Kamis, 29 Januari 2015

Seratus Hari yang Mengecewakan

Seratus Hari yang Mengecewakan

Asrudin  ;  Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Group
JAWA POS, 28 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PADA 28 Januari 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla genap berusia 100 hari. Selama itu pula, rakyat Indonesia menaruh harapan besar kepada Jokowi untuk bisa melakukan perubahan yang lebih baik bagi bangsa ini.

Mungkin karena harapan yang besar dari rakyatlah Jokowi sempat dijadikan cover majalah Time edisi Oktober 2014. Dalam cover itu, majalah terbitan Amerika tersebut menuliskan headline: A New Hope dengan huruf kapital.

Apalagi jika kita mengingat kembali pidato pelantikan Jokowi di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin 20 Oktober 2014, harapan itu, tampaknya, akan terwujud. Dalam penutup pidato pelantikan presiden yang berjudul ’’Di Bawah Kehendak Rakyat dan Konstitusi’’, Jokowi dengan tegas mengatakan, ’’Sebagai nakhoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudra dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan konstitusi.’’

Tapi, apa yang terjadi? Belum 100 hari pemerintahannya berjalan, Jokowi justru membuat sejumlah janji yang diingkari sendiri. Bahkan, baru-baru ini, Jokowi dinilai mengecewakan publik dalam menyikapi persoalan tentang penolakan publik atas pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri dan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) oleh Bareskrim Polri.

Rapor Jokowi

Sebagaimana dicatat The New York Times pada 17 Januari 2015, sosok Jokowi saat ini mulai kehilangan kilaunya. Dalam artikel yang ditulis koresponden The New York Times yang berjudul For Indonesians, President’s Political Outsider Status Loses Its Luster, Joe Cochrane mendata sejumlah kebijakan dan keputusan Jokowi yang dinilai merusak citra sendiri.

Memang, ketika terpilih, Jokowi segera saja menjadi apa yang disebut Cochrane sebagai political outsider. Artinya, Jokowi telah memegang jabatan penting dan dianggap mampu mengubah sistem yang sudah ada, mengubah hal yang tidak bisa diubah, serta memberikan harapan yang cerah bagi rakyat.

Namun, sebagaimana Cochrane mencatat lebih lanjut dengan cerdas, satu-satunya yang bisa ditebak dalam dunia politik di Indonesia adalah ketidakpastian itu sendiri. Kini Jokowi justru lebih banyak memberikan sejumlah kekecewaan bagi para pendukungnya.

Belum genap 100 hari memimpin pemerintahan, dia sudah membuat empat inkonsistensi sekaligus. Pertama, saat Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Padahal, pada masa kampanye pilpres, dia telah berjanji di depan anggota IPOI (Ikatan Persaudaraan Ojek Indonesia) pada 16 Juni 2014 di Jalan Borobudur 18, Jakarta Pusat, untuk tidak menghapus subsidi BBM.

Kedua, ketika Jokowi mengumumkan kebinetnya. Sebelum mengumumkan kabinet, dia berjanji untuk tidak berkompromi dan tidak transaksional dalam menyusun kabinet. Namun, Jokowi malah menyusun kabinet yang penuh dengan transaksi serta kompromi.

Terdapat beberapa nama menteri yang di luar ekspektasi publik dan merupakan titipan petinggi parpol koalisi pendukung Jokowi. Misalnya, Puan Maharani (menteri koordinator bidang pembangunan manusia), Ryamizard Ryacudu (menteri pertahanan), Rini Soemarno (menteri badan usaha milik negara), serta Tedjo Edhy Purdijatno (menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan).

Ketiga, saat Jokowi memutuskan memilih jaksa agung dari Partai Nasdem, M. Prasetyo. Padahal, sebelumnya Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menegaskan bahwa Jokowi tidak akan memilih jaksa agung dari kader partai. Dalam pernyataannya, Rabu 29 Oktober 2014, Andi memastikan Jokowi akan menunjuk jaksa agung dari kalangan profesional internal atau dari eksternal Kejaksaan Agung.

Keempat, yang juga sangat menyakitkan hati publik, penunjukan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai calon tunggal Kapolri pada 9 Januari lalu. Penunjukan BG itu dinilai telah mengkhianati rakyat sekaligus konstitusi karena BG telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Setelah penetapan tersangka itu, Jokowi justru tidak menganulir pencalonan BG, malah dibiarkan menggantung. Akibatnya, persoalan tersebut sempat meluas dengan ditangkapnya BW oleh Bareskrim Polri yang dinilai banyak pihak sebagai aksi balas dendam Polri terhadap KPK.



Jadilah Pemimpin

Sangat jelas terlihat, rapor Jokowi lebih banyak merah daripada birunya. Meski dia sudah melakukan sesuatu yang sangat disukai publik –misalnya, kebijakan ofensif untuk menyelamatkan kekayaan laut Indonesia melalui Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti; program tiga kartu sakti (kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, dan kartu keluarga sejahtera); kebijakan penurunan harga BBM; dan rencana membangun 13 bendungan baru pada 2015 untuk mengejar swasembada pangan, hal itu tidak bisa menutupi empat kesalahan politiknya tersebut. Hal tersebut terlihat dari besarnya ekspresi kekecewaan publik yang tergambar di laman media sosial Facebook dan Twitter.

Meski ada yang membela dengan menyatakan bahwa rapor merah itu timbul karena Jokowi tersandera pemain politik berpengaruh lainnya seperti Megawati, Surya Paloh, dan Jusuf Kalla, hal tersebut tetap tidak bisa dijadikan alasan pembenar. Menjadi seorang pemimpin memang tidak mudah. Dia harus siap membela kepentingan rakyat dan konstitusi, bukan kepentingan elite politik partai pendukungnya.

Karena itu, 100 hari pertama ini harus dijadikan pelajaran oleh Jokowi untuk bisa memperbaiki kesalahan agar ke depan Indonesia menjadi lebih baik dan kepercayaan publik kembali tumbuh.

Caranya sangat mudah, tunjukkan saja kepada publik bahwa Jokowi merupakan strong leader yang bisa menyelaraskan janji dengan realisasi serta bisa menyelaraskan kata dengan perbuatan. Itu saja kata kunci yang dibutuhkan publik dari seorang Jokowi. Jika itu berhasil dilakukan, revolusi mental sebagaimana yang diusung Jokowi sejak masa kampanye Pemilu Presiden 2014 akan menjadi sebuah gerakan nasional. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar