Senin, 30 Maret 2015

Dana Penelitian Universitas

Dana Penelitian Universitas

Conrad William Watson  ;  Profesor pada School of Business and Management ITB; Emeritus Profesor pada School of Anthropology, University of Kent, UK
KOMPAS, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Hampir semua orang yang berkiprah di perguruan tinggi di Indonesia dan mereka yang prihatin pada perkembangan yang terjadi belakangan ini akan sependapat bahwa salah satu halangan besar kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia adalah kurangnya otonomi perguruan tinggi.

Penjelasan rinci mengenai kepincangan dan kelumpuhan dalam kinerja universitas sekarang diterangkan dengan detail dalam buku    Sulistyo Irawati (Ed) terbitan Yayasan Obor (2014) yang satu demi satu memperlihatkan bagaimana dalam pengelolaan keuangan, perancangan, dan terutama sistem pengajaran dan penelitian, campur tangan Mendiknas dalam urusan universitas  menyebabkan ketertinggalan pendidikan tinggi di Indonesia. Usaha menguasai dan menentukan arah perkembangan pendidikan tinggi dari pusat yang ditujukan untuk meningkatkan mutu supaya setaraf dengan perguruan tinggi (PT) di negara tetangga bukan saja tidak berhasil, melainkan malah melahirkan keadaan lebih parah lagi.

Sistem pengajaran yang dipaksakan atas PT sudah sering jadi sorotan di forum diskusi dosen-dosen dan mudah-mudahan akan menjadi hal yang dititikberatkan oleh Forum Rektor dalam perundingannya dengan Menteri Pendidikan Tinggi. Akan tetapi, satu hal lagi yang selalu menjadi titik perhatian-dan tampaknya memusingkan kepala para pengelola PT di Indonesia yang jarang dapat penguraian tuntas-ialah masalah kurangnya penelitian berbobot di kalangan orang akademik.

Perhatikan bahwa yang disebut ialah penelitian yang berbobot, bukan kurangnya penelitian. Ketakpandaian Dikti membedakan antara kedua-duanya sedang membawa akibat yang berbahaya pada pengajaran di PT kini. Sebabnya begini. Mahasiswa, terutama di tingkat S-2 dan S-3, dipaksa menulis artikel untuk diterbitkan di majalah ilmiah sebagai syarat lulus dan dapat predikat tinggi. Tuntutan ini sangat tidak masuk akal dan, di mata orang yang mengetahui proses penerbitan artikel di majalah ilmiah, menjadi bahan olok-olokan sebagaimana diterangkan Franz Magnis-Suseno dalam artikel di Kompas dua tahun lalu dan juga sebagaimana disoroti buku Sulistyo tadi. Sebagai gambaran bahwa betapa aneh tuntutan Dikti itu: hampir tidak ada mahasiswa S-1 dan S-2 yang menulis artikel ilmiah di Inggris, bahkan mahasiswa S-3 pun jarang menulis artikel sebelum mereka mencapai gelar PhD.

Demi menyelamatkan mahasiswa Indonesia dari pusing kepala dan keputusasaan akibat terjebak ke dalam lingkaran setan ciptaan Dikti itu, sebaiknya dengan serta-merta tuntutan ini dihapuskan dan Dikti mengumumkan bahwa penganjuran menulis artikel sebagai syarat lulusan atau syarat lulusan dengan predikat cum laude langsung ditarik kembali.

Namun, masalah kurangnya penelitian yang berbobot tetap ada dan kita harus memikirkan bagaimana mengambil langkah seperlunya untuk mengatasinya. Di bawah ini saya mau menerangkan sistem yang dipakai di Inggris untuk mendukung penelitian yang bermutu tinggi. Tentu bukan karena saya menganggap sistem Inggris paling baik atau sistem itu dapat langsung diterapkan di Indonesia, tetapi karena itulah sistem yang saya kenal dengan baik dan, setidak-tidaknya, sistem Inggris cukup lumayan dan dapat digunakan sebagai model perbandingan dalam mempertimbangkan sistem Indonesia.

Sistem di Inggris

Di Inggris terdapat peruntukan uang penelitian yang langsung dijatahkan ke universitas negeri oleh pemerintah dalam bentuk yang disebut block grant.  Jumlah uang penelitian ini selalu berbeda dari satu universitas ke satu universitas serta dibagi  dan dihitung sesuai dengan prestasi penelitian tiap jurusan di dalam universitas dalam periode sebelumnya, sebagaimana diukur dalam kerangka penelitian resmi (RFE namanya). Namun, lebih penting sebagai dana ini adalah dana yang disalurkan dari pemerintah ke dewan-dewan penelitian tertentu, seperti Medical Research Council (MRC), Science Research Council (SRC), Arts and Humanities Research Board (AHRB), dan Economic and Social Research Council (ESRC), British Academy. Pembagian uang pada usaha penelitian kira-kira serupa untuk semua dewan ini, tetapi oleh karena saya seorang antropolog yang banyak berhubungan dengan ESRC, dewan itulah yang kerjanya akan saya terangkan.

Pertama, perlu diterangkan bahwa selain dari pejabat tetap, direktur, sekretaris, dan karyawan administrasi, semua orang akademik yang bekerja untuk ESRC ialah sukarelawan yang diminta membantu dalam proses memilih penelitian yang bermutu. Mereka dengan senang hati menerima tawaran untuk duduk di panitia-panitia ESRC untuk jangka waktu lima tahunan karena mereka (dan universitasnya) menganggap tawaran itu sebagai satu kehormatan besar. Panitia-panitia itu terbentuk menurut ilmu-ilmu sehingga ada panitia ekonomi, panitia sosiologi, panitia antropologi, panitia kependudukan, dan sebagainya.

Tiap panitia bekerja menentukan pembagian dana. Pertama, untuk beasiswa calon S-2 dan S-3 yang melamar ke panitia tersebut. Tentu saja jumlah beasiswa ini sangat terbatas dan hanya dibagi kepada mahasiswa yang betul-betul gemilang prestasinya dan potensinya. Kedua, untuk dosen atau kelompok dosen yang mengajukan proposal tertentu yang lahir dari keinginan mereka menyelidiki sesuatu dalam bidangnya. Biasanya, besarnya dana tiap satu penelitian terbatas berkisar 5.000-200.000 poundsterling. Jumlah uang yang tersedia untuk peruntukan ini juga terbatas. Dalam hal ini, ESRC menerima kurang dari yang diterima SRC dan MRC untuk keperluan ini karena orang cukup sadar bahwa peralatan yang dipakai untuk penelitian di dua dewan terakhir itu sangat mahal.

Kemungkinan untuk memperoleh dana penelitian ini sangat tipis karena persaingan mendapatkannya sangat ketat. Dosen dari semua universitas didorong oleh PT mereka untuk melamar. Untuk memperbesar kemungkinan lamaran dinilai sangat tinggi oleh panitia yang bersangkutan, yang akan mempertimbangkan  lamaran, semua universitas memiliki lembaga tersendiri untuk membantu dosen dalam cara menulis proposal, menghitung dengan saksama biayanya. Biaya yang dimaksud sudah termasuk biaya pengganti mereka mengerjakan tugas dosen yang bersangkutan kalau dia berhasil mendapat dana dan terpaksa absen dari universitas selama dia mengadakan penelitian dan/atau membiayai overhead (yaitu biaya kalau dalam usaha penelitian, dia menggunakan fasilitas universitas dan menyusunnya sedemikian rupa untuk memberi kemungkinan besar bahwa lamaran proposal diterima dan dipertimbangkan).

Akan tetapi, karena tiap universitas berbuat begitu, tetap susah kita sebagai pelamar mendapat dana karena 90 persen dari semua lamaran dinilai sangat baik (A atau A*). Jadi, sudah dari tingkat awal proposal sudah terjaga mutunya. Bukan saja dari inti proposal sendiri, melainkan dipandang juga dari segi rekam jejak orang yang melamar-berapa banyak artikel dan buku sudah terbit-dan mungkin tidak bahwa hasil penelitian akan segera terbit sesudah penelitian selesai.

Perlu diketahui juga bahwa sebelum panitia memberi keputusan apakah satu proposal diberi dana atau ditolak, proposal tersebut dikirim ke dua referee, penimbang, untuk menilai betapa bagus proposal. Kedua referee ialah orang yang ahli dalam bidang yang mau diselidiki oleh pelamar dan mereka juga bekerja secara sukarela dan tidak dibayar. Baru sesudah menerima laporan dari kedua referee, panitia mengambil keputusan. Semua pelamar, termasuk yang tidak berhasil, diberi kopi dari penilaian referee walaupun mereka tidak diberi tahu nama dari referee.

Bukti kuat

Jenis dana ketiga yang dikelola ESRC ialah dana yang bersangkutan dengan proyek yang besar, yaitu salah satu dari empat lima tema yang diutamakan oleh ESRC yang akan berjalan selama lima tahun. Tema ini berkaitan erat dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah dalam menghadapi perkembangan kesejahteraan untuk rakyat secara langsung dan hasil penelitian diharapkan akan menjadi bukti kuat yang akan mendasari kebijakan pemerintah di kemudian hari.

Tema ini misalnya ialah kemiskinan yang dialami kelas bawah yang tinggal di daerah perkotaan, dampak pemanasan dunia pada pertanian, masalah pengangguran di kalangan orang pemuda, dan sebagainya. Tema semacam itu dibiayai sangat tinggi sampai 2-3 juta poundsterling Inggris.

Biasanya untuk mendapat sebagian dari dana ini, yang melamar bukan perseorangan, melainkan satu tim yang terdiri atas beberapa jenis spesialis: ekonom, sosiolog, ahli ilmu bumi, perkotaan, dan lain-lain. Dan belum tentu mereka semua berasal dari universitas yang sama. Mereka bersama-sama, demi memenuhi hasrat menyelidiki satu permasalahan, bersedia bekerja sama dalam satu tim di mana masing-masing menyumbang keahliannya. Sekali lagi, proses mempertimbangkan proposal sama: dikirim kepada referee (cuma, untuk proyek besar seperti ini dikirim bukan kepada dua orang saja, melainkan kepada empat lima orang untuk mempertimbangkannya). Demikian diharapkan bahwa keputusan penghabisan oleh panitia akan jadi obyektif dan transparan.

Dengan sistem begini, pemerintah lewat ESRC berhubungan langsung dengan para peneliti dan merangsang mereka memperdalam ilmunya. Kadang-kadang dalam bidang yang seakan-akan tidak ada kaitan dengan keperluan negara, misalnya kalau antropolog meneliti pemberdayaan perempuan di salah satu negara di Afrika atau Asia-dan juga untuk mencari pemecahan pada masalah-masalah tertentu yang dihadapi oleh pemerintah pada ketika itu.

Sudah terang bahwa sistem ini sangat berbeda dengan apa yang kita saksikan di Indonesia sekarang dan mungkin tidak sesuai sepenuhnya dengan keadaan PT di Indonesia ketika ini. Namun, apa salahnya kalau kita menyelidiki kemungkinan bahwa adanya unsur-unsur dari sistem ini yang dapat diterapkan dengan mudah dan segera di dunia penelitian di Indonesia sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar