Kamis, 26 Maret 2015

Distribusi Tertutup LPG Melon

Distribusi Tertutup LPG Melon

Ali Masykur Musa  ;  Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
KORAN SINDO, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sejak 1968 masyarakat Indonesia mulai mengenal liquefied petroleum gas (LPG) dengan brand Elpiji yang dikeluarkan oleh Pertamina. Awalnya LPG dipasarkan perusahaan pelat merah itu untuk memanfaatkan produk samping dari hasil pengolahan minyak di kilang, sekaligus sebagai bahan bakar alternatif yang lebih bersih untuk memasak selain minyak tanah. Seiring berjalannya waktu, LPG semakin disukai karena sifatnya yang lebih praktis dan bersih. Selain itu jauh lebih cepat pemanasannya jika dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.

Dengan harga yang lebih tinggi dari minyak tanah, LPG merupakan bahan bakar yang populer di kalangan masyarakat menengah ke atas. Sejak 2007 pemerintah menggulirkan program Konversi Minyak Tanah ke LPG, dengan tujuan untuk mengubah pengguna minyak tanah bersubsidi yang mayoritas merupakan kalangan masyarakat ekonomi lemah menjadi pengguna LPG.

Dengan mengubah penggunaan minyak tanah bersubsidi menjadi LPG bersubsidi, pemerintah memperhitungkan akan mendapatkan penghematan dari sisi subsidi, selain juga memberikan akses kepada masyarakat ekonomi lemah terhadap bahan bakar yang lebih bersih. Hasil pemeriksaan BPK RI, kebijakan pemerintah ini bisa menghemat hingga Rp16,2 triliun.

Agar lebih bisa menjangkau daya beli masyarakat kelas bawah, LPG untuk rumah tangga yang selama ini dikemas dalam kemasan 12kg dibuat dalam kemasan yang lebih kecil yaitu 3kg. Dengan pemberian subsidi, harga jual dapat ditekan lebih rendah dan masyarakat ekonomi lemah dapat memperolehnya dengan relatif mudah.

Kini, setelah delapan tahun program ini digulirkan, LPG subsidi 3 kg yang harusnya diperuntukkan hanya oleh masyarakat kecil masih dijual bebas dengan harga yang terpaut jauh lebih murah dari yang bobot 12kg.

Akibat lemahnya pengawasan distribusi dan disparitas harga tersebut, migrasi penggunaan LPG 12 kg ke LPG subsidi 3 kg menjadi meningkat tajam. LPG ”melon” 3 kg bisa dinikmati siapa saja, termasuk golongan kaya.

Dilema Subsidi

Pemberian subsidi merupakan kelanjutan strategi pembangunan yang mencakup tiga aspek. Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi (progrowth budget). Kedua, perluasan kesempatan kerja (projob budget). Ketiga, mempercepat penanggulangan kemiskinan (pro-poor budget). Subsidi merupakan kebijakan yang dinilai efektif dalam meringankan beban rakyat.

Secara umum, kebijakan subsidi mencakup dua jenis yaitu subsidi energi dan subsidi nonenergi. Subsidi energi terdiri atas: (1) subsidi bahan bakar minyak (BBM), (2) gas alam cair (LPG), dan (3) bahan bakar nabati (BBN). Sedangkan subsidi nonenergi cakupannya lebih beragam yaitu terdiri atas: (1) subsidi pangan, (2) subsidi pupuk, (3) subsidi benih, (4) subsidi untuk public service obligation (PSO), (5) subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak ditanggung pemerintah (DTP).

Subsidi BBM adalah subsidi yang diberikan kepada masyarakat yang menggunakan premium, minyak tanah, dan minyak solar. Subsidi LPG diberikan kepada masyarakat pengguna kompor gas yang menggunakan LPG melon. Khusus subsidi LPG ini, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan mendapat postur beban baru sebesar 28 triliun.

Kini budget itu harus naik jadi Rp35 triliun dalam APBN Perubahan 2015. Padahal di sisi lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah mem o t o n g drastis anggaran subsidi energi dari Rp206,9 triliun menjadi Rp137,8 triliun dalam APBN-P 2015. Penurunan drastis anggaran subsidi energi berasal dari anggaran subsidi BBM, LPG, dan bahan bakar nabati (BBN) yang tercatat anjlok Rp211,3 triliun.

Dari sebesar Rp276 triliun di RAPBN 2015 menjadi Rp64,7 triliun di APBN-P 2015. Kondisi tersebut sebenarnya tidak baik untuk Indonesia. Saat ini di Jakarta harga LPG 3 kg sebesar Rp16.000 per tabung atau sekitar Rp5.300 per kg. Sementara harga LPG 12 kg mencapai Rp129.000 atau Rp10.750 per kg.

Terdapat selisih harga yang tinggi di antara dua produk tersebut. Akibat tingginya disparitas harga tersebut, tingkat konsumsi LPG 3 kg pun terus meningkat. Pada 2014 konsumsi LPG melon mencapai 5,6 juta metrik ton. Jumlah ini meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada 2009 yang konsumsinya hanya 1,76 metrik ton.

Konsumsi LPG 12kg relatif tidak berubah di kisaran 900.000 sampai 1 juta metrik ton per tahun. Bila migrasi LPG ini terus terjadi, subsidi yang seharusnya diberikan masyarakat kelas bawah pengguna LPG 3 kg semakin melenceng dari sasaran. Subsidi LPG melon bisa menjadi ”ancaman” bagi keuangan Indonesia. Sudah saatnya pemerintah berupaya membatasi melalui regulasi dan sistem distribusi yang jelas.

Distribusi Tertutup

Mengatasi dilema subsidi LPG melon tersebut, pemerintah sebaiknya mempersiapkan program mekanisme distribusi tertutup. Tujuan dari penyaluran secara tertutup ini adalah penyaluran LPG melon tepat sasaran kepada keluarga kurang mampu dan usaha mikro.

Pemerintah sebaiknya segera merealisasikan itu. Ini diperlukan untuk memberi kepastian kepada masyarakat bahwa pengguna LPG melon tidak akan mengalami kelangkaan karena disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

Menurut Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009, Pendistribusian Tertutup adalah sebuah sistem pendistribusian LPG tertentu untuk rumah tangga atau usaha mikro yang menggunakan LPG tertentu yang terdaftar menggunakan kartu kendali.

Kartu kendali ini tanda pengenal resmi yang diberikan kepada rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG tertentu sebagai alat pengawasan dalam pendistribusian LPG tertentu. Kartu pengendalian tersebut bisa menggunakan kartutanda pendudukelektronik(e- KTP) atau kartu keluarga sejahtera (KKS) yang diterbitkan pemerintah di bawah koordinasi menko pembangunan manusia dan kebudayaan.

Untuk mengawal distribusi tertutup agar tidak dipermainkan oleh sekelompok pihak, penegakan hukum (law enforcement) perlu dilengkapi melalui SK pemerintah daerah masingmasing. Tanpa ada punishment yang kuat bagi yang melanggar mustahil sistem distribusi tertutup bisa berjalan.

Sistem ini juga bisa beroperasi aman jika didukung kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang kondusif untuk mendorong suasana bisnis yang sehat. Penentuan HET sebaiknya tidak pada level agen, namun pada titik pengecer sehingga meminimalkan permainan harga dari agen sampai konsumen akhir.

 Disparitas harga adalah kunci kemelut LPG. Semakin lebar kesenjangan, para spekulan makin berpesta dengan mempermainkan stok dan harga. Potensi kriminal lain adalah pengoplosan isi LPG melon dengan tabung biru, lantas dijual dengan harga nonsubsidi. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan seperti yang dilakukan pada bahan bakar minyak.

Subsidi BBM yang bertahun-tahun membebani anggaran negara menjadi lebih longgar sejak diberlakukan mekanisme subsidi tetap. Kebijakan ini pula yang sekarang diperlukan untuk komoditas LPG. Khusus terhadap LPG melon harus menggunakan mekanisme distribusi tertutup. Kita tunggu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar