Senin, 23 Februari 2015

Charlie Hebdo dan Chapel Hill

Charlie Hebdo dan Chapel Hill

Anas Urbaningrum  ;   Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia
REPUBLIKA, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Dunia tampak terbelah menyikapi dua peristiwa kekerasan yang menyangkut identitas orang-orang yang terlibat insiden itu. Publik murka atas penyerangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di Paris awal Januari lalu. Sejumlah pemimpin dunia bahkan hadir dan ikut meresonansi kemarahan itu.

Kini kita melihat reaksi berbeda atas insiden penembakan yang menewaskan tiga mahasiswa Muslim di Chapel Hill, North Carolina, AS. Sampai saat ini, wacana di media, penembakan itu disulut perselisihan lahan parkir yang melibatkan seseorang yang dikenal temperamental dan kerap bertengkar dengan tetangganya. Namun, sulit dihindari kesan insiden itu ingin diredam dan dibingkai sebagai "kecelakaan biasa". Apalagi diketahui si penembak kerap mengekspresikan sikap ateisme dan kebencian agama.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sampai mengkritik Presiden Barack Obama di sela kunjungannya di Meksiko, tapi Pemerintah AS belum juga menyampaikan pernyataan duka. Belakangan Presiden Obama menyatakan kecaman atas peristiwa tersebut.

Terkait Charlie Hebdo, media mengabarkan pada 8 Februari 2015 sekelompok warga berkumpul di depan kantor Perdana Menteri Inggris di London memprotes majalah satiris itu. Sebelumnya, sebuah sekolah di Limerick, Irlandia, meminta maaf kepada orang tua murid Muslim karena majalah itu dibahas di dalam kelas yang sedang membahas Revolusi Prancis dan kebebasan berpendapat. Setiap anak -- termasuk yang Muslim-- disuruh membaca dan melihat gambar majalah itu. Ini menimbulkan ketersinggungan.

Lalu bagaimana seharusnya kita di Indonesia, sebagai negeri dengan populasi Muslim terbesar yang sedang belajar berdemokrasi menyikapi soal Charlie Hebdo dan insiden Chapel Hill?

Saya meminta bantuan sejumlah teman menerjemahkan majalah Charlie Hebdo dari internet. Tetapi sangat sulit, walaupun edisi yang terbit setelah penyerangan itu ludes tiga juta eksemplar sehingga ditambah cetak dua juta kopi lagi. Padahal, majalah ini hanya dicetak 60 ribu eksemplar. Apakah artikel Charlie dibersihkan dari internet setelah penyerangan? Saya tidak tahu.

Saya meminta tolong sahabat mencetak wajah situs majalah ini. Slogan media ini adalah "journal irresponsible" atau majalah tidak bertanggung jawab. Pada edisi pasca serangan, kita melihat sampul majalah itu bergambar kartun orang dengan penampilan bernuansa Arab memegang kertas bertuliskan "Jesuis Charlie" (Aku Charlie), slogan solidaritas dalam aksi mengecam serangan berdarah ke kantor media itu. Dengan mudah kita berkesimpulan sosok kartun itu Nabi Muhammad SAW yang berulangkali menjadi target majalah itu.

Pemimpin dunia yang hadir di Paris mengatakan, penyerangan itu adalah penyerangan terhadap kebebasan berpendapat. Pertanyaannya, bagaimana kita menghargai pihak yang menyebut dirinya tak bertanggung jawab?

Prancis punya warisan besar dalam teori politik dan demokrasi. Yang terkenal ucapan Voltaire (1694-1778), "Saya tidak menyetujui perkataan Anda, tapi saya akan membela hak Anda untuk mengatakannya." Ucapan ini dianggap dasar kebebasan berpendapat. Namun, awak Charlie Hebdomungkin perlu belajar perbedaan antara berpendapat dan bersengaja mengolok-olok.

Filsuf Friedrich Nietzsche pernah lantang mengumandangkan "Tuhan telah mati!" Pendapat itu memang memancing kontroversi, tetapi tidak berujung kekerasan karena disampaikan dalam uraian pemikiran filsafat, bukan penggambaran figur yang menistakan.

Jika di "Barat" dikenal prinsip kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain, maka kebebasan berekspresi Charlie Hebdo dibatasi kebebasan umat Islam sedunia menjalankan kepercayaannya tanpa penghinaan.

Terhadap insiden Chapel Hill kita bisa paham kepentingan Pemerintah AS untuk meredamnya menjadi "kecelakaan biasa". Tentu Amerika tidak ingin dicap sebagai lahan subur Islamophobia, apabila framing penembakan tersebut merupakan bentuk ekspresi kebencian terhadap agama diterima sebagai kebenaran. Namun, selayaknya Presiden Obama menyampaikan simpati dan pernyataan duka cita yang serius, setara dengan tragedi kemanusiaan, tanpa melihat latar belakang korbannya. Sikap Pemerintah AS yang cenderung diam malah menyuburkan prasangka adanya "standar ganda Amerika" dalam menyikapi masalah yang berkaitan dengan identitas keagamaan.

Charlie Hebdo secara sadar dan telanjang memproduksi benih-benih kekerasan dan ekstremisme, malah bisa di simpulkan kebebasan radikal berbungkus satire dan kebebasan berpendapat adalah kekerasan itu sendiri. Olok-olok dan penistaan oleh Charlie Hebdo adalah kekerasan terhadap keyakinan umat Islam --dan umat beragama pada umumnya. Dunia rugi besar oleh ngototnya Charlie Hebdo untuk terus melukai keyakinan umat beragama di dunia. Karena itu, artinya Charlie Hebdo selalu memproduksi bom waktu kekerasan setiap saat.

Kekerasan dan serangan yang mengakibatkan korban nyawa manusia tak berdosa layak dikutuk. Tidak boleh ada darah tertumpah oleh kekerasan atas nama apa pun juga. Inilah saat tepat bagi semua pihak untuk memikir ulang konsep kebebasan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar