Rabu, 25 Februari 2015

“Langit Kita Semakin Rendah”

“Langit Kita Semakin Rendah”

Suwidi Tono  ;  Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
KOMPAS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tahun 1977, Profesor Sutan Takdir Alisjahbana melontarkan refleksi kekecewaan atas kondisi pendidikan dan kualitas bangsa. Ketika itu ia menggulirkan frase ”Langit Kita Semakin Rendah”, untuk menunjuk kedangkalan sistem belajar-mengajar dan etos bangsa yang lemah dalam melecut semangat meraih kemajuan.

Kemasygulan tokoh Pujangga Baru itu agaknya tetap relevan sampai sekarang. Sayangnya, kegentingan ini tidak beroleh respons fundamental. Selain karena pemahaman fragmentaristik, miskin paradigma, dan konflik kepentingan, juga sejalan dengan sinyalemen Yudi Latif (Kompas, 2 Februari 2015), ada narasi anti intelektual yang menyepelekan visi sejarah, kebenaran, dan keadilan.

Akibatnya, bangunan republik kita tidak bertumbuh kembang sebagai rumah bangsa yang kokoh dan bercahaya. Kendati pendiri republik telah membangun fondasi kuat dan rancangan batang tubuh sarat cita-cita besar nan mulia, para penerusnya tak kunjung mengejawantahkannya menjadi kerja besar dan kerja cerdas bersama.

Pendangkalan

Beberapa realitas banal yang terus berlangsung berikut ini berguna untuk melacak jejak pendangkalan tak kunjung akhir. Pertama, harga dana (cost of fund) stabil mahal, langka, dan sulit diakses pelaku ekonomi kecil-menengah meskipun restorasi sektor keuangan dan investasi sudah berlangsung sejak 1988. Mobilisasi dana-dana jangka panjang (asuransi kesehatan, tenaga kerja, pendidikan, perumahan, hari tua, pasar modal) untuk menopang kebutuhan investasi tetap jauh dari memadai dengan utilitas terbatas.

Padahal, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan saat ini (Desember 2014) Rp 187 triliun dengan peserta 20,6 juta tenaga kerja. Target hingga 2018 dana kelolaan akan mencapai Rp 500 triliun dan peserta aktif 40 juta tenaga kerja. Untuk BPJS Kesehatan yang sekarang mencapai 130 juta lebih peserta, juga dapat dihimpun dana puluhan hingga ratusan triliun rupiah. Dana-dana masyarakat jangka panjang ini, bersama dana pensiun BUMN, Taspen, Asabri, sesungguhnya merupakan aset luar biasa jika skema pemanfaatannya diubah optimal seperti dilakukan negara-negara lain lewat provident fund, housing society, secondary mortgage financing, dan instrumen investasi lainnya. Negara semestinya memastikan kegotongroyongan melembaga untuk memikul tanggung jawab bersama pada tiga kebutuhan mendasar: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan.

Investasi sejak era Orde Baru dihela dengan mengundang modal asing, tetapi lengah membangun basis kapital (capital formation) dan produksi dalam negeri, baik yang bersumber dari tabungan domestik maupun surplus ekspor. Ditambah dengan lemahnya pengaturan repatriasi, transfer pricing, dan perpajakan, capital outflow ke negara jiran dari para pelaku rente terus meningkat.

Tiongkok sukses memadukan kebijakan ”pintu terbuka” berjalan paralel dengan penguatan kapasitas ekonomi nasional. Deng Xiaoping, pencetus reformasi ”sosialisme pasar” tahun 1978, menyusun peta jalan pembaruan khas Tiongkok dan dijalankan secara konsisten oleh penerusnya. Total utang luar negeri Tiongkok (pemerintah dan swasta) mencapai 863 miliar dolar AS, tetapi negara itu membukukan cadangan devisa 3,99 triliun dollar AS akhir 2014 dan total PDB-nya kini nomor satu di dunia. Sementara Indonesia, total utang luar negeri per Januari 2015 mencapai 294 miliar dollar AS dan cadangan devisa hanya 115 miliar dollar AS, yang sebagian bersumber dari penjualan obligasi global pemerintah. Artinya, neraca pembayaran kita tidak berkualitas dan sekaligus menunjukkan rapuhnya basis industri berorientasi ekspor.

Kedua, konservasi energi tidak berlanjut dan malah semakin boros. Jumlah kendaraan bermotor (roda dua, mobil pribadi, angkutan, dan lain-lain) melonjak dari hanya sekitar 8 juta unit tahun 1987 menjadi lebih dari 120 juta unit akhir tahun 2014. Menurut perhitungan SKK Migas, jika laju pengurasan minyak tetap seperti sekarang (sekitar 800.000 barrel per hari) dan dengan asumsi tidak ada penemuan sumber minyak baru, maka cadangan minyak kita akan habis 11 tahun lagi. Demikian pula, dengan tingkat konsumsi dan ketersediaan produksi, energi gas diperkirakan habis tahun 2019.

Ketiga, mewabahnya korupsi dan narkoba hanya simtom dari ”gunung es” kebobrokan penegakan hukum dan kerusakan sosial. Isyarat buruk itu telah diwanti-wanti Bung Hatta selaku penasihat Komisi Empat (Wilopo, 1970) yang mengusut korupsi di Bulog dan Pertamina. Proklamator ini tandas menyebut korupsi sebagai ancaman paling nyata kehancuran bangsa Indonesia.

Alternatif moratorium permanen atau ”tobat” nasional dapat membuka jalan bagi penghentian dua jenis kejahatan kemanusiaan ini. Enough is enough. Lewat dekrit ”tutup buku” menuju lembaran baru republik, negara memberi pengampunan atas dosa-dosa masa lalu dan memaklumkan perang sekaligus hukuman berat bagi para koruptor dan mafia narkoba.

Keempat, pemborosan anggaran sebagai bentuk kelemahan perencanaan dan evaluasi. Sekadar ilustrasi, di kota kelahiran saya, Caruban, ibu kota Kabupaten Madiun, misalnya, tahun 1974 dibangun terminal angkutan umum yang sekarang berubah fungsi menjadi pasar burung. Kesalahan berulang, terminal baru dibangun berjarak kurang dari satu kilometer, hanya untuk ”memaksa” pengemudi angkutan umum masuk dan membayar retribusi, sementara terminalnya sepi penumpang. Bahkan di Musi Rawas, Sumatera Selatan, terminal bus dibangun di tengah hutan, jauh dari hunian penduduk. Di Kendal, Jawa Tengah, bangunan terminal yang megah kini cuma menjadi tempat tidur para gepeng. Ada banyak kota yang membangun terminal angkutan umum di jalan-jalan lingkar luar dengan biaya miliaran rupiah dan memetik hasil serupa. Amat mengherankan, Bappenas dan BPKP tidak mendeteksi fakta kekacauan yang telah berlangsung puluhan tahun ini.

Kelima, impor bahan pangan—termasuk hortikultura—yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun setiap tahun menghendaki lebih dari sekadar peningkatan dan penajaman anggaran, intensifikasi- ekstensifikasi, perbaikan kebijakan dan kelembagaan, tetapi jauh lebih penting inovasi dan perubahan total paradigma. Selama petani dan pelaku produksi lainnya tidak menjadi subyek dan merasakan manfaat, tekad kedaulatan pangan hanyalah program menggantang asap.

Keenam, arus urbanisasi yang melanda hampir semua kota di Indonesia menyuburkan para pemodal besar, makelar tanah dan properti yang menguasai lahan-lahan strategis dan membuat harga tanah di pusat kota selangit, apartemen dan mal mewabah. Kondisi ini memaksa para pekerja dan masyarakat bawah terdesak di kampung-kampung kumuh, gang-gang sempit bersanitasi buruk, atau bermukim di pinggir kota, jauh dari sumber mencari nafkah, mengeluarkan ongkos transportasi dan waktu lebih. Tumpul rasa para pengendali tata ruang kota ini menyembunyikan sesuatu yang lebih dahsyat: watak koruptif endemik dan tunduk pada kekuatan modal.

Pesan Bung Karno

Rangkuman beberapa persoalan tersebut mengantarkan kita pada gugatan: mengapa perjalanan republik melenceng demikian jauh? Para pendiri bangsa bukan hanya meletakkan landasan konseptual menuju bangsa besar, melainkan juga meninggalkan jejak rintisan berharga seperti Krakatau Steel, Nurtanio, PAL, INKA, Semen dan Petrokimia Gresik, PT Pusri, dan Pindad sebagai bekal kemandirian dan kedaulatan. Semua itu merupakan pertanda sangat jelas bagi kita yang berpikir.

Pada era pergerakan 1920 sampai 1945, penduduk bumiputra hampir mutlak buta huruf (99,9 persen dari sekitar 56 juta penduduk). Walaupun demikian, lahir segelintir generasi emas hasil didikan ”sekolahan Belanda” yang kemudian melesat menjadi pribadi-pribadi unggul dari sisi moralitas, integritas, kompetensi, dan kepeloporan untuk memandu bangsanya meraih kemerdekaan.

Boleh jadi karena kesadaran atas rasa hayat sejarah itu, Bung Karno berulang kali berpesan: ”Perjuanganku mengusir penjajah tidaklah sesulit perjuanganmu kelak melawan bangsamu sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar