Sabtu, 28 Februari 2015

Menanti “Bom Waktu” Krisis Guru Besar

Menanti “Bom Waktu” Krisis Guru Besar

W Riawan Tjandra ;  Pengajar pada Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS, 27 Februari 2015

                                                                                                                       
                                                

Kebijakan pengetatan syarat kenaikan kepangkatan dosen dari lektor kepala menjadi guru besar yang sempat dicanangkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh segera akan menuai hasilnya.

Syarat itu berupa ketentuan dalam Peraturan Mendikbud Nomor 92 Tahun 2014 yang merupakan pengetatan syarat bagi calon guru besar yang melanjutkan pengaturan dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 mengenai keharusan bagi para calon guru besar untuk memiliki—meminjam terminologi kedua peraturan menteri itu— jurnal internasional ”bereputasi”.

Hal yang perlu diberi catatan di sini bukan urgensi syarat tersebut ditinjau dari ambisi Dirjen Dikti di era sebelumnya untuk mendorong internasionalisasi, melainkan problematika seputar ketidaktaatan asas dalam pengaturan terkait dasar hukumnya, disparitas dalam penerapan ketentuan tersebut dan implikasi sosial yang sepertinya luput dari kajian dampak (impact analysis) terkait kebijakan tersebut.

Terkait anomali dasar hukum pengaturan syarat tersebut sangat kentara dilatarbelakangi motif bukan sekadar memperketat, melainkan menghambat para calon guru besar baru yang justru karena komplikasi kerumitan kebijakan anggaran di APBN tak akan memadai untuk menanggung dana sertifikasi dosen bagi para guru besar baru, jika tidak dibuat pengetatan syarat yang mempersulit pencapaian kepangkatan guru besar.

Definisi

Dikti lupa bahwa definisi syarat karya ilmiah dalam UU Guru dan Dosen serta UU Perguruan Tinggi yang menjadi syarat bagi para calon guru besar baru muncul dalam Permendikbud No 92/2014 dan sama sekali tak pernah dijelaskan maknanya dalam kedua undang-undang tersebut. Hal inilah yang dalam teori perundang-undangan disebut ”gerilya peraturan pelaksanaan” (clandestine wetgeving) karena peraturan pelaksanaan suatu undang-undang justru mengatur norma yang harusnya muncul dalam undang-undangnya.

Alhasil, berbagai peraturan pelaksanaan dan peraturan kebijaksanaan (policy rule) yang dikeluarkan menteri ramai-ramai membentuk norma baru yang tak jarang bertabrakan satu sama lain dan menafsirkan muatan norma undang-undang menurut selera sesaat atau kepentingan terselubung otoritas penguasa.

Penerapan ketentuan itu dalam realitas ternyata justru menimbulkan disparitas antara apa yang diharapkan dan realitanya. Baik Permendikbud No 92/2014 maupun Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tak dilaksanakan secara konsisten. Kedua ketentuan itu alpa memperhatikan kriteria bagi penilai calon guru besar.

Akibatnya, hal tersebut ditafsirkan bermacam-macam dalam praktik. Misalnya, seorang guru besar lama yang tak membuat jurnal nasional, buku, atau jurnal internasional bisa duduk sebagai penilai bagi calon guru besar baru; senat akademik yang belum memiliki guru besar memadai dan hanya memiliki sejumlah master bisa turut menilai kelayakan calon guru besar, tak jelasnya kriteria jurnal internasional, dan sejenisnya. Jika diukur dengan UU Administrasi Pemerintahan saat ini, penerapan kedua peraturan menteri tersebut bisa dinilai melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, berupa larangan diskriminatif, kecermatan dan proporsionalitas.

Maka, yang terlihat dari kedua ketentuan itu justru motif tersembunyi untuk mengamputasi semangat menjadi seorang guru besar bagi para doktor baru yang sudah memenuhi berbagai unsur Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan membawa ke perdebatan seputar kriteria kelayakan jurnal internasional. Celakanya, Dikti pun tak terlihat sukses dalam memfasilitasi berbagai perguruan tinggi di Indonesia agar mampu membuat jurnal internasional seperti yang diidealkan kedua peraturan menteri. Di tengah rumitnya persyaratan menjadi guru besar, beberapa pejabat tinggi yang bukan dosen bisa nyelonong mendapat anugerah gelar profesor dari perguruan tinggi.

Jurnal internasional

Syarat jurnal internasional tersebut kini bukan menjadi pemacu semangat untuk meraih prestasi para calon guru besar, melainkan sering dituduh menjadi instrumen untuk mengamputasi yang menghanguskan berbagai syarat Tri Dharma. Bahkan, jurnal nasional yang diakreditasi Dikti dianggap tidak layak menggantikan secara proporsional syarat jurnal internasional versi Dikti. Apakah dengan demikian Dikti menilai lebih rendah kualitas jurnal nasional yang diakreditasinya dan lebih memercayai jurnal internasional sebagai ”harga mati” bagi para calon guru besar?

Implikasi sosial yang sepertinya luput dikaji secara serius oleh Dikti adalah potensi krisis jumlah guru besar per bidang keilmuan yang sudah di ambang mata. Guru besar yang ada saat ini sangat sedikit yang dihasilkan dari kriteria kedua peraturan menteri tersebut. Yang ada adalah guru besar lama menjadi sulit mendapatkan regenerasi karena terganjal momok persyaratan jurnal internasional. Bahkan, Dikti kini juga memperketat syarat kriteria untuk promotor bagi calon doktor di perguruan tinggi yang juga disandera dengan syarat jurnal internasional versi Dikti.

Pada saatnya, krisis doktor segera menyusul. Di era revolusi mental ini, kiranya beberapa kontroversi sebagai dampak kebijakan pada masa lalu mendapat perhatian serius dari Kementerian Ristek dan Dikti serta Kementerian PAN dan RB jika tak ingin menuai buah kebijakan berupa krisis guru besar per bidang keilmuan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar