Rabu, 25 Februari 2015

Hari Ini, Hari Rekonsiliasi

Hari Ini, Hari Rekonsiliasi

Refly Harun  ;  Ahli Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Lupakan dulu KPK. Ketepikan dulu Polri. Hilangkan dulu gonjang-ganjing KPK-Polri. Hari ini, 24 Februari, tak sekadar penting bagi hidup saya, karena kebetulan istri saya, Yuyun Hairunisa, berulang tahun. Tidak usah ditanya ulang tahun keberapa karena wanita biasanya sensitif terhadap usia. Hari ini adalah hari ketika sejarah dituliskan. Tak banyak yang sadar – untuk mengatakan sedikit sekali atau hampir tidak ada – sebelas tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan soal nasib eks-PKI dan organisasi yang terafiliasi.

MK membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu (UU Pemilu 2013) yang berbunyi, “(Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat): [g] bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S PKI atau organisasi terlarang lainnya.”

Saya merekam betul dalam ingatan putusan yang dibacakan di kantor lama MK, Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 7 (kantor MK sekarang bernomor 6), selama 1 jam 54 menit. Saat itu saya menjabat sebagai asisten hakim atau staf ahli hakim di MK. Saya menulis artikel di Harian Kompas dua hari kemudian dengan judul Saat Dewi Keadilan Menolak Tunduk. Rasanya baru kemarin putusan tersebut mengiang di telinga. Tak terasa kini sudah sebelas tahun berlalu.

Diskriminatif

Alasan MK menghapuskan ketentuan tentang eks-PKI tersebut, antara lain, sebagai berikut. Pertama, UUD 1945 tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Pasal 60 huruf g melarang sekelompok warga negara berdasarkan keyakinan politik yang pernah dianut.

Kedua, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (the right to vote and the right to be a candidate) adalah hak yang dijamin konstitusi. Penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara.

Ketiga, pembatasan hak untuk dipilih dalam Pasal 60 huruf g semata-mata bersifat politis. Yang dibolehkan UUD 1945 adalah dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Keempat, pelarangan terhadap eks-PKI mengandung nuansa hukuman politik. Padahal, sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pendapat Berbeda

Putusan yang pantas dikatakan sebagai the landmark decision dari MK tersebut tidak dicapai secara bulat. Salah seorang hakim, Achmad Roestandi, berbeda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan tersebut. Baginya, pelarangan terhadap eks-PKI sah karena berisfat situasional, tidak permanen. Hail itu dikaitkan dengan intensitas peluang penyebaran kembali faham (ideologi) komunisme/marxisme/leninisme dan konsolidasi PKI. DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang, menurutnya, memiliki hak untuk membuat pertimbangan atas pembatasan tersebut.

Yang secara jelas-jelas tidak boleh dikurangi HAM-nya dalam UUD 1945 menurut Roestandi adalah hak-hak yang tercantum dalam Pasal 28I, yaitu (1) hak hidup, (2) hak untuk tidak disiksa, (3) hak kemerdekaan pikiran dari hati nurani, (4) hak beragama, (5) hak untuk tidak diperbudak, (6) hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan (7) hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Di luar ketujuh hak tersebut bisa dikurangi asal untuk sementara waktu (nonpermanen).

Roestandi adalah hakim konstitusi yang berlatar belakang tentara. Selama era Orde Baru dan awal-awal era Reformasi, ia menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri. Roestandi adalah tekstualis sejati. Baginya, konstitusi adalah yang tercantum dalam teks. Bila teksnya sudah jelas, tidak bisa ditafsirkan lain. Soal hukuman mati, yang saat ini ramai kembali dengan eksekusi para gembong narkoba, Roestandi termasuk hakim konstitusi yang menghendaki hukuman mati dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.

Dalam putusan MK tentang hukuman mati tahun 2007, Roestandi mengajukan pendapat berbeda bersama hakim konstitusi Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan. Enam hakim lainnya, termasuk Ketua MK Jimly Asshiddiqie, masih menghendaki hadirnya hukuman mati di republik ini. Roestandi pula yang menolak MK menerobos ketentuan tentang dibolehkannya pengecualian atas azas nonretroaktif dalam putusan tentang pengadilan HAM ad hoc, yang nyata-nyata menuntut seseorang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku surut (retroaktif).

Tidak Adil

Bagi saya, ketentuan Pasal 60 huruf g itu memang sangat tidak adil. Dalam pasal yang sama, misalnya, ada ketentuan bahwa calon anggota legislatif harus tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Melalui penafsiran terbalik bisa dikatakan sebagai berikut. Seorang koruptor yang sudah dihukum oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi masih mengajukan upaya kasasi ke MA, boleh diajukan sebagai caleg karena putusannya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Atau, sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi ancaman perbuatannya kurang dari lima tahun, juga bisa dicalonkan. Jelas-jelas ada aroma ketidakadilan. Banyak anggota PKI yang tidak tahu kesalahannya, kecuali mungkin pernah cap jempol menjadi anggota PKI, dilarang menjadi caleg, padahal ia tidak pernah mencuri uang negara.

Selain itu, kekhawatiran pelarangan eks-PKI itu terlalu berlebihan. Dalam pasal yang sama, ada ketentuan bahwa setiap caleg harus setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Mereka yang menyatakan setia tidak mungkin mengembangkan ajaran atau ideologi komunis. Bagi yang ingin menonjolkan keyakinan beragama, syarat menjadi caleg juga harus bertakwa kepada Tuhan YME. Artinya, seorang atheis, entah itu komunis atau bukan, tidak memenuhi syarat sebagai caleg karena pasti tidak bertakwa kepada Tuhan YME.

Sebelas tahun berlalu, sayangnya putusan tersebut tidak diingat lagi sebagai jalan bagi bangsa ini untuk melakukan rekonsiliasi. Merajut keterpecahan akibat pelanggaran HAM masa lalu tidak mudah dilakukan. Kebencian terhadap eks-PKI sengaja ditanam dalam-dalam oleh pemerintah Orde Baru ke benak setiap orang di republik ini. Hal itu masih bisa dirasakan hingga saat ini. Rekonsiliasi bisa dilakukan kepada siapa saja, kecuali kepada eks-PKI.

Baik DPR maupun pemerintah tidak berani menghapuskan syarat bukan eks-PKI dalam undang-undang pemilu yang mereka buat, kendati angin reformasi telah menerpa dan Orde Baru sudah mati. Hanya MK yang berani menereobos kebuntuan tersebut melalui putusan yang sangat bersejarah itu.

Sayangnya, bangsa ini lupa mengenang hari bersejarah tanggal 24 Februari 2004. Bagi saya, hari ketika putusan itu dibacakan tetap ingin saya kenang karena berbarengan dengan hari lahir istri tercinta. Rekonsiliasi bangsa ini selalu bisa dimulai dengan memaafkan kesalahan. Kesalahan tidak perlu dilupakan, karena sejarah memang tidak boleh dihilangkan dari ingatan sebagai sebuah pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar