Jumat, 30 Januari 2015

Revitalisasi Perbenihan Basis Kedaulatan Pangan

Revitalisasi Perbenihan Basis Kedaulatan Pangan

MT Felix Sitorus  ;  S3 Sosiologi Perdesaan dari IPB;
Pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB
MEDIA INDONESIA, 29 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

UNTUK mencapai kedaulatan pangan 2018, Kementerian Pertanian (Kementan) memprioritaskan rehabilitasi jaringan irigasi dan pencetakan sawah baru dalam pembangunan pertanian 2015-2019. Seluruh jatah realokasi subsidi BBM (Rp15 miliar) untuk sektor pertanian, misalnya, diperuntukkan rehabilitasi jaringan irigasi tahun ini.

Kebijakan Kementan itu dari satu sisi pantas diapresiasi. Kerusakan jaringan irigasi sudah sangat luas (3 juta ha sawah) sehingga rehabilitasi sangat mendesak. Pencetakan sawah baru juga perlu, untuk menutup defisit neraca lahan pertanian akibat konversi lahan. Namun, Kementan juga harus dikritik. Sebab, dengan memprioritaskan irigasi dan pencetakan sawah berarti mengabaikan masalah terpenting, yaitu keterbelakangan perbenihan. Kalau tak diatasi, kemungkinan besar kedaulatan pangan tak tercapai pada 2018.

Harga mati

Bagi Presiden Jokowi, pencapaian kedaulatan pangan dalam tiga tahun ialah harga mati.Itu berarti per Januari 2018, tingkat konsumsi per kapita tiap tahun, yakni beras, jagung, dan kedelai secara berturut-turut harus mencapai minimal 139 kg, 83 kg, dan 10 kg per kapita.Volume impor beras, jagung, dan kedelai harus mencapai angka nol. Pada tahun itu, saat jumlah penduduk 265 juta (BPS, 2013), untuk mencapai taraf swasembada saja, produksi pangan domestik harus mencapai 36,8 juta ton beras, 22 juta ton jagung, dan 2,6 juta ton kedelai. 

Namun, target pemerintah pada 2018 ialah kedaulatan pangan, bukan sekadar swasembada. Untuk itu, diperlukan surplus minimal 10% sehingga kebutuhan produksi pangan minimal 40,5 juta ton beras (setara 78 juta ton padi/GKP), 24,2 juta ton jagung, dan 2,9 ton kedelai.

Produksi pangan nasional 2014 masih jauh di bawah target 2018. Padi baru 70,6 juta ton (luas panen 13,8 juta ha, produktivitas 5,1 ton/ ha), jagung 19,1 juta ton (luas panen 3,9 juta ha, produktivitas 4,9 ton/ha), dan kedelai 0,9 juta ton (luas panen 0,6 juta ha, produktivitas 1,5 ton/ha). Berarti, pada 2018 produksi domestik harus menutup defisit 7,4 juta ton padi (10,5%), 5.1 juta ton jagung 
(21,1%), dan 2 juta ton kedelai (222,2%).

Jika perbenihan business as usual, tak ada jaminan kedaulatan pangan tercapai 2018.Sebagai contoh, ambil target produksi beras, 2015-2017 Kementan akan membenahi jaringan irigasi 3 juta ha sawah. Jika target itu tercapai, diperkirakan terjadi peningkatan produktivitas 3% atau 0,15 ton/ha pada luas an 3 juta ha sehingga diperoleh tambahan padi 0,45 juta ton tiap musim atau 0,9 juta ton tiap tahun.

Kementan juga menargetkan pencetakan sawah 3 juta ha. Jika target itu tercapai dengan realisasi tanam 50% (angka moderat) atau 1,5 juta ha, dengan produktivitas rata-rata 2 ton/ha (sawah baru) diperoleh tambahan padi 3 juta ton tiap musim atau 6 juta ton tiap tahun. Jadi, pembenahan irigasi dan pencetakan sawah akan menghasilkan tambahan 6,8 juta ton padi atau kurang 0,5 juta ton dari target.

Artinya, swasembada beras mungkin tercapai, tetapi tidak untuk kedaulatan. Target tambahan produksi jagung dan kedelai lebih berat. Kalau mengandalkan perluasan tanam semata, diperlukan tambahan luas tanam jagung 1 juta ha dan kedelai 1,3 juta ha. Masalahnya, jagung dan kedelai diusahakan di sawah juga sehingga berisiko pengurangan luas tanam padi 2,3 juta ha. Hal itu mengancam swasembada beras, target swasembada jagung dan kedelai akan dikorbankan.

Revitalisasi perbenihan

Risiko gagal kedaulatan pangan dapat diatasi melalui revitalisasi perbenihan. Intinya, peningkatan mutu dan ketersediaan benih unggul. Sebab, penentu utama peningkatan produktivitas pangan bukanlah irigasi ataupun pupuk, melainkan kinerja benih. Benih adalah cetak-biru pertanian (Sadjad,1993). Kemajuan pertanian ditentukan potensi benih, sedangkan faktor lain menyejajarkan diri dengannya. Semakin unggul benih, semakin unggul pertanian dan sebaliknya.

Itu sebabnya FAO merekomendasikan pengutamaan revitalisasi perbenihan untuk peningkatan produksi pangan. Ini terkait kendala global berupa kelangkaan air (kendala irigasi), keterbatasan lahan (konversi ke nonpangan), keterbatasan sumber daya tak terbarukan (bahan pupuk kimia), dan perubahan iklim global (ketidakpastian usaha).Oleh karena itu, perlu diciptakan benih unggul produktivitas tinggi, umur pendek, hemat pupuk (kimia) yang tahan cekaman biotik atau abiotik.

Tak banyak gunanya investasi irigasi dan cetak sawah kalau kinerja perbenihan masih rendah. Masalah dasar perbenihan ini harus segera diatasi melalui revitalisasi, yakni rendahnya mutu dan ketersediaan benih. Rendahnya ketersediaan benih unggul (be-sertifikat) ialah masalah kronis. Kebutuhan benih padi nasional misalnya diperkirakan 350 ribu ton per tahun. Namun, ketersediaan benih besertifikat hanya sekitar 150 ribu ton (43%). Itu pun mutunya belum tentu sesuai klaim sertifikasi.

Kementan disarankan merevisi kebijakan dengan memprioritaskan revitalisasi perbenihan ketimbang khususnya pencetakan sawah. Inovasi benih unggul dapat menyubstitusi tambahan areal. Pada 2018, target 78 juta ton padi bisa dicapai pada luas panen 13,8 juta ha jika produktivitas benih 5,65 ton/ ha. Target 24,2 juta ton jagung bisa dicapai pada luas 3,9 juta ha jika produktivitas benih 6,2 ton/ha. Target 2,9 juta ton kedelai bisa dicapai pada luasan 1 juta ha (tambah 0,4 juta ha) jika produktivitas benih 2,9 ton/ha.

Langkah revitalisasi perbenihan yang harus ditempuh, yakni pertama, pengalihan anggaran pencetakan 3juta ha sawah (Rp30 triliun, Rp10 juta/ha) untuk investasi perbenihan tanaman pangan. Kedua, peningkatan produktivitas riset dengan fokus penciptaan varietas benih pangan produktivitas tinggi, umur pendek, serta tahan cekaman biotik (hama atau penyakit utama) dan abiotik (kekeringan, kebanjiran, dan salinasi), khususnya varietas hibrida tropis (padi/ jagung). Ketiga, peningkatan investasi dan reinventing industri perbenihan nasionalis (BUMN) guna meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas benih yang dihasilkan. Keempat, pembentukan jaringan industri benih skala kecil berbasis desa (kemitraan BUMN) untuk mendukung keterjaminan mutu dan jumlah benih bagi petani pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar