Kamis, 26 Maret 2015

Duh, Lucunya Orang Madura

Duh, Lucunya Orang Madura

Moh Mahfud MD  ;  Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
JAWA POS, 23 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

SALAH satu ciri utama yang melekat pada orang Madura adalah kelincahannya dalam berkelit dengan logika-logika polos. Orang Madura, konon, pandai berkelit dan cerdik, tapi tidak licik sehingga setiap kelincahan berdebat sering dikaitkan dengan kelincahan orang Madura. Simaklah contoh ini.

Suatu hari seorang antropolog asal Jerman melakukan penelitian di Madura. Dia mendapati seorang di desa yang sedang tidur-tiduran di kobhung (langgar keluarga) dengan santainya sekitar pukul 09.00. Sang peneliti bertanya, ”Mengapa Anda tidur-tiduran dan tidak bekerja saja?” Orang Madura itu menjawab malas bekerja. ”Enakan begini, santai sambil minum kopi dan makan tela rebus,” kata orang Madura itu.

”Kan lebih baik bekerja agar nanti sesudah tua bisa punya tabungan dan tinggal tidur-tiduran dengan enak, menikmati masa tua,” kata si peneliti. ”Lho, mengapa untuk tidur-tiduran harus bekerja dulu dan menunggu masa tua? Sekarang saja saya sudah tidur-tiduran,” jawab orang Madura itu dengan lincah. Si peneliti Jerman melongo, kalah. Dia pun ingin mewawancarai orang tersebut lebih jauh dan naik ke kobhung sambil bertanya.

”Apakah di sini aman dan tidak ada ular? Saya takut dipatuk ular,” kata si peneliti. ”Tenang, Tuan, di sini aman, tak ada ular,” jawab orang Madura itu. Tetapi, tiba-tiba di bawah kobhung ada ular yang sangat besar menyelinap dan terus masuk ke semak-semak di dekat kobhung itu. ”Lho, katanya di sini tak ada ular. Itu ada ular besar sekali. Hiii, takut,” kata peneliti Jerman tersebut dengan muka pucat karena saking takutnya. ”Oh, di sini memang tidak ada ular, Tuan. Yang barusan lewat itu adalah ibunya. Ibunya ular,” kata orang Madura tersebut dengan tenang.

Boleh jadi cerita itu tidak pernah benar-benar terjadi atau terjadi di tempat lain dan bukan di Madura. Tetapi, kecerdikan menjawab dan berkelit telah menjadi ciri khas orang Madura sehingga cerita seperti itu sering dikaitkan dengan orang Madura. Untuk menimbulkan kesan kecerdasan yang polos, spontan, dan lucu, kerap periwayat cerita seperti itu menyebutnya sebagai cerita dari Madura.

Orang-orang seperti Gus Dur, Cak Nun, Hasyim Muzadi, dan Sujiwo Tejo sering mengaitkan ceramah atau tulisan-tulisannya dengan cerita lucu yang, katanya, dari Madura. Padahal, cerita tersebut kadang tak jelas dari mana asalnya atau terkadang dibuatnya sendiri. Biar menarik dan terasa lucu, disebutlah cerita itu dari Madura. Hasyim Muzadi, misalnya, pernah bercerita bahwa gelar atau titel akademik doktorandus (Drs) bagi orang Madura jauh lebih tinggi daripada gelar dokter atau doktor sekalipun.

Ceritanya, Pak Imam mengadakan pesta syukuran karena anaknya lulus menjadi dokter (dr) dari Fakultas Kedokteran Unair. Pak Hamim yang anaknya lulus sebagai dokterandes (Drs) dari IAIN Sunan Ampel (kini UIN Sunan Ampel) tak kalah gaya. Dia pun mengadakan pesta syukuran. ”Anak saya lebih tinggi gelar dan ilmunya daripada anaknya Imam. Anaknya Imam hanya dokter, sedangkan anak saya sudah dokter masih ada andesnya. Bayangkan itu, sudah dokter, masih andes. Hebat, kan?” kata Pak Hamim tanpa peduli dirinya ditertawakan oleh hadirin.

Memang cerita-cerita lucu dan cerdas sering dikaitkan dengan suku Madura meskipun mungkin tak benar-benar terjadi di Madura. Cerita antropolog asal Jerman yang melakukan penelitian di Madura pada awal tulisan ini, misalnya, menurut saya tak pernah terjadi di Madura. Cerita itu di-Madura-kan karena kelucuan, keluguan, kecerdikan, dan kecerdasan yang melekat pada orang Madura. Orang Madura sendiri bukanlah pemalas yang hanya suka tidur-tiduran dan bersantai.

Orang Madura pada umumnya punya etos dan semangat kerja yang tinggi. Hampir semua orang Madura hafal lagu ”kesukubangsaan” Madura tentang semangat dan kewajiban bekerja keras, yaitu lagu Tandhuk Majang dan Pajjhar Lagghu. Tandhuk Majang (Pulang Melaut) dan Pajjhar Lagghu (Fajar Pagi) adalah dua lagu kesukubangsaan yang menggambarkan betapa uletnya orang Madura dalam bekerja, menjelajah alam, serta mencari kehidupan siang dan malam.

Makanya, merantau ke mana pun, orang Madura pada umumnya bisa survive, bahkan berhasil membangun ekonominya dengan gemilang, mulai tukang sate, pedagang besi tua, akademisi, bahkan pejabat tinggi setingkat menteri atau kepala staf di lingkungan TNI dan Kapolri. Selain pekerja keras yang gigih, orang Madura juga dikenal sebagai orang yang agamais, egaliter, pemberani, dan sportif.

Setelah Jembatan Suramadu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010, masyarakat Madura mau tak mau harus menghadapi perkembangan dan melakukan pembangunan dengan sentuhan-sentuhan baru. Agar budaya dan karakter orang Madura yang membanggakan itu bertahan, prinsip dan rambu-rambu pembangunan di Madura harus diperhatikan.

Badan Silaturahmi Ulama-Ulama Se-Madura (Bassra) sudah menggariskan bahwa pasca-Suramadu, pembangunan untuk Madura harus diartikan sebagai pembangunan Madura, bukan pembangunan di Madura. Pembangunan Madura itu bertumpu pada empat hal: manusiawi, indonesiawi, islami, dan madurawi. Katakan, ”Aku bangga pada Madura.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar