Senin, 30 Maret 2015

Dua Sayap Dua Muktamar

Dua Sayap Dua Muktamar

Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
KOMPAS, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Dua organisasi massa besar dan tua, kalau bukannya yang terbesar dan tertua, Muhammadiyah (lahir 1912: 103 tahun) dan Nahdlatul Ulama (lahir 1926: 89 tahun), akan menggelar muktamar pada 2015.

Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) akan berlangsung 16-21 Syawal 1436 H (1-5 Agustus 2015) di Jombang, sementara Muktamar Ke-47 Muhammadiyah berlangsung 18-22 Syawal 1436 H (3-7 Agustus 2015) di Makassar. Usia keduanya sama, besarannya nyaris sama, keduanya bermuktamar pada tahun yang sama, bulan yang sama, dan tanggal yang juga nyaris sama. Ini sebuah truisme belaka: takdir sejarah yang insya Allah membawa berkah.

Tema muktamar keduanya juga nyaris sama: NU ”Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, Muhammadiyah ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Sebuah kemiripan yang juga truisme belaka: menggambarkan wilayah kepedulian yang mengatasi dan melintasi golongan, suku, etnis, dan agama. Kepedulian yang sudah pada level kebangsaan dan kemanusiaan universal.

Umat Islam, pemerintah, media, dan bangsa Indonesia menyambut antusiasme muktamar akbar ini. Apalagi mereka yang menyadari betapa besar peran kedua ormas ini dalam pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila ini. Sebagai arus utama (mainstream) Islam Indonesia, pendiriannya bahwa NKRI merupakan bentuk final dari cita-cita bernegara bukan hanya memberikan jaminan tetap tegaknya Pancasila, melainkan juga menenteramkan semua pihak. Ini saja sudah merupakan sumbangsih kaum nahdliyin dan muhammadiyin yang tiada ternilai harganya.

Dengan kematangan dalam berislam yang moderat dan toleran, serta pandangan kenegaraannya yang nasionalis dan patriotis, keduanya menjadi jangkar utama bangsa yang majemuk ini. Para pemimpin keduanya boleh datang dan pergi secara silih berganti, tetapi mereka selalu merupakan tokoh-tokoh bangsa yang mengutamakan negara di atas golongan. Sungguh tak terbayangkan bagaimana wajah Islam Indonesia jika bangsa ini tak memiliki NU dan Muhammadiyah. Meski mungkin saja tetap ditakdirkan menjadi negara yang mayoritas Muslim, besar kemungkinan Indonesia secara ideologi dan politik akan berkembang menjadi seperti yang terjadi di beberapa negara lain yang kaotik dan konfliktual.

Memang harus diakui masih ada persoalan mengenai hubungan antara Islam dan negara, tetapi berkat kedua gerakan Islam moderat dan nasionalistis ini, persoalan tersebut dapat dikelola secara lebih dingin dan tenang, jauh dari pergolakan.

Laksana dua sayap

Sebagai kekuatan masyarakat madani, Muhammadiyah dan NU juga merupakan tulang punggung proses demokratisasi Indonesia. Dalam konteks ini, negara harus menahan diri untuk tidak menarik (absorb) keduanya ke dalam negara. Keduanya harus dipertahankan seperti sekarang ini, sebagai reservasi sosial politik (socio-political reservoir) yang terus memosisikan dirinya sebagai perantara (broker) antara negara dan masyarakat. Negara jangan terlalu kuat di hadapan rakyat yang lemah, dan rakyat jangan terlalu kuat di hadapan negara yang lemah. Negara yang terlalu kuat akan cenderung otoriter dan totaliter, sementara rakyat yang terlalu kuat di hadapan negara yang lemah akan menjerembabkan anarkisme.

Maka, tidak berlebihan kalau mendiang Nurcholish Madjid mengibaratkan jika umat Islam Indonesia, bahkan Indonesia itu sendiri, seekor burung garuda, maka Muhammadiyah dan NU adalah kedua sayapnya.

Tatkala keduanya mengepak secara kompak, umat dan bangsa ini akan dibawanya terbang membelah angkasa menerjang badai menggapai cita-cita nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selama satu abad, Muhammadiyah dan NU dengan setia mengawal perjalanan bangsa mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Pasalnya, tujuan tersebut sejatinya berimpitan secara organis dengan tujuan keduanya sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, yaitu ”menegakkan kalimah Allah” (li i’lai kalimatillah hiya l-’ulya) demi mewujudkan ”kejayaan Islam dan umat Islam” (izzu ’l-Islam wa ’l-muslimin) sebagai ”kasih sayang bagi seluruh alam” (rahmatan li ’l-’alamien) tanpa membedakan suku, etnis, dan agama.

Luar biasa mulia, luar biasa berat. Bagi keduanya, apa yang disebut umat, rakyat, penduduk, atau warga negara, pada hakikatnya merupakan entitas yang identik dan sama: bangsa Indonesia.

Tak versus, tak ”vis a vis”

Saya optimistis terhadap masa depan relasi kedua gerakan Islam ini. Memang, dalam beberapa hal ada perbedaan pemahaman dalam berislam di antara keduanya, tetapi tidak ada sikap penyesatan teologis, apalagi permusuhan di sana. Sebab, keduanya memahami betul mengapa perbedaan itu terjadi.

Para ulama di kedua ormas ini menguasai betul manhaj, mazhab, dan konvensi keilmuan dalam memahami ajaran Islam secara utuh dan komprehensif. Maka, perbedaan yang terjadi sangatlah dewasa dan matang yang alih-alih memecah belah umat, malah memperkaya khazanah dan mosaik Islam Indonesia.

Saya tidak yakin ada orang NU yang anti Muhammadiyah, sebagaimana tidak ada orang Muhammadiyah yang anti NU. Jika dulu orang dengan simplistis menyimpulkan selalu ada sindrom NU versus Muhammadiyah, atau Muhammadiyah vis a vis NU, dalam berbagai lapangan kehidupan, kini nuansa seperti itu tidak ada lagi.

Apalagi dari rahim kedua ormas ini bermunculan banyak aktivis muda penggiat gerakan toleransi dan pluralisme garda depan sekaligus menjadi tulang punggung dari kekuatan anti sektarianisme dan intoleransi yang gigih. Maka, sangatlah absurd kalau di antara kedua ormas itu sendiri ada sikap saling mengeluarkan.

Pun lapangan kepedulian dan pengabdian keduanya tidak lagi berbeda. Muhammadiyah, yang dulu memelopori pendidikan klasikal dan modern, kini juga menggarap pendidikan pesantren. NU, yang dulu diidentikkan dengan pesantren, kini mendirikan universitas-universitas besar di hampir seluruh kota.

Dalam satu dekade ke depan kita akan menyaksikan puluhan atau ratusan universitas besar yang didedikasikan oleh keduanya untuk bangsa. ’Ala kulli hal, besar harapan bangsa diletakkan di pundak kedua sayap keindonesiaan ini. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar