Sabtu, 28 Februari 2015

Kewajiban Jadi Bumerang

Kewajiban Jadi Bumerang

Hikmahanto Juwana ;  Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
KOMPAS, 28 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Setiap negara mempunyai kewajiban melindungi warganya ketika berada di luar negeri. Dalam hukum internasional, kewajiban negara terhadap warganya ini disebut diplomatic protection. Kewajiban untuk melindungi warga tentunya bukan untuk membela atau membenarkan kejahatan yang dilakukan oleh warganya. Pelaksanaan kewajiban ini juga tidak boleh sampai derajat mengintervensi kedaulatan negara.

Bukan anti hukuman mati

Australia melakukan berbagai upaya agar dua warganya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, tak dihukum mati bukan karena negara itu anti terhadap hukuman mati (abolisionist), melainkan karena kewajiban untuk melindungi warganya. Indikasinya adalah ketika pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana mati terorisme, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, PM Australia saat itu, Kevin Ruud, mendukungnya.

Tidak heran jika ketika warga non-Australia dihukum mati, tak ada protes dari Pemerintah Australia. Bahkan, apabila yang menjadi korban kejahatan serius adalah warga Australia, terhadap pelaku yang dihukum mati, mereka merasa keadilan telah dilaksanakan. Pemerintah Brasil pun demikian. Upaya agar Indonesia tak melaksanakan hukuman mati tidak disebabkan negara itu menentang hukuman mati mengingat hukuman mati telah lama dihapuskan di Brasil. Upaya yang dilakukan lebih dalam rangka melindungi warganya.

Hanya saja, upaya menjalankan kewajiban melindungi warganya oleh Australia dan Brasil sudah berlebihan. Ini berbeda dengan Indonesia. Ketika Ruyati, tenaga kerja Indonesia, hendak dihukum mati, Indonesia melakukan berbagai upaya. Presiden SBY pun melayangkan surat kepada Raja Arab Saudi. Namun, ketika permohonan ditolak, Indonesia pun paham kedaulatan negara Arab Saudi tidak mungkin diintervensi.

Tidak demikian dengan Australia. Pemerintah Australia melalui Menlu Julie Bishop telah melakukan ”ancaman” halus dengan menyampaikan kekhawatirannya apabila Indonesia melaksanakan hukuman mati, warga Australia yang ke Indonesia akan menurun. Pernyataan ini disampaikan atas pemikiran adanya ketergantungan Indonesia terhadap wisatawan Australia ke Pulau Dewata.

Belum lagi Sekjen PBB Ban Ki-moon turut bersuara. Ban Ki-moon mengatakan, Indonesia sebaiknya membatalkan pelaksanaan hukuman mati. Bahkan, dinyatakan hukuman mati ditentang oleh PBB. Pernyataan Ban Ki-moon diduga atas permintaan Australia. Hal ini mengingat Ban Ki-moon tak bersuara ketika Ruyati dihukum mati di Arab Saudi. Juga tak bersuara ketika Amrozi dkk menjalani hukuman mati.

Pernyataan Ban Ki-moon yang mengatakan PBB menentang hukuman mati juga janggal. Ini karena PBB bukanlah pemerintahan dunia. Hingga sekarang, sejumlah anggota PBB masih menganut sanksi hukuman mati, seperti Malaysia, Singapura, dan di sejumlah negara bagian di AS. Upaya Pemerintah Australia melibatkan Ban Ki-moon agar Indonesia menganggapnya sebagai representasi dunia. Pada gilirannya, Indonesia diharapkan berubah pikiran karena kekhawatiran tekanan dari dunia.

Sayang, upaya ini gagal karena masih banyak orang cerdas di republik ini. Terakhir, upaya Australia berupa pernyataan PM Australia Tony Abbott yang mengaitkan bantuan Australia setelah tsunami di Aceh. Bantuan Australia ketika Indonesia menghadapi kesulitan setelah tsunami diharapkan dapat dibalas (reciprocate) dengan bantuan Indonesia saat Australia menghadapi kesulitan atas dua warganya yang akan menjalani hukuman mati.

Pernyataan Abbott ini telah menyinggung semua pihak di Indonesia, mulai dari pejabat, politisi, hingga yang terpenting adalah masyarakat, termasuk masyarakat di Aceh. Gerakan coin for Abbott merupakan cerminan ketersinggungan publik. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyatakan, pemerintah siap mengembalikan bantuan yang pernah diberikan Australia.

Berlebihan

Upaya yang dilakukan Brasil pun berlebihan. Presiden Brasil Dilma Rousseff secara tiba-tiba menunda penerimaan surat kepercayaan Duta Besar RI Toto Riyanto. Padahal, Toto telah berada di istana kepresidenan dan dijemput sesuai dengan keprotokolan yang berlaku. Penundaan ini kemungkinan disebabkan oleh emosi pribadi Rousseff yang kemudian diwujudkan dalam tindakannya sebagai seorang presiden. Secara pribadi bisa dipahami apabila Rousseff kecewa karena permintaannya agar warganya diberi ampunan ditolak Presiden Joko Widodo.

Tindakan berlebihan Presiden Dilma sejatinya merupakan pelecehan terhadap negara, pemerintah, dan bangsa Indonesia. Ini mengingat Dubes Toto saat hendak menyampaikan surat kepercayaan merupakan perwakilan dari negara, pemerintah, dan bangsa Indonesia.

Pemerintah patut diapresiasi karena telah bertindak secara tegas, tepat, dan cepat dengan meminta Dubes Toto kembali ke Indonesia untuk berkonsultasi. Dubes Brasil untuk Indonesia pun telah dipanggil oleh Kementerian Luar Negeri. Pemerintah RI telah menyampaikan protes kerasnya atas perlakuan terhadap Dubes Toto. Saat ini pemerintah tak mungkin mengembalikan Toto Riyanto ke posnya apabila tidak ada permintaan maaf dari Presiden Rousseff.

Upaya berlebihan untuk melindungi warganya yang berlebihan dari Australia dan Brasil telah merusak hubungan yang telah lama terjalin dan saling menguntungkan. Dari kacamata Indonesia wajar apabila pertanyaan muncul, apa yang menjadi halistimewa dari warga Australia dan Brasil untuk menjalani hukuman mati hingga mempertaruhkan hubungan antarnegara? Tidakkah mereka menyadari bahwa warganya telah divonis melakukan kejahatan yang serius bagi bangsa ini?

Kalaulah Australia dan Brasil merupakan pemerintahan abolitionist, mengapa mereka membiarkan pelaksanaan hukuman mati yang bukan warganya? Indonesia melalui pernyataan Presiden Jokowi tidak bergeming dengan berbagai manuver dari Pemerintah Australia dan Brasil. Justru berbagai manuver itu mengukuhkan kebijakannya untuk melaksanakan hukuman mati. Dalam jumpa pers setelah pertemuan dengan Toto Riyanto, Jokowi dua kali menegaskan agar negara lain tak sekali-kali melakukan intervensi atas kedaulatan hukum Indonesia.

Kejaksaan Agung sebagai eksekutor putusan hukuman mati saat ini mendapat dukungan dari rakyat karena dua hal. Pertama, karena pelaksanaan hukuman mati dilakukan terhadap pelaku kejahatan yang menjadi musuh bersama, yaitu narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba). Kedua, pelaksanaan hukuman mati didukung karena mayoritas publik marah dengan manuver berlebihan yang dilakukan PM dan Menlu Australia serta pelecehan yang dilakukan Presiden Brasil.

Bagi sebagian besar rakyat di Indonesia, manuver Australia dan Brasil sudah masuk dalam kategori intervensi terhadap kedaulatan hukum Indonesia. Manuver Australia dan Brasil yang berlebihan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi warganya ternyata telah menjadi bumerang, bahkan rusaknya hubungan antarnegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar