Senin, 30 Maret 2015

Bernegara secara Angkara

Bernegara secara Angkara

Mochtar Pabottingi  ;  Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 27 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dalam dua bulan pertama 2015, kemelut politik di Tanah Air berlangsung dengan menonjolnya kemiskinan visi dan integritas, baik di dalam maupun di sekitar pusat pemerintahan.

Kemiskinan dua dimensi yang membuat negara kita sempat limbung berminggu-minggu ini telah mengarah pada praksis bernegara secara angkara dan jika dibiarkan bisa membahayakan kondisi Republik. Kemiskinan dua dimensi ini terlihat pada laku segelintir pemimpin partai yang memperlakukan Presiden Jokowi sebagai "petugas partai" atau yang hendak memaksakan agenda kenegaraan mereka sendiri secara menyimpang dari jalur reformasi. Begitu pula laku sebagian pimpinan lembaga penegak hukum yang memvulgarkan proses atau praktik penegakan hukum demi pemberantasan korupsi, termasuk laku sebagian pengacara. Keadaan menjadi kian parah ketika Budi Gunawan (BG) dimenangkan dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan-sesuatu yang berdampak sangat negatif bagi kepastian hukum. Semua ini jelas bersifat angkara dan bisa meruakkan laku angkara dalam bernegara.

Ada dua penyebab dari semua itu. Pertama, karena dikacaukannya rasionalitas hukum dan rasionalitas pemerintahan, yang tentu saja menggerus iklim kepastian di kedua ranah tersebut. Kita tahu bahwa ketidakpastian di bidang hukum sudah merupakan undangan celaka bagi merajalelanya praktik angkara, apalagi jika itu dibarengi ketidakpastian pemerintahan.

Inisiator dan para praktisi praperadilan kasus BG sebaiknya menyadari bahaya ini. Pada 1780, Edmund Burke sudah menyatakan, "Bad laws are the worst sort of tyranny." Juga petuah Kitab Latoa dari abad ke-16, salah satu warisan tertulis leluhur kita di Tanah Bugis. Sebagian besar melampaui kebersahajaan zamannya, kitab ini telah mengajarkan secara terperinci 29 laku yang harus ditolak para penegak hukum demi menegakkan prinsip getteng bicara-kepastian hukum. Lebih awal lagi, Islam mengajarkan betapa bahayanya membiarkan penjamuran fitnah lantaran tiadanya kepastian hukum itu.

Kedua, karena semua kalangan pelaku di atas sama-sama sengaja bertindak atau bersekongkol memanfaatkan daya paksa monopolistik dari negara secara atau untuk tujuan menyimpang dan tak sah (tak legitimate), baik dalam paradigma demokrasi dan nasion maupun paradigma hukum yang semestinya.

Keadilan substantif-dialektis

Dalam hitungan kedua paradigma itu, mereka tak mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum, di mana patokan keadilan substantif-dialektis mutlak sifatnya. Dengan demikian, mereka juga melecehkan ideal-ideal historis kemerdekaan yang kita junjung tinggi, yang dalam skala makropolitik juga bertumpu pada patokan keadilan substantif-dialektis itu. Keadilan substantif lahir dari prinsip-prinsip hukum dan/atau yurisprudensi dalam hitungan sinkronik. Dan, keadilan dialektis merupakan respons rasional terhadap arus tantangan evolusi besar-nyata yang silih berganti dihadapi setiap bangsa dalam hitungan diakronik. Kedua hitungan keadilan ini sama-sama lahir dari kekuatan akal budi-the power of reason, sumber kaidah-kaidah utama dalam politik dan hukum.

Pelecehan ideal-ideal kemerdekaan kita dalam praksis bernegara itu sendiri sudah berarti penggiringan bangsa ke kubangan kekuasaan yang bersifat angkara dan khianat. Ia bersifat khianat karena selain mencampakkan prinsip keabsahan cara dan keabsahan tujuan dalam berdemokrasi, ia pun bekerja menista bangsa. Sama sekali tak boleh dilupakan bahwa per definisi setiap bangsa/nasion merupakan kolektivitas politik yang terbentuk dari seperangkat proyek dan kesepakatan makropolitik. Mencampakkan himpunan ideal kemerdekaan kita berarti mengingkari tujuan makropolitik Republik kita, yaitu transformasi bangsa kita ke tingkat kehidupan bernegara-bangsa yang luhur.

Sifat angkara dalam praksis bernegara terutama mencekam dalam perseteruan mutakhir KPK-Polri. Kita tercekam ketika KPK menetapkan BG sebagai tersangka. Namun, selanjutnya kita lebih tercekam lagi dengan penetapan pimpinan KPK berturut-turut juga sebagai tersangka oleh Polri, termasuk kehendak untuk juga menersangkakan para penyidik lembaga anti rasuah itu dan melakukan insinuasi pada sebagiannya. Ini bisa dibaca sebagai tidak lain dari perpanjangan cara tangkap-borgol plus senjata laras panjang di keramaian jalan raya pagi hari terhadap pimpinan KPK Bambang Widjojanto (BW). Seolah itu semua belum cukup, tokoh-tokoh penegak hukum pejuang pemberantasan korupsi di luar KPK ikut disasar Polri untuk juga dijadikan tersangka.

Seorang narasumber otoritatif yang tahu banyak tentang aneka praktik penyalahgunaan kekuasaan secara eksesif oleh kepolisian menyatakan, kita sudah di ambang "Negara Polisi". Bagi sebuah bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya dengan pengorbanan jiwa raga dan harta benda yang sungguh tak terkira (ratusan tahun di sepanjang masa proto-nasion dan bertahun-tahun di sepanjang revolusi kemerdekaan) tak ada yang lebih keji, lebih sarkastik, dan pasti lebih kita pantangkan daripada prospek "Negara Polisi" itu!

Penilaian masyarakat luas bahwa telah terjadi kriminalisasi terhadap personel KPK oleh Polri pada awal 2015 pastilah amat sulit dibantah karena praktik buruk yang sama telah terjadi dua kali sebelumnya. Presiden sendiri (setelah menerima masukan dari Tim Sembilan) tiga kali menekankan agar "jangan ada kriminalisasi". Dadang Trisasongko dari tim kuasa hukum BW secara tepat merumuskan kriminalisasi sebagai praktik "rekayasa kasus". Dalam persepsi masyarakat luas, tindakan ini pulalah yang menimpa mantan pimpinan KPK Antasari Azhar secara luar biasa zalim. Kita bisa menjelaskan berlakunya praktik kriminalisasi dan/atau laku angkara sebagaimana ditunjukkan aparat Polri terhadap para pejuang pemberantasan korupsi dengan memperhadapkannya pada empat kriteria nalar akal budi untuk menakar ada tidaknya sifat angkara: momen, motif, proporsi, dan rasionale yang terjalin erat satu sama lain. Dalam keempat hitungan ini, kita bisa secara gamblang menunjukkan pada ekuasi keadilan mana KPK dan Polri berdiri.

Tilikan ke "momen" adalah salah satu pintu masuk penting dalam upaya menyimak pelanggaran hukum. Di situlah sebab-akibat suatu peristiwa bisa terungkap. Momen kriminalisasi dimulai Bareskrim Polri dan secara langsung bertubi-tubi tak lama setelah ditetapkannya BG sebagai tersangka KPK. Ini sejalan momen-momen kriminalisasi terhadap KPK pada kedua babak "cicak vs buaya" sebelumnya. Pada ketiga momen perseteruan itu tak ada atau sedikit sekali jeda di antara "aksi" dan "reaksi" atau apa yang dipandang sebagai offense dan response.

Di atas "momen", "motif" merupakan pintu masuk lebih penting lagi untuk menyimak atau menjelaskan ujung pangkal suatu tindakan. Di sini ada semacam pertemuan antara ajaran agama dan pemikiran filosof. Islam mencanangkan bahwa amal ditentukan niat atau tujuan. Immanuel Kant menekankan tindakan, tujuan, dan moralitas tak bisa dipisahkan dari motif. Filosof ulung ini menjelaskannya dengan jernih, "Im Reiche der Zwecke hat alles entweder einen Preis oder eine Würde." (Dalam totalitas khazanah tujuan, segala sesuatu memiliki harga atau harkat.) Kendati motif selalu tersembunyi, setiap orang dewasa yang berpikiran jernih hampir selalu bisa menangkapnya dan seorang penuntut umum piawai di pengadilan akan sanggup membongkarnya dalam cross-questioning intens dan cerdas.

Penegak hukum dan keadilan

Sehubungan kasus cicak vs buaya III, motif kriminalisasi bisa dilacak dalam serangkaian kemungkinan, seperti kehendak Polri membela diri/korsa. Atau kehendak melumpuhkan, dan jika perlu menghancurkan, pihak yang dipandang sebagai "penyerang" (offender) demi menutupi sekaligus memelihara kelangsungan praktik korupsi yang jika terbongkar bisa sangat nista bagi lembaga. Termasuk di sini kemungkinan motif kriminalisasi terhadap Abraham Samad (AS), Ketua KPK, yang dituduh menersangkakan BG lantaran dendam tak berhasil menjadi wapres. Pada gilirannya, kita pun bisa mempertanyakan motif pimpinan PDI-P yang membiarkan Plt Sekjen PDI-P Hasto Kristianto berusaha begitu gencar hendak menjadikan AS sebagai tersangka.

Proporsi bobot ketersangkaan dari kasus pelanggaran yang ditujukan kepada pimpinan/staf KPK sama sekali tak sebanding dengan proporsi bobot ketersangkaan yang dikenai pada BG-suatu proporsi yang sungguh tepat tergambarkan dalam perumpamaan cicak versus buaya itu. Terlepas dari persoalan tepat atau tidaknya lembaga KPK menangani kasus BG, bobot ketersangkaan menyangkut penyalahgunaan jabatan sebagai Karobinkar di Polri, jika itu benar terjadi di bawah BG, bisa dikatakan berdampak seribuan kali lebih merusak bagi negara-bangsa kita.

Praktik terima sogok dalam pengangkatan dan penempatan para pejabat menengah dan tinggi kepolisian akan disambut dan dimanfaatkan secara eksponensial oleh sosok-sosok hitam oligarki. Itu bisa memuluskan niat atau praktik "perampokan" besar-besaran mereka atas seluruh kekayaan dan sumber-sumber daya milik bangsa kita di segenap pelosok Tanah Air. Laku memperjualbelikan jabatan dan penempatan di lembaga kepolisian, sekali lagi jika betul ada, sungguh ibarat menyodorkan himpunan hewan korban kepada himpunan buaya. Laku demikian merisikokan penggadaian seluruh bagian Tanah Air dan kekayaan negara-bangsa, termasuk nasib generasi masa depannya kepada kaum oligarki.

Maka, sungguh tak salah jika pada ke-29 daftar laku yang semestinya diharamkan bagi para penegak hukum, Kitab Latoa menyebut laku menerima sogok di urutan pertama. Di sini penegak hukum penerima sogok disebut torianre warang parang (orang yang dimakan harta benda). Mereka kehilangan status sebagai manusia terhormat. Timbangan tertinggi dari ada-tidaknya laku angkara dalam praksis bernegara dalam hal ini tak lain dari perbedaan rasionale antara tindakan KPK menersangkakan BG dan rangkaian tindakan Polri menersangkakan personalia KPK. Rasion d'etre pembentukan KPK dinyatakan sangat gamblang pada konsiderans Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002: upaya pemberantasan korupsi selama ini "tidak optimal" dan lembaga-lembaga pengurusnya "belum berfungsi secara efektif dan efisien" sehingga perlu suatu komisi "yang independen". Semua konsiderans ini sedikit pun belum berubah. Korupsi di negeri kita masih tetap "kejahatan luar biasa" dan negara-bangsa kita masih berada dalam cengkeraman keadaan darurat korupsi. Atas dasar rasionale bersifat urgen, luar biasa atau compelling dari UU itulah KPK menersangkakan BG.

Sebaliknya, selain atas nalar rutin penegakan hukum untuk menindaklanjuti laporan masyarakat, Polri tak punyai rasionale setara untuk menersangkakan personalia KPK, apalagi in toto. Kalaupun untuk itu suatu rasionale diada-adakan, itu tetaplah ditarik dari kondisi rutin-normal. Itu pun pada umumnya juga bersifat "abu-abu" dan "kroco". Sudah kewajiban penegak hukum, termasuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan siapa pun penurutnya (yang dengan nalar biasa begitu bernafsu hendak merevisi Peraturan Pemerintah No 99/2012), untuk membandingkan kedua rasionale tersebut, begitu juga momen, motif, dan proporsi, dalam menyikapi, menangani, dan memutuskan hal-ihwal perkara korupsi. Seperti halnya kubu pembela BG, Menteri Hukum dan HAM hanya melihat pelanggaran hak individual narapidana korupsi. Dia menolak melihat penderitaan puluhan tahun dari jutaan manusia Indonesia yang hak-haknya telah dirampas secara sewenang-wenang oleh para koruptor.

Dalam kondisi darurat korupsi, sudah sepantasnya kita mengindahkan keprihatinan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang ingin menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor kakap karena dia sungguh mewakili aspirasi puluhan juta manusia Indonesia.

Pada keseluruhan drama laku angkara dalam praksis bernegara ini, peranan kalangan pengacara tak kecil. Mereka yang memilih berseberangan dengan KPK bukan hanya tidak pernah mengangkat raison d'etre dari tindakan KPK terhadap BG, melainkan juga secara terus-menerus berusaha menyingkirkannya atau memperlakukannya sebagai tiada. Mereka juga tak membaca kriteria momen, motif, dan proporsi sebagaimana mestinya. Di atas semuanya, mereka termasuk dalam barisan "penegak hukum" yang tak mengindahkan bangsa dan prinsip keadilan sejati. Atas perilaku seperti inilah berlaku dakwaan Jeremy Bentham (1748-1832), "Lawyers are the only persons in whom ignorance of the law is not punished."      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar