemungkinan menjadikan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala di dalam satu paket, dan antisipasi meruyaknya praktik politik uang. Jauh lebih penting dari semua itu, revisi substansi UU Pemilihan Kepala Daerah harus menjamin terlaksananya pemilihan yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar