Senin, 23 Februari 2015

Perihal Wakil Kepala Daerah

Perihal Wakil Kepala Daerah

Khairul Fahmi  ;  Dosen Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas
KOMPAS, 23 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Kepala daerah yang kerap bersimpang jalan dengan wakilnya menjadi salah satu pertimbangan mengapa Perppu No 1/2014 mengatur wakil kepala daerah tidak lagi dipilih, tetapi diangkat. Pengangkatan wakil kepala daerah dilakukan melalui proses pengusulan calon oleh kepala daerah terpilih untuk selanjutnya diangkat oleh presiden atau menteri. Selain itu, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu juga mengatur jumlah wakil kepala daerah. Berapa banyak wakil yang dibutuhkan akan ditentukan menurut jumlah penduduk suatu daerah. Dengan demikian, akan ada daerah yang tidak memiliki wakil dan juga daerah dengan tiga wakil kepala daerah sekaligus.

Walau perppu tersebut telah disetujui dan ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015—tak berselang lama—DPR pun mengajukan usul perubahan melalui usul inisiatifnya. Salah satu materi yang hendak diubah terkait pengisian jabatan dan jumlah wakil kepala daerah.

Sampai saat ini, fraksi-fraksi di DPR belum menemukan kata sepakat apakah wakil kepala daerah akan diangkat atau dipilih. Pada saat yang sama, DPR pun masih memperdebatkan apakah wakil kepala daerah cukup satu atau dibuka ruang untuk lebih dari satu wakil (Kompas, 10/2/2015).

Dipilih atau diangkat

Dalam teks Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, nomenklatur wakil kepala daerah sama sekali tidak dikenal. Jika mengikuti teks ketentuan itu, subyek yang dipilih secara demokratis hanyalah kepala daerah, sementara wakilnya sama sekali tidak disinggung. Pada ranah ini, gagasan hanya kepala daerah yang dipilih sebagaimana diatur UU No 1/2015 mendapat alasan pembenar.

Walaupun demikian, ketentuan tersebut sesungguhnya juga tidak melarang jika pemilihan kepala daerah disertai pemilihan wakil kepala daerah. Tersebab itu, tidaklah keliru jika pembentuk undang-undang mengatur lebih jauh bahwa pemilihan kepala daerah secara demokratis dilakukan satu paket dengan wakilnya.

Oleh karena itu, penentuan sistem pengisian jabatan wakil kepala daerah akan sangat bergantung pada open legal policy pembentuk undang-undang. Diangkat atau dipilih, keduanya bisa diterima dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Sehubungan dengan itu, yang perlu dipertimbangkan lebih jauh, mengapa sistem pengangkatan wakil kepala daerah sesuai UU No 1/2015 mesti diubah menjadi sistem pemilihan dalam satu paket? Bukankah pengisian jabatan wakil kepala daerah melalui pengangkatan akan dapat menyelesaikan konflik yang terjadi antara kepala daerah dan wakil selama ini?

Penyelesaian masalah hubungan antara kepala dan wakil kepala daerah tentunya tidak harus dijawab dengan mengubah sistem pengisian jabatan wakil kepala daerah. Sebab, persoalan tersebut muncul bukan karena faktor sistem pengisian jabatan semata, melainkan lebih karena soal komunikasi politik di antara keduanya. Kalaupun sistem pengisian yang hendak dikambinghitamkan, mesti diingat bahwa penentuan sistem pengisian jabatan wakil kepala daerah tidak hanya mempertimbangkan masalah ketegangan antara kepala dan wakil kepala daerah yang kelak akan muncul, tetapi terdapat berbagai aspek yang juga harus diperhitungkan.

Pertama, sistem pengisian wakil kepala daerah berhubungan dengan agenda mewujudkan integrasi politik di daerah. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket, kesempatan terjadinya penggabungan dua kekuatan politik yang episentrumnya ada pada figur keduanya terbuka lebar.

Kedua, pemilihan dengan berpasangan menjadi ruang proses kaderisasi kepemimpinan politik di daerah. Proses pemilihan tidak dapat dimungkiri mampu menjadi salah satu wahana menyiapkan kepala daerah yang lebih kapabel dan memiliki komunikasi politik yang lebih baik. Dalam konteks ini, posisi wakil sesungguhnya dapat dinilai sebagai tempat berlatih diri bagi aktivis partai sebelum menjadi kepala daerah.

Ketiga, kepala daerah sebagai pemimpin daerah otonom seyogianya didampingi oleh wakil dengan legitimasi yang sama dengannya. Hal itu diperlukan karena jika kepala daerah berhenti atau diberhentikan, penggantinya adalah orang yang juga dipilih rakyat dalam pilkada.

Tiga manfaat dimaksud tentunya sulit, bahkan mustahil, dipenuhi jika jabatan wakil kepala daerah diisi menggunakan sistem pengangkatan. Oleh karena itu, gagasan mengubah sistem pengisian jabatan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU No 1/2015 menjadi sistem pemilihan patut dipertimbangkan untuk kemudian disahkan menjadi perubahan UU Pilkada.

Satu wakil atau lebih

Jika kelak dalam proses perubahan UU No 1/2015 pembentuk undang-undang sepakat kepala dan wakil kepala daerah dipilih satu paket, lalu bagaimana dengan jumlah wakil kepala daerah? Apakah tetap dengan skema jumlah wakil yang terdapat dalam undang-undang atau hanya ditetapkan satu wakil untuk tiap daerah sebagaimana sediakala?

Jawaban atas pertanyaan ini setidaknya mesti mempertimbangkan tiga hal berikut. Pertama, jika wakil kepala daerah lebih dari satu dan semuanya dipilih dalam satu paket, hubungan kepala daerah dengan wakil-wakilnya dikhawatirkan justru semakin rumit dibandingkan apa yang terjadi selama ini. Apabila ada dua wakil, sangat mungkin terjadi ”tiga matahari” di level pemerintah daerah. Kondisi tersebut tentunya tidak baik bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kedua, dalam hal wakil kepala daerah lebih dari satu, jika terjadi kondisi kepala daerah berhenti atau diberhentikan, wakil manakah yang akan menggantikannya? Siapa yang tetap menjadi wakil dan siapa yang akan menggantikan kepala daerah? Lalu, bagaimana pula dengan pengisian jabatan wakil kepala daerah yang kosong karena ditinggal sang wakil yang menggantikan kepala daerah?

Lebih jauh lagi, bagaimana pula hubungan antara wakil yang dipilih dalam pilkada dan wakil yang mungkin akan dipilih DPRD dalam rangka mengisi jabatan wakil kepala daerah yang kosong? Dengan legitimasi berbeda, tidakkah hal tersebut justru akan memicu hubungan yang tidak harmonis di antara dua wakil kepala daerah? Banyak lagi pertanyaan yang menggambarkan betapa kerumitan akan menyertai jika wakil kepala daerah yang dipilih lebih dari satu orang.

Ketiga, dengan bertambahnya jumlah wakil, hal itu justru akan menambah beban anggaran daerah.

Setidaknya, bermodal tiga pertimbangan yang dibentangkan di atas, pilihan untuk menetapkan hanya satu wakil kepala daerah jauh lebih bijak. Sebab, betapapun beratnya beban kerja, menambah jumlah wakil kepala daerah bukanlah solusi. Jauh lebih baik jika persoalan tersebut dijawab dengan mengefektifkan kerja-kerja birokrasi yang menopang kinerja seorang kepala daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar