Sabtu, 28 Februari 2015

Alih Teknologi yang Seolah-olah

Alih Teknologi yang Seolah-olah

Etty S Suhardo  ;  Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum,
Ketua Sentra Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 26 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

MUHIBAH Presiden Jokowi atas undangan Perdana Menteri Malaysia Mohamad Najib Razak membuahkan kesepakatan memasukkan Proton, mobil produk negeri jiran tersebut ke Indonesia. Kerja sama tersebut masih tahap awal, dalam arti kedua pihak, yaitu PT Adiperkasa Citra Lestari (Indonesia) dan Proton Holdings Berhad (Malaysia) masih harus mempelajari dan melakukan studi kelayakan.

Masyarakat terkejut karena menangkap kesan Proton akan menjadi mobil nasional. Lalu akan di kemanakan mobil Esemka, yang murni karya anak bangsa dari Solo semasa Jokowi menjabat Wali Kota Solo. Adapun PM Mohamad Najib Razak pada pernyataan persnya berharap Proton bisa menjadi mobil resmi ASEAN.

Banyak muncul pro dan kontra terkait kerja sama tersebut, di antaranya mempertanyakan kenapa mesti bekerja sama dengan Malaysia? Tidakkah sekalian dengan Jepang, atau minimal Korea, yang memiliki teknologi lebih maju dan negara itu diakui menguasai pasar otomotif dunia? Sesungguhnya kita tidak perlu risau mengingat bisnis itu kerja sama biasa. Masing-masing pihak masih menjajaki lewat MoU untuk studi kelayakan tiga bulan ke depan.

Bahkan kerja sama itu merupakan kesempatan baik bagi negeri ini untuk mempererat hubungan industri dengan negeri jiran. Kita juga tak bisa memungkiri fakta saat ini relatif tak mudah memasarkan mobil Proton di Indonesia mengingat sudah tersedia banyak pilihan sehingga yang berlaku hukum ekonomi.

Sebagian masyarakat tentu ingat beberapa merek motor buatan Tiongkok, yang mirip Honda buatan Jepang? Awalnya, penjualan motor Tiongkok (dulu China sehingga kerap disebut mocin) laris manis mengingat berharga murah. Namun setelah timbul masalah pada beberapa produk, termasuk kesulitan mencari suku cadang, lama-laun masyarakat meninggalkan produk itu dan kembali pada merek lama.

Memang ada pendapat bahwa lewat kerja sama tersebut akan terjadi alih teknologi. Namun andai hanya memasarkan Proton ke Indonesia, mana mungkin ada alih teknologi? Kalaupun ada kerja sama produksi, pasti banyak sangkut pautnya dengan kepemilikan hak kekayaan intelektual (HKI) berupa ciptaan, merek, paten (teknologi), desain industri, dan sebagainya.

Semua itu terkait dengan rahasia dagang yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Jadi, produk yang dikerjasamakan tidak terlepas dari kepemilikan hak kekayaan intelektual. Berkembangnya makna karya-karya intelektual dalam aspek bisnis mengindikasikan dinamika ekonomi, yaitu potensialnya hasil intelektualitas dari rasa, karsa, dan cipta manusia.

Khusus untuk mobil yang mengandung bermacam jenis paten (teknologi), biasanya kerja sama produksi melalui kontrak lisensi. Artinya, menyangkut jangka waktu izin yang diberikan pemilik teknologi kepada pengguna teknologi, dan ada keharusan membayar sejumlah royalti.

Penerapan Teknologi

Kontrak lisensi juga selalu menyebutkan secara rinci teknologi yang dipakai. Dalam HKI, spesifikasi teknologi terdiri atas hardware, software, dan organizeware, ketiganya merupakan satu kesatuan. Terkait hardware misalnya, sepanjang produk itu bisa dilihat secara fisik (show how), orang Indonesia pasti bisa membuatnya.

’’Perajin’’kita sangat pandai berkreasi membuat apa pun. Namun bila sudah menyangkut software berupa know how, pasti mempunyai kandungan iptek yang kompleks. Belum tentu pemilik teknologi ’’memberikan begitu saja’’ kepada kita. Adapun organizeware adalah upaya penyelarasan peranti keras dengan peranti lunak supaya bisa diterapkan pada sebuah produk fisik, sesuai dengan kesepakatan.

Dalam konteks itu, ada tantangan mengingat dari aspek teknologi kita belum tentu bisa meniru know how-nya. Dicuri sekalipun tidak bisa. Bagaimana mungkin mencuri pengetahuan tentang teknologi dalam sebuah produk. Pasti pemilik teknologi akan memproteksi temuan itu sedemikian rupa. Bahkan menempatkan sejumlah ahli untuk mengawasi teknologi yang telah dilisensikan itu.

Salah satu poin kontrak lisensi biasanya mengandung kalimat ’’setelah sekian tahun atau sesuai dengan perjanjian, akan ada alih teknologi’’. Kata ’’akan’’ secara normatif bisa dilaksanakan kapan pun. Supaya kita tidak ’’terbuai’’, sebaiknya dalam kontrak perlu dijelaskan secara rinci teknologi mana saja yang bakal dialihkan.

Pengalaman empiris selama ini alih teknologi ternyata ’’alih teknologi yang seolah-olah’’ mengingat yang terjadi hanyalah penerapan teknologi, dan bukannya alih teknologi. Karena itu, lebih bijak kita menunggu dulu kelanjutan kerja sama bisnis tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar