Sabtu, 28 Februari 2015

KH Ali Maksum, NU, dan Muktamar Ke-33

KH Ali Maksum, NU, dan Muktamar Ke-33

Muhammadun  ;  Peneliti Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PW NU DI Jogjakarta;
Analis pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta
JAWA POS, 27 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

PADA 28 Februari ini, semua warga nahdliyin memperingati Haul Ke-26 KH Ali Maksum, rais aam PB NU 1981–1984. Peringatan haul tahun ini mempunyai signifikansi tersendiri karena tidak lama lagi Nahdlatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar Ke-33 di Jombang, 1–5 Agustus mendatang. Kiai Ali Maksum merupakan rais aam, pemimpin tertinggi NU, setelah NU kehilangan tokoh karismatik Rais Aam KH Bisri Syansuri pada 1980.

Saat itu terjadi konflik dan ketegangan meruncing antara Situbondo dan Cipete. Kiai Ali Maksum yang dikenal sebagai ’’kamus berjalan’’ mampu menjadi ’’penengah’’. Dia juga dikenal berpikir moderat dan bisa merangkul semua kalangan. Karena hidup di kota pelajar, Jogjakarta, Kiai Ali bukan hanya menjalin silaturahmi dengan para kiai, tetapi juga akademisi. Bahkan, beliau pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga.

Dari sini, Kiai Ali mempunyai ketegasan dan kecermatan sekaligus keluwesan dalam membangun jaringan antarulama dan intelektual. Kalau akhirnya menjadi rais aam, itu memang kemampuan dia yang diakui semua pihak. Apalagi, dia lahir dari rahim salah seorang pendiri NU, Mbah Maksum Lasem.

Inspirasi Seorang Rais Aam

’’Sesungguhnya aku diberikan kepercayaan atas kalian. Padahal, aku bukanlah yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, jika kalian melihatku melenceng, luruskanlah aku, hindarkanlah aku dari kesalahan, dan tegurlah aku sampai ke tempat yang baik….’’

Kalimat itu diucapkan Kiai Ali Maksum sambil meneteskan air mata ketika mendapat amanah sebagai rais aam dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang Jogjakarta, 1981. Sebelumnya, Kiai Ali tidak mau menempati jabatan yang ditinggalkan KH Bisri Syansuri karena sikap tawaduk yang sangat tinggi. Tetapi, para kiai sepuh menghendaki Kiai Ali bersedia sehingga Gus Dur dan Gus Mus harus rela menanti di kediaman beliau untuk mengetahui kesediaannya menjadi rais aam. 

Kiai Ali tidak mau memburu jabatan, apalagi sekelas rais aam. Tetapi, beliau tidak diperbolehkan oleh ajaran Islam untuk menghindari tanggung jawab. Makanya, kalau ada yang menyeleweng dalam kepemimpinannya, Kiai Ali siap ditegur dan diluruskan. Jabatan rais aam itu dijalankan hingga Muktamar Situbondo pada 1984. Beliau tidak mau dicalonkan lagi karena menginginkan regenerasi tumbuh berkembang di dalam NU. Akhirnya, KH Ahmad Siddiq menggantikan dia sebagai rais aam PB NU.

Walaupun sudah tidak menjabat rais aam, Kiai Ali tetap setia mengawal perjalanan NU. Bagi Kiai Ali, NU adalah jalan hidup yang hak (benar). Ada lima pesan yang ditegaskan Kiai Ali untuk warga NU. Pertama, al-‘alimu wat ta’alum bi nahdlatil ulama. Warga nahdliyyin mesti mempelajari apa dan bagaimana NU. Kedua, setelah mempelajari juga perlu untuk diamalkan dan diajarkan (al-amalu bi nahdlatil ulama). Ketiga, jihad bi nahdlatil ulama (jihad dengan jalan NU). Keempat, ash-shabru bi nahdlatil ulama (sabar dalam berjuang bersama NU). Kelima, ats-tsiqotu bi nahdlatil ulama (memiliki keyakinan terhadap perjuangan NU).

’’Kita mesti yakin bahwa NU merupakan sebuah ormas yang mendapat rida Allah. Berjuang bersama NU dapat membawa kita masuk ke surga,’’ tegas Kiai Ali dalam buku Ajakan Suci (1995).

Muktamar Ke-33 NU

Keteladanan dan semangat perjuangan Kiai Ali harus menjadi catatan serius dalam Muktamar Ke-33 NU. Jangan sampai jabatan rais aam dan ketua umum PB NU menjadi komoditas politik. Padahal, Kiai Ali malah menangis saat menerima jabatan itu. Kiai Bisri Syansuri juga tidak mau menerima jabatan rais aam selama masih ada Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Wahab tidak mau menerima jabatan rais akbar setelah KH Hasyim Asy’ari wafat, tetapi diubah menjadi rais aam. Demikian juga yang dijalankan Kiai Sahal Mahfudh dalam Muktamar Cipasung pada 1994 ketika Kiai Ilyas Ruhiyat bersedia.

Bagi Kiai Ali Maksum, ulama dalam NU selalu berada pada posisi yang menentukan. Ulama bukan sekadar staf ahli yang dipakai jika perlu. Ulama adalah pemimpin tertinggi, pemutus kata, dan penentu arah organisasi. Kalau kita mau dalam NU, berarti telah mau menerima kepemimpinan ulama dalam artian tersebut. Kiai Ali juga menegaskan bahwa yang dimaksud suara ulama dalam kepemimpinan NU adalah bukan suara seorang ulama atau kiai. Yang dimaksud suara ulama adalah suara syuriah sebagai lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.

Mekanisasi kepemimpinan seperti itu bagi Kiai Ali sesungguhnya telah disadari bersama karena tidak ada satu pun pemimpin NU, bahkan pemimpin terendah pun belum memahami maksud ayat, “sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah ulama”.

’’Karena itu, jika ada langkah-langkah yang tidak sesuai dengan petunjuk syuriah, apalagi bertentangan, adalah tidak benar dan itu langkah sesat, walaupun kelihatannya mengatasnamakan NU. Dan langkah inilah menggusur kesucian NU, mengotori citra NU dan mencemarkan nama harum para leluhur NU yang sudah almarhum. Naudzubillah,’’ ujar Kiai Ali memperingatkan warga NU dengan sangat tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar