Senin, 23 Februari 2015

“Drone” Masuk Desa

“Drone” Masuk Desa

Sofyan Sjaf  ;  Dosen Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB
dan Sekretaris Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB
KOMPAS, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ketika mewawancarai Presiden Joko Widodo, Kompas menggunakan drone. Maka, muncullah tulisan ”Saat Drone Terbang di Atas Istana” sekaligus mengutip keinginan Jokowi agar suatu saat drone alias pesawat tanpa awak bisa masuk desa.

Pasca pemberitaan tersebut, di media sosial Twitter, para pegiat desa ramai berdiskusi tentang fungsi drone masuk desa. Tidak sedikit yang bertanya tentang substansi drone masuk desa dan relevansinya terhadap amanat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014. Sebagian malah beranggapan bahwa keinginan Jokowi membawa drone masuk desa sama halnya menghadirkan teknologi yang tidak dibutuhkan desa.

Bagaimana menyikapinya

Bagi para pegiat desa dan pemerintah (pusat, daerah, dan desa), memahami UU No 6/2014 tentang Desa bukanlah hal yang sulit. Yang sulit adalah menjawab pertanyaan bagaimana pendekatan yang tepat mengimplementasikan UU Desa agar sesuai dengan konteks desa dan kebutuhannya.

Menjawab pertanyaan di atas, pemahaman tentang amanat UU Desa menjadi penting. Menurut hemat penulis, UU No 6/2014 menyodorkan empat amanat utama. Pertama, membangun desa berarti membangun kawasan pedesaan. Amanat ini menitikberatkan pada dua hal, yaitu (1) desa harus dibangun dengan basis sumber daya yang dimiliki, (2) kerja sama antardesa menjadi kunci keberhasilan membangun desa. Untuk itu, data tentang peta sumber daya desa dan basis ekologi desa menjadi keharusan.

Selanjutnya amanat kedua adalah pengembangan ekonomi desa melalui badan usaha milik desa (BUM Desa) dan BUM Antardesa. Amanat ini menitikberatkan bahwa kemandirian dan kesejahteraan desa hanya dapat diperoleh apabila desa mampu mengorganisir basis ekonomi dengan baik. Maka, BUM Desa adalah wadah pengorganisasian ekonomi desa dan antardesa untuk menuju desa-desa yang berdikari (berdiri dengan kaki sendiri). Dalam konteks ini, BUM Desa harus memiliki kemampuan memprediksi kekuatan ekonomi yang dimiliki desanya.

Untuk amanat ketiga adalah pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan dana desa. Sejauh ini, amanat ketiga ini telah tertuang dalam PP No 60/2014 tentang dana desa yang bersumber dari APBN. Dalam peraturan pemerintah itu, pengalokasian dan pencairan dana desa ditentukan oleh sejumlah indikator, seperti jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis, serta tersedianya dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Rencana Kerja Pemerintahan (RPK) Desa (Pasal 11 s/d 20).

Kemudian, amanat keempat, yaitu sistem informasi pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Minimnya akses informasi masyarakat desa mendorong pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan sistem informasi yang melibatkan partisipasi masyarakat desa untuk menghasilkan data desa, data pembangunan desa, dan kawasan pedesaan yang akurat.

”Drone” desa

Keempat amanat UU Desa di atas telah merangkum empat masalah urgen pembangunan desa dan pedesaan, yakni (1) desa dan kawasan pedesaan tidak memiliki peta visual (data otentik) yang menggambarkan isi ”rumah” (sumber daya desa) akibat keterbatasan dan minimnya akses desa terhadap data spasial.

Alhasil, perencanaan pembangunan desa yang tertuang dalam RPJM Desa dan RKP Desa tidak pernah sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata ruang desa, (2) belum tuntasnya tapal batas dan akurasi luas desa-desa di Indonesia menyebabkan maraknya konflik vertikal ataupun horizontal, (3) lemahnya instrumen pendeteksian daya dukung desa menyebabkan desa tak mampu menolak dan melawan tekanan kapitalisasi desa, dan (4) tidak ditemukannya instrumen untuk perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.

Atas keempat masalah itu, keinginan Jokowi untuk membawa drone masuk desa merupakan gagasan sekaligus aksi besar dari seorang pemimpin untuk membangun Indonesia dari pinggiran.

Drone desa (istilah yang penulis pakai) adalah teknologi sekaligus instrumen yang efektif-inklusif-partisipatif mampu memberikan informasi visual potensi sumber daya desa dan kawasan pedesaan (meliputi: vegetasi, kesehatan vegitasi, status dan kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, tapal batas atau luas, kondisi infrastruktur, kondisi pangan, potensi ekonomi, dan resolusi konflik) untuk pembangunan desa dan kawasan pedesaan.

Drone desa mampu menghasilkan citra (gambar) dengan presisi yang cukup baik dan memiliki tingkat resolusi gambar tinggi, lebih tinggi dari citra satelit.
Data yang dihasilkan drone desa berupa peta visual desa tergeoreferensi yang bisa diperbarui setiap waktu. Harganya yang relatif murah (bahkan bisa diproduksi secara massal dengan menggerakkan siswa-siswa SMK) dan pengoperasiannya dapat dilakukan orang-orang desa.

Tidak itu saja, kekuatan drone desa adalah terbukanya ruang partisipasi warga desa dalam melakukan pemetaan potensi sumber daya desanya. Dengan demikian, keprihatinan para pihak tentang bagaimana mengawal dan mengawasi penggunaan dana desa sesuai dengan konteks kebutuhan dan tata ruang desa dapat dijawab. Lebih dari itu, orang desa ke depan dapat berkontribusi sekaligus mengoreksi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) yang sejauh ini terkesan top down.

Jadi jangan lagi ada keraguan membangun desa. Pertautkan inovasi dengan orang desa akan membawa perubahan substantif bagi masa depan desa dan negeri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar