Jumat, 27 Februari 2015

Efek Sarpin

Efek Sarpin

W Riawan Tjandra ;  Pengajar FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN TEMPO, 26 Februari 2015


                                                                                                                                     
                                                

Putusan praperadilan yang dimohonkan oleh Komisaris Jenderal Budi Gunawan, dan dimenangkan melalui putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, kini seakan telah dijadikan preseden bagi para tersangka korupsi lain untuk mengulangi permohonan praperadilan yang sama.

Dalam putusannya, Sarpin Rizaldi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Budi Gunawan. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk ke lingkup praperadilan.

Sarpin beralasan, karena undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud dengan upaya paksa, hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa, karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justitia.

Selain itu, putusan praperadilan tersebut dinilai telah melampaui kewenangan pengadilan negeri dalam memutus praperadilan, karena terkesan telah melakukan uji materi atas Pasal 77 KUHAP dengan memasukkan kewenangan guna memeriksa permohonan praperadilan tentang penetapan status tersangka oleh KPK, yang sejatinya tak diatur dalam ketentuan tersebut. Ini memperlihatkan, putusan praperadilan tersebut telah menyerobot kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji materi konstitusionalitas suatu UU.

Putusan praperadilan yang kontroversial itu menunjukkan dengan kasatmata bahwa Sarpin telah “pasang badan” untuk para koruptor. Setelah putusan praperadilan Sarpin, kini mulai terjadi “efek Sarpin”. Surya Dharma Ali yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK RI dalam kasus korupsi dana haji di lingkungan Kementerian Agama telah mangkir dari pemeriksaan KPK dan sekaligus mendaftarkan permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka.

Tak lama berselang, Ketua DPRD Bangkalan, Fuad Amin Imron, juga berencana mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Fuad ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang oleh KPK pada awal Januari 2015. Ia ditangkap pada awal Desember 2014, ketika anak buahnya, Rauf, tertangkap tangan menerima suap Rp 700 juta dari Direktur PT Media Karya Sentosa, Antonio Djatmika. Dalam penggeledahan rumah Fuad, KPK menemukan uang tunai Rp 4 miliar dan puluhan rekening dengan nilai total lebih dari Rp 100 miliar.

Kini, setelah putusan Sarpin, praperadilan telah menjadi “pintu penyelamat” bagi para koruptor untuk berupaya melepaskan diri dari jerat hukum. Instrumen praperadilan yang semula diciptakan dalam rangka mengintegrasikan perlindungan hak asasi bagi rakyat dalam proses hukum telah menjelma menjadi “pemakaman massal” bagi penegakan hukum dan gerakan antikorupsi. Mahkamah Agung harus bisa memberikan jalan keluar untuk memperbaiki situasi hukum yang kian rusak agar praperadilan tidak justru menjelma menjadi sarana legalisasi kejahatan bagi para penjahat perusak negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar