Kamis, 26 Februari 2015

Ciri Budaya Sekolah Berkualitas

Ciri Budaya Sekolah Berkualitas

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 23 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PERTANYAAN yang sering muncul ketika berinteraksi dengan para guru dan orangtua ialah apa penanda bahwa sebuah sekolah dikatakan bermutu? Secara lebih aktual, tak sedikit juga orangtua yang bertanya tentang sekolah yang tepat bagi putra-putri mereka. Tentu, tak mudah menjawab pertanyaan itu, mengingat kebutuhan anak-anak di mana pun sangat berbeda, ditambah lagi dengan keinginan orangtua yang juga beragam. Namun, jika dilihat dari perspektif dan kepentingan jangka panjang, memilih sekolah yang baik bagi putra-putri kita bisa dimulai dengan melihat visi sekolah tersebut dengan bangunan tradisi belajar yang ada di dalamnya.

Budaya sekolah bisa jadi merupakan persoalan subjektif, tetapi perlu diberikan bingkai yang relevan dengan tuntutan proses belajar mengajar saat ini karena budaya sekolah ialah satu elemen sekolah yang teramat penting dan nyata meskipun sangat sulit untuk mendefinisikannya. Pemahaman terhadap budaya sekolah merupakan salah satu faktor penting dalam struktur reformasi dan kebijakan pendidikan di mana pun. Apa pun jenis perubahan yang diinginkan dalam suatu sistem pendidikan pasti akan mengalami resistansi. Karena itu, perlu dilakukan pendefi nisian yang bijak tentang budaya sekolah serta sejauh mana para pengambil kebijakan dan pelaksana sekolah memahami makna budaya sekolah dalam konteks peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Salah satu ciri sekolah yang memiliki budaya sekolah yang sehat dapat dilihat dari bagaimana sekolah mengembangkan budaya sekolah dalam praktik keseharian belajar mengajar. Keduanya memberi arti banyak dalam menentukan perspektif dan ragam tindakan pengajaran, yakni guru dalam konteks budaya dapat memengaruhi setiap aspek dari proses belajar mengajar (Peterson, 1998). Karena itu, penting dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan budaya sekolah, seperti definisi, efek budaya sekolah terhadap keseluruhan performasi guru dan siswa, serta implikasinya terhadap kebijakan bidang pendidikan dalam konteks budaya sekolah.

Menemukan budaya sekolah

Bayangkan Anda memasuki sebuah sekolah, hal apa kirakira yang akan Anda lihat dan dengar? Sulit atau mudah memasuki lingkungan sekolah tersebut? Bagaimana cara guru dan siswa menyapa Anda? Bagaimana dengan pengaturan ruang administrasi dan papan demo keterampilan siswa ditata dan ditampilkan serta ruang kelas dibentuk? Bagaimana suasana belajar mengajar berlangsung? Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana kondisi kamar kecil (toilet) sekolah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan budaya karena sekolah sedang berusaha memberikan impresi terhadap tamu dan pengunjung lainnya bahwa inilah kami, inilah budaya sekolah kami.

Jika budaya kita definisikan sebagai seperangkat norma, nilai, kepercayaan, dan tradisi yang berlangsung dari waktu ke waktu, budaya sekolah adalah satu set ekspektasi dan asumsi dari norma, nilai dan tradisi yang secara diam-diam mengarahkan seluruh aktivitas personel sekolah. Budaya sekolah bukan suatu entitas statis, maka proses pembentukan norma, nilai, dan tradisi sekolah akan terus berlangsung melalui interaksi dan refleksi terhadap kehidupan dan dunia secara umum (Finnan, 2000). Sebagai agen perubahan, sekolah dibentuk oleh praktik dan nilai budaya serta merefleksikan norma-norma dari masyarakat, tempat mereka masih sedang dikembangkan. Seperti hidrogen yang merupakan elemen utama air, maka nilai-nilai dalam masyarakat juga merupakan bagian utama dari budaya sekolah.

Tata kelola dan kepemimpinan (leadership) dari pengelola pendidikan dan sekolah juga dapat membentuk budaya sekolah. Dalam konteks ini, kebijakan yang dibuat oleh otoritas pendidikan secara langsung juga dapat memengaruhi budaya sekolah yang sedang dan akan berlangsung. Dengan demikian, birokrasi dapat menjadi penghambat dan sekaligus stimulus yang konstruktif terhadap keberlangsungan sebuah budaya sekolah yang ingin dan akan dikembangkan oleh komunitas sekolah (McLaren, 1999). Budaya sekolah adalah detak jantung sekolah itu sendiri dan perumusannya harus dilakukan dengan sebuah komitmen yang jelas dan terukur oleh komunitas sekolah, yakni guru, siswa, manajemen sekolah, dan masyarakat.

Dengan demikian, perumusan budaya sekolah harus dimulai oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sekolah dengan merumuskan visi dan misi sekolah. Jika di tingkat ini belum selesai, jangan berharap akan ada budaya sekolah yang berkualitas di dalam sekolah tersebut. Terhadap visi dan misi sekolah, banyak kasus yang saya temukan, yakni sekolah sesungguhnya tak memahami elemen dasar dari budaya sekolah ini. Perumusan visi dan misi hanya dijadikan pelengkap administratif sekolah yang perumusannya dibuat oleh kepala sekolah dan beberapa orang guru saja.Karena itu, tak jarang ketika saya bertanya kepada para guru dan orangtua di setiap sekolah, hampir lebih dari 95% warga sekolah tak memahami visi dan misi sekolah mereka.

Selain visi dan misi sekolah yang biasanya menggambarkan karakter dasar sebuah sekolah, maka ada dua ciri lain dari budaya sekolah yang berkualitas. Pertama, lihatlah apakah sekolah tersebut juga memiliki mekanisme penilaian yang dilakukan oleh para siswa mereka sendiri (student self-evaluation). Dalam buku yang lumayan lawas karya William Glasser yang berjudul The Quality School: Managing Students without Coercion (1992), kemampuan leadership kepala sekolah, guru, dan orangtua dalam memberikan kepercayaan terhadap siswa dan anak-anak mereka untuk mengevaluasi proses belajar mengajar yang mereka lakukan ialah ciri dari budaya sekolah yang berkualitas.

Selain itu, ketiadaan pemaksaan (coercion) terhadap siswa dalam proses belajar mengajar ialah ciri yang juga melekat dari sebuah budaya sekolah. Pemaksaan dapat berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan ini bisa berupa kebijakan yang tidak menyenangkan siswa untuk belajar, seperti praktik kekerasan guru terhadap siswa dalam proses belajar mengajar yang lebih dominan penugasan daripada memberikan kesempatan siswa untuk belajar secara mandiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar