Rabu, 28 Januari 2015

Timur Tengah Pasca-Abdullah

Timur Tengah Pasca-Abdullah

Abdul Mu’ti  ;  Sekretaris PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
KORAN SINDO, 27 Januari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Setelah bertahta selama satu dasawarsa Raja Abdullah meninggal dunia. Selama pemerintahannya, Raja Abdullah berhasil meletakkan dasar-dasar reformasi politik, sosial, keagamaan, dan perdamaian di Arab Saudi dan regional Timur Tengah.

Para pemimpin tertinggi negara-negara “sekutu” Arab Saudi seperti Barack Obama (AS), Francois Hollande (Perancis), David Cameron dan Pangeran Charles (Inggris), Erdogan (Turki), Nawaz Sharif (Pakistan) takziah langsung dan memberikan penghormatan terakhir. Kehadiran mereka merupakan pertanda pentingnya peranan Arab Saudi di dunia internasional.

Lima Tantangan Salman

Sesuai sistem baibaiat, Salman bin Abdul Aziz al-Saud menduduki singgasana menggantikan Raja Abdullah. Sistem tersebut diciptakan oleh Raja Abdullah pada 2006 untuk tiga tujuan: menjamin keberlangsungan kepemimpinan kerajaan, menghindari perebutan kekuasaan di antara para putra mahkota, dan menyiapkan pemimpin kerajaan yang kompeten.

Arab Saudi pernah mengalami masalah suksesi kepemimpinan ketika Raja Faisal dibunuh pada 1975. Raja Salman berkuasa ketika Arab Saudi berada dalam kondisi yang kuat dan stabil. Walau demikian, Salman mengalami lima tantangan yang tidak ringan. Pertama, masalah “rumah tangga” kerajaan.

Ini terutama terkait suksesi generasi kedua pasca-Salman. Sudah menjadi rahasia umum, terdapat rivalitas di antara para putra mahkota. Jika Salman tidak arif membagi kekuasaan dan memelihara hubungan baik dengan semua ahli waris kerajaan, suksesi berikutnya belum tentu aman oleh permusuhan dalam selimut. Kedua, masalah keamanan terutama radikalisme dan terorisme.

Dalam dua puluh tahun terakhir, Pemerintah Arab Saudi harus bekerja keras melawan berbagai tindak kekerasan. Pada masa pemerintahan Raja Fahd, serangkaian aksi kekerasan terjadi pada Juni 1996, Maret 2001, Mei dan November 2003, April, Mei, Juni, dan Desember 2004.

Aparat keamanan Arab Saudi beberapa kali berhasil menggagalkan upaya teror. Hanya ada sekali serangan teror pada masa kepemimpinan Raja Abdullah (Februari 2007). Tetapi, negara petro dolar itu tidaklah sepenuhnya aman. Raja Salman harus bekerja lebih keras memadamkan bara dalam sekam, terutama dari jaringan al-Qaeda yang merupakan “anak kandung” Kerajaan Saudi.

Ketiga, masalah kedaulatan terutama separatisme di wilayah selatan. Arab Saudi adalah negara yang sangat sensitif terhadap Syiah. Selain terkait ideologi, juga terkait gerakan politik kaum separatis Syiah di perbatasan Yaman dan wilayah timur yang kaya minyak. Ancaman separatisme lain datang dari pada pendukung Islamic State pimpinan al-Baghdadi.

Sebagai keturunan Quraisy, al-Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dan merasa diri lebih berhak memimpin negara dibandingkan dengan keluarga Saudi. Keempat, masalah ekonomi, terutama ancaman pengangguran. Separuh penduduk Arab Saudi adalah kelompok muda di bawah 25 tahun.

Masalah ini disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, kebijakan negara yang cenderung “memanjakan”. Generasi muda Saudi dininabobokan dengan fasilitas sehingga miskin kreativitas dan malas. Kedua, aset-aset strategis ekonomi dimonopoli oleh keluarga kerajaan sehingga rakyat tidak memiliki akses luas. Kesenjangan sosial yang semakin menganga bisa mengobarkan semangat melawan kerajaan.

Kelima, masalah politik dan hak asasi manusia. Arab Saudi merupakan salah satu negara yang paling buruk dalam penegakan hak asasi manusia, khususnya hak politik. Pada 2009, Komisi HAM PBB mengingatkan tingginya represi dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Amnesti internasional menyimpulkan Pemerintah Arab Saudi tidak bersungguh- sungguh memenuhi komitmennya dalam pemenuhan hak-hak sipil di negaranya.

Dunia mencatat reformasi politik yang telah dilakukan Raja Abdullah. Tetapi, bagi para pejuang hak asasi manusia, langkah- langkah tersebut belumlah signifikan. Merujuk Muasher (2014: 29) “... Saudi Arabia Saudi Arabias record on political and cultural diversity, representative government, and womens record on political and cultural diversity, representative government, and womens rights ... does not suggest a moderate, reformist approach.” Pemerintah Arab Saudi harus me-reken dampak Arab Spring terhadap gerakan politik dan hak asasi manusia yang merembet ke negaranya.

Perubahan di Timur Tengah?

Para analis menilai Raja Salman adalah figur religius yang cenderung konservatif. Dalam bidang ekonomi dia cenderung pragmatis. Karena itu, pemerintahan Raja Salman tampak akan lebih memperkuat orientasi keagamaan dan memperluas pengaruh Arab Saudi dalam bidang agama.

Dalam rangka menjaga stabilitas keamanan dan meningkatkan ekonomi, Raja Salman tampaknya akan lebih memperkuat pertahanan, mengefektifkan antiterorisme, dan lebih tegas terhadap separatisme. Pilihannya adalah mempererat kerja sama dengan pemerintahan Yaman yang konservatif untuk menekan gerakan kaum minoritas Syiah. Jika langkah ini dilakukan, Arab Saudi akan semakin bersitegang dengan Iran yang selama ini ditengarai mendukung gerakan Syiah.

Konstelasi politik di Timur Tengah akan berubah jika Pemerintah Arab Saudi melakukan ekspansi ideologi Wahabisme yang sudah dirintis sejak era 1970-an. Tujuan utama langkah ini “merebut kembali” supremasi Arab Saudi sebagai “pemimpin” umat Islam dunia. Arab Saudi adalah inisiator pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan Rabitah Rabitah Alam Islami.

Langkah Pemerintah Arab Saudi ini tidak akan mudah. Pertama, faktor nasionalisme Arab yang menguat setelah negaranegara Arab merdeka dari kolonialisme. Kedua, faktor kemajuan ekonomi dan politik Turki. Dalam sejarah, Arab pernah dikuasai oleh Turki Utsmani.

Pengaruh Arab Saudi mulai digeser Turki terutama setelah OKI berubah menjadi Organisasi Kerjasama Islam (Organization of Islamic Cooperation) , Juni 2011. Ketiga, faktor perubahan kepemimpinan Iran. Sejak Revolusi Islam Iran 1979, Saudi begitu khawatir dengan kebangkitan kaum Syiah di berbagai penjuru dunia.

Saudi juga menaruh perhatian serius dengan membaiknya hubungan Iran dan negara-negara Barat setelah Rouhani memegang tampuk kekuasaan. Benturan Sunni-Syiah di Timur Tengah dengan segala dampak politik yang menyertainya adalah perkembangan yang sangat berpengaruh terhadap perdamaian.

Dalam konteks ini kebijakan luar negeri Arab Saudi akan sangat berpengaruh terhadap penyelesaian konflik di Suriah, Palestina, dan Mesir. Tujuan lain dari ekspansi Wahabisme adalah meluruskan kesalahpahaman dan memperbaiki citra Pemerintah Arab Saudi. Pascapemboman WTC 2001, citra Arab begitu buruk dan terpuruk. Sebanyak 15 dari 19 eksekutor pemegang paspor Arab Saudi.

Karena itu, pemerintahan Raja Abdullah merintis dialog lintas iman dengan Vatikan. Pemerintah Saudi juga mendirikan organisasi yang mensponsori dialog antariman. Bisa jadi Raja Salman akan meninjau ulang kebijakan ini. Citra Arab sebagai “agen” radikalisme dunia belum berubah sepenuhnya.

Selain itu, kedekatan dengan Barat justru membangkitkan radikalisme dan sentimen anti-Barat di dalam negeri. Perubahan kepemimpinan di Arab Saudi tentu akan berpengaruh terhadap Indonesia. Secara keagamaan, bangsa Indonesia memiliki emosional keagamaan danpendidikanyangkuat.

Diperkirakan, ada jutaan warga negara Indonesia ber-mukim di Arab Saudi. Indonesia juga sangat berkepentingan terkait jamaah haji dan umrah yang jumlahnya ratusan ribu tiap tahun. Ratusan warga negara Indonesia (WNI) menunggu eksekusipidanamati. Berbagai ketegangan keagamaan di dalam negeri, khususnya yang terkait kaum Syiah, ditengarai terjadi karena faktor ekspansi ideologi Saudi.

Pemerintahan baru Indonesia perlu mengambil momentum kepemimpinan baru di Arab Saudi untuk memperbarui hubungan dan menyelesaikan berbagai permasalahan ketenagakerjaan, pendidikan dan keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar