Jumat, 27 Februari 2015

Catatan untuk Mahkamah Partai Golkar

Catatan untuk Mahkamah Partai Golkar

Romanus Ndau ;  Dosen Universitas Bina Nusantara, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 25 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

KALAU tidak ada perubahan rencana, hari ini Mahkamah Partai Golkar (MPG) yang terdiri dari Prof Muladi, Prof Natabaya, Dr Andi Mattalatta, dan Mayjen (Purn) Jasri Marin akan menggelar sidang ketiga penyelesaian perselisihan internal Partai Golkar. Perselisihan yang dimaksud adalah dualisme kepengurusan DPP Partai Golkar Periode 2014-2019 antara kubu Agung Laksono versi Munas Ancol, Jakarta, dan kubu Aburizal Bakrie versi Munas Bali.

Penyelesaian perselisihan internal partai melalui mahkamah partai merupakan yang pertama di Indonesia. MPG diharapkan mampu bertindak secara jujur, independen, dan objektif sehingga keputusan yang diambil benar-benar dapat memenuhi rasa keadilan. Hal itu diperlukan untuk menjaga martabat dan kredibilitas mahkamah partai di mata publik.

Kemandirian parpol

Langkah MPG menggelar sidang perselisih an tersebut didasarkan pada ketentuan UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Pasal 32 UU tersebut mengatur masalah penyelesaian perselisihan internal parpol yang dilakukan oleh suatu mahkamah parpol atau sebutan lain yang dibentuk oleh parpol. Khusus bagi Partai Golkar, keberadaan mahkamah partai diatur secara jelas dalam Peraturan Organisasi No 13 Tahun 2011 tentang Disiplin, Sanksi Organisasi, dan Pembelaan Diri Kader.Pasal 25 PO tersebut berbunyi; (1) Untuk memeriksa dan memutus perselisihan internal Partai Golkar dibentuk Mahkamah Partai; dan (2) Putusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat.

Langkah cepat MPG menggelar sidang patut dihormati dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang berselisih. Apalagi, anggota MPG memiliki latar belakang, kapasitas dan integritas yang memadai sehingga pantas diharapkan sebagai `juru selamat' Partai Golkar. Penyelesaian lewat MPG juga diyakini lebih efektif dan efisien sehingga persoalan di partai ini bisa diselesaikan secara dini.

Dalam perspektif yang lebih luas dan berjangka panjang, keberadaan mahkamah partai merupakan langkah untuk menumbuhkan kemandirian parpol. Parpol harus memelopori tumbuhnya sikap-sikap politik yang rasional, santun, dan kritis sehingga mampu menyikapi berbagai perbedaan secara dewasa dengan terus menjunjung tinggi semangat kebersamaan. Itu berarti parpol harus mengejawantahkan diri sebagai kekuatan politik modern dengan menyediakan mekanisme dan langkah antisipasi agar segala persoalan yang dihadapi bisa diselesaikan secara demokratis.

Kemandirian parpol merupakan kebutuhan mendesak untuk menekan seminimal mungkin peluang bagi negara untuk melakukan intervensi. Secara empiris, intervensi negara dalam urusan internal parpol jarang berbuah manis, sebaliknya justru memperburuk keadaan, contohnya Kemelut PDI di era Orde Baru. Soeharto yang merasa terganggu oleh menguatnya pengaruh Megawati Soekarno Putri, mendorong Suryadi untuk merebut posisi sebagai Ketua Umum PDI. Puncak dari intervensi Soeharto ialah kisruh berdarah akibat penyerangan Kantor PDI di Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996.

Empat kriteria

Landasan hukum bagi MPG dalam memutuskan perselisihan internal Partai Golkar ialah UU No 2 Tahun 2011 dan Anggaran Da sar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar. Pasal 10 UU No 2/2011 menyatakan bahwa parpol bertujuan untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan membangun budaya dan etika politik. Selanjutnya, Pasal 13 menegaskan bahwa parpol berkewajiban menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketentuan ini diperkuat dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan parpol di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis dan Pasal 28 pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud Pasal 27 sesuai dengan AD dan ART parpol.

Tekad untuk memajukan demokrasi tercantum jelas dalam AD dan ART Partai Golkar. Pasal 36 AD menegaskan; pengambilan keputusan pada dasarnya dilakukan secara musyawarah untuk mufakat dan apabila ini tidak mungkin, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.

Merujuk pada ketentuan tersebut, jelas kiranya bahwa demokrasi merupakan dasar dan arah yang wajib dilembagakan oleh parpol. Demokrasi tidak boleh direduksi sekadar menjadi cara apalagi aksesori parpol. Singkatnya, keabsahan kegiatan parpol, termasuk musyawarah nasional diukur dari konsistensi menerapkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, partisipatif, dan demokratis.

Meski UU No 2/2011 dan AD Partai Golkar tidak melakukan perincian tentang nilai-nilai dan mekanisme demokrasi yang wajib dijalankan parpol, tetapi setidaknya beberapa hal berikut menjadi panduannya.Pertama, penyelenggaraan Munas Partai Golkar sebagai forum tertinggi harus diputuskan melalui musyawarah untuk mufakat atau diambil berdasarkan suara terbanyak.Kecenderungan individu dan kelompok untuk memaksakan kehendak harus dicegah karena hal itu bisa diinterpretasi sebagai bentuk rekayasa yang menguntungkan diri dan kelompok sekaligus mendistorsi demokrasi.

Kedua, panitia munas harus dibentuk secara bersama-sama melalui musyawarah untuk mufakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar panitia munas diisi oleh figur-figur yang netral, jujur, dan independen. Syarat-syarat tersebut diperlukan agar panitia mampu menyelenggarakan munas sesuai dengan aturan tanpa tersandera oleh intrik dan intimidasi kelompok tertentu.

Ketiga, materi munas, termasuk tata tertib dan persyaratan serta tahapan pencalonan harus dibahas secara terbuka dengan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta. Pimpinan munas wajib membuka ruang bagi berkembangnya ide-ide bernas dan inovasi yang mutlak dibutuhkan untuk membudayakan demokrasi dalam parpol. Panitia munas harus membangun obsesi bahwa suksesnya munas diukur dari kemampuan menerapkan nilai-nilai demokrasi secara konsisten.

Keempat, semua figur yang mencalonkan diri harus mampu bersaing secara sehat tanpa melakukan teror dan intimidasi terhadap pemilik suara. Tidak boleh ada calon yang mendominasi, termasuk memanfaatkan panitia munas untuk kepentingannya karena hal tersebut berpotensi memecah belah kader dan melemahkan soliditas partai.

Nilai-nilai tersebut kiranya menjadi catatan bagi MPG untuk menilai demokratis atau tidaknya Munas Jakarta dan Munas Bali. Penyelenggaraan munas yang tidak memenuhi kriteria tersebut sudah semestinya dianulir sebagai pembelajaran bagi elite politik agar lebih berhati-hati dalam mengelola organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar