Rabu, 25 Februari 2015

Koin untuk Abbott

Koin untuk Abbott

Herman RN  ;  Warga Aceh dan korban selamat tsunami;
Dosen di FKIP Universitas Syiah Kuala
KOMPAS, 25 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Dalam kearifan Aceh, ada penyakit ”buruk siku” bagi mereka yang suka meminta kembali sesuatu yang telah diberikan. Orang Aceh menyebutnya meupuree sungkee, ’berpuru siku’. Meski bukan golongan penyakit kronis, berpuru di siku adalah penyakit kudis yang sangat memalukan. Apalagi, tempat tumbuh kudis tepat di siku tangan. Meskipun berusaha ditutupi dengan baju panjang lengan, rasa sakitnya karena terletak tepat di siku tidak dapat disembunyikan. Itu sebab, bagi mereka yang suka mengungkit kembali sesuatu yang telah diberikan ditabalkan sebagai orang yang ”buruk siku”. Dengan kata lain, orang yang tidak mampu menjaga kebersihan sikunya dianggap sebagai golongan orang paling jorok.

Penyakit buruk siku sedang disematkan rakyat Aceh kepada PM Australia Tony Abbott. Hal ini terkait pernyataan Abbott yang mengungkit bantuan bagi korban tsunami Aceh hanya karena dua warga Australia akan dieksekusi mati oleh Pemerintah RI. Banyak yang kecewa pada pernyataan Abbott itu. Bukan hanya pejabat dan politisi, kalangan masyarakat biasa pun turut kecewa dan sakit hati. Yang paling merasa tersakiti adalah rakyat Aceh karena syuhada tsunami Aceh diungkit-ungkit Abbott.

Abbott mengancam Indonesia dengan mengungkit kembali bantuan Australia kepada korban tsunami Aceh. Tentu saja hal ini sangat memalukan, apalagi pernyataan itu keluar dari mulut seorang pejabat negara. Andai ungkapan itu datang dari masyarakat biasa, mungkin reaksi rakyat Indonesia, terutama Aceh, tidak terlalu besar. Namun, karena seorang PM yang mengeluarkan pernyataan ”rendahan” itu, reaksi dari berbagai kalangan tidak dapat dibendung.

Reaksi di media sosial pun bermunculan dengan tagar #KoinUntukAustralia. Reaksi paling banyak berasal dari pengguna media sosial atau netizen Aceh. Hal ini cukup pula membuktikan bahwa orang Aceh masih nasionalisme Indonesia. Selain itu, pantang bagi orang Aceh mengungkit sesuatu yang telah diberikan, apalagi yang diberikan itu tidak pernah diminta sama sekali oleh rakyat Aceh.

Sebagai PM, Abbott harusnya paham posisi. Sangat tak wajar seorang pejabat negara mengeluarkan pernyataan yang melukai bangsa lain. Lagi pula, bantuan masa tsunami diberikan Pemerintah Australia bukan oleh Abbott. Abbott belum menjabat PM kala itu. Karena itu, pernyataan Abbott tak hanya melukai hati rakyat Aceh, tetapi juga bisa melukai hati rakyat Australia yang dulu ikhlas menyumbang korban tsunami Aceh. Pembelaan Abbott terhadap warga negaranya memang patut diapresiasi. Sikapnya melobi Pemerintah RI untuk menangguhkan hukuman mati bagi warga asal Australia dapat dinilai sebagai kepedulian dan nasionalisme. Akan tetapi, ketika yang dibela terpidana narkoba, Abbott harusnya berpikir ulang. Hasil survei Morgan Poll melalui polling SMS menunjukkan lebih dari 50 persen warga Australia setuju eksekusi mati bagi penyelundup narkoba di negara lain.

Sangat tak wajar jika nyawa dua terpidana narkoba dibarter dengan ribuan korban tsunami. Lobi-lobi politik yang dilakukan Abbott masih dapat dimaklumi sebagai sebuah kepedulian terhadap warga negaranya. Tatkala ancaman—apalagi mengungkit bantuan korban tsunami—tentu ia akan berhadapan dengan jutaan rakyat Indonesia, terutama Aceh.

Koin dari Aceh

Gagasan mengumpulkan koin atau uang logam dari sejumlah orang Aceh muncul begitu saja. Sebagian ada yang tidak setuju karena mengumpulkan koin dianggap sebagai upaya mengembalikan pemberian negara luar dan itu tindakan sombong. Namun, sebagian besar orang Aceh sangat setuju dengan pengumpulan koin. Alasannya, pengumpulan koin untuk Abbott sebagai wujud protes, bukan sombong.

Indonesia memang harus menyikapi dengan bijak pernyataan Abbott yang sangat mengecewakan. Abbott jangan digeneralisasi sebagai representatif warga Australia. Abbott hanya seorang lelaki yang lahir di Inggris, kebetulan jadi PM Australia. Kemungkinan, pernyataan tersebut dikeluarkan Abbott sebagai pencitraan politik agar terpilih kembali di periode mendatang. Untuk itu, sewajarnya koin yang dimaksud bukan untuk Australia, melainkan untuk Abbott. Ide mengumpulkan koin jangan dinilai sebagai kesombongan. Andai yang dikumpulkan emas, baru dapat dikatakan langkah yang sombong. Gagasan mengumpulkan koin sama halnya mengumpulkan uang receh. Uang receh itu untuk Abbott, bukan Australia. Hal ini sebagai wujud protes rakyat Aceh tak bisa dibarter dengan dua pengedar narkoba.

Langkah mengumpulkan koin merupakan sebuah sikap ”keacehan” untuk menunjukkan bahwa orang Aceh bukan pengemis. Tak ada satu riwayat pun yang menyebutkan Aceh pernah mengemis atau tunduk kepada bangsa luar. Aceh hanya ”takluk” kepada Jakarta, bukan kepada bangsa luar. Belanda yang pernah menjajah Aceh pun mengakui Aceh sebagai sebuah daerah yang berdaulat. Hal ini bisa dilihat pada buku HC Zentgraaff, jurnalis Belanda masa perang Aceh. Oleh karena itu, munculnya reaksi mengumpulkan koin untuk Abbott harus disikapi sebagai kewajaran. Di satu sisi, orang Aceh tidak rela hukum Indonesia kalah pada ancaman Abbott. Di sisi lain, orang Aceh juga tak pernah terima martabatnya dilecehkan hanya karena dua pengedar narkoba.

Peribahasa yang menggambarkan sikap orang Aceh sudah jelas, ureueng Aceh hanjeut teupeh: meunyo ka teupeh bu leubeh han jipeutaba, meunyo hana teupeh pade bijeh jibi rasa (orang Aceh tidak bisa tersinggung: kalau sudah tersinggung, nasi basi pun tak rela dia bagi, kalau tidak tersinggung, benih padi rela dia beri). Artinya, reaksi #KoinUntukAustralia bukan sikap sombong, melainkan demi harga diri sekaligus ”tamparan” bagi pejabat negara bermental kerupuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar