Senin, 30 Maret 2015

Filep, Papua, dan Wajah Korban

Filep, Papua, dan Wajah Korban

Redem Kono  ;  Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta;
Ketua Divisi Akademi Pelita Jakarta
KOMPAS, 30 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Pada Selasa, 3 Maret 2015, seorang teman akrab menunjukkan sebuah buku berjudul Seakan Kitorang Setengah Binatang atau disingkat SKSB, dengan tambahan subjudul, Rasialisme Indonesia di Tanah Papua.

Buku ini berisi rangkuman wawancara atas Filep Karma, seorang tahanan politik di Papua karena sikap kritisnya terhadap Pemerintah Indonesia setelah wilayah Papua resmi menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Jika berbicara tentang perjuangan masyarakat Papua merebut kemerdekaan, posisi Filep Karma (selanjutnya disingkat Filep) menjadi sangat menarik. Berbeda dengan sejumlah gerakan separatis, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok militan lain yang memilih jalan kekerasan dan popor senapan, Filep memilih berjuang dengan cara yang damai dan demokratis.

Siapa itu Filep? Filep lahir pada 1959 dari sebuah keluarga terpandang di Papua. Andreas Karma, ayahnya, adalah seorang bupati populer di Papua pada zamannya (bupati Wamena pada 1970-an dan bupati Serui pada 1980-an). Ia belajar ilmu politik di Universitas Negeri Sebelas Maret-Solo (UNS), kemudian menjadi seorang pegawai negeri sejak 1987. Pada 1997, Filep memperoleh beasiswa untuk kuliah di Asian Institute of Management, Manila.

Pada 1998, sepulang dari Manila, Filep termasuk salah satu penyeru kemerdekaan Papua dan berpartisipasi dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak. Ia kemudian dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, tetapi dibebaskan karena tahapan banding pada November 1999. Namun, pada 2004, Filep kembali mendapat vonis hukuman selama 15 tahun penjara karena kembali mengibarkan bendera Bintang Kejora di Abepura, 1 Desember 2004.

Menentang kemapanan

Kini, Filep menjalani masa tahanan di Abepura, Papua. Sejumlah organisasi internasional, seperti Amnesty International (AI) dan Human Rights Watch (HRW) mendesak supaya Filep dibebaskan tanpa syarat. Akan tetapi, permohonan tersebut ditolak oleh Menteri Koordinator Politik dan Hukum Djoko Suyanto pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kata Suyanto, upaya pembebasan Filep ditolak ”untuk menjaga keamanan di kepulauan Indonesia”.

Pada umumnya sikap kritis Filep terhadap Indonesia didasarkan pada dua keprihatinannya. Pertama, rasialisme terhadap masyarakat Papua. Filep yang pernah mengecap pendidikan di dalam dan luar negeri tersebut menemukan bahwa penduduk Papua sering ditelaah dari kaca mata rasis. ”Kalau dipanggil Papua, di dalamnya ada penghinaan kulit hitam berdaki (hitam badaki), paling kotor (pangkotor), berbau busuk tak sedap (babau), tidak tahu mandi (tra tau mandi), telanjang, telinga berlubang (telinga balobang),” demikian kata Filep (SKSB, 2014: 28). Menurut Filep, rasialisme tersebut bahkan telah menembus dunia kerja, politik, interaksi sosial, dan lain-lain.

Kedua, fenomen korporatokrasi (kerja sama antara penguasa dan pengusaha) yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Meminjam Edward Said, tanah Papua adalah ”geografi imajinernya” wilayah barat Indonesia dan korporasi-korporasi internasional. Pemerintah dan korporasi- korporasi bisnis saling berkelindan untuk mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Mereka cenderung mengesampingkan pengembangan sumber daya manusia orang Papua. Alhasil, masyarakat Papua tersingkir di kampung halamannya sendiri.

Dua faktor miris ini membangkitkan perlawanan Filep. Namun, ia menolak untuk melawan atau memberontak dengan cara kekerasan. ”Jadi, kita lebih mengutamakan keinginan dengan cara damai. Dengan kasih, tanpa niat untuk melakukan pembalasan, untuk melakukan kekerasan atau tindakan brutal lainnya” (SKSB, 2014: 38). Oleh karena itu, ia menganjurkan prosedur demokratis. Penyampaian aspirasi secara demokratis dan diskursif harus menjadi pilihan utama, ketimbang pemaksaan hukum ”mata ganti mata, gigi ganti gigi”.

Jalan demokrasi yang dipilih membebaskan Filep dari sentimen nasionalisme sempit. ”Saya lebih mengutamakan masalah kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan” (SKSB, 2014: 30). Di mata Filep, kriteria etnisitas dan primordial bukanlah penentu utama pembebasan masyarakat Papua dari kemiskinan. Identitas kepapuaan ditentukan oleh perjuangan dan saling berbagi kasih, persaudaraan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Perjuangan untuk kesetaraan dan kemanusiaan dapat dilakukan dengan menghormati kesetaraan dan kemanusiaan. Kualifikasi warga Papua mengacu komitmen toleransi atas fakta multikulturalitas dan semangat demokrasi.

Karena itu, Filep tidak lupa melakukan otokritik terhadap bangsanya sendiri. Rakyat Papua masih terpasung dalam sentimen kedaerahan dan egoisme para pejabatnya sendiri. Hal ini sangat rentan terhadap politik adu domba, yang menyebabkan masyarakat Papua saling membunuh di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, Filep mengusulkan demokratisasi Papua, supaya masyarakat Papua dapat memahami apa hak-haknya. Untuk mencapai jalan ini, masyarakat perlu diberikan pendidikan politik, supaya dapat mengenal riwayat ketidakadilan dan represi yang ada di tengah-tengah mereka.

Perspektif korban

Publikasi SKSB coba menghadirkan Papua dari perspektif korban. Acap kali Papua cenderung didefinisikan dari sudut pandang Indonesia-Barat ataupun internasional sebagai alam dengan kekayaan melimpah. Kenyataannya, masyarakat Papua masih dililit kemiskinan di tengah kekayaan alam, tak ubahnya seperti tikus mati kelaparan di lumbung padi. Kapitalisme dan kepentingan politik menghambat impian rakyat Papua atas keadilan dan kesetaraan.

Papua membutuhkan pembacaan sejarah dari perspektif korban. Tentang pembacaan sejarah ini, penulis mengingat awasan Walter Benyamin. Menurut Benyamin, sejarah sering kali ditulis oleh pihak yang kuat dan yang menang (ataupun penguasa). Akibatnya, rekaman sejarah yang obyektif sering kali dipelintir atas nama kepentingan primordial, kepentingan politis, ataupun kepentingan ekonomi. Sejarah merefleksikan kejayaan para pemenang, dan mengeliminasi suara-suara korban dari gelimang peradaban.

Kesaksian jujur Filep Karma dari kacamata korban, hemat penulis, dapat memiliki sisi positif, yakni menunjuk pada perlunya momen rekonsiliasi. Dalam cengkeraman stigmatisasi, rasialisme, kekerasan, dan kemelaratan, kerinduan masyarakat Papua tentang rekonsiliasi perlu membutuhkan perhatian yang serius. Rekonsiliasi bertujuan mengadili para pelaku kekerasan dan ketidakadilan terhadap masyarakat Papua, serta membuka jalan-jalan solutif pembangunan masyarakat Papua yang berdaya di tanah mereka sendiri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, rasialisme, dan kapitalisasi masyarakat Papua atas nama kepentingan ekonomi dan politis harus ditinggalkan.

Penegakan kemanusiaan merupakan agenda penting yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi untuk menyembuhkan luka historis masyarakat Papua. Dalam salah satu bagian dari SKSB (hlm 16), Filep memberikan satu contoh pengalaman luka: di wilayah Biak Barat, terdapat seorang anak bernama ”Kodim”. Pasalnya, anak itu dilahirkan oleh seorang gadis yang diperkosa ketika Papua berada dalam operasi militer. ”Kodim” yang tidak memilih dilahirkan demikian harus dihukum masyarakat dengan stigma negatif; menjadi kambing hitam dari kebencian masyarakat Papua.

Kita perlu belajar dari para korban, mementaskan ikhtiar untuk mendengarkan teriakan dari para korban. Domain sejarah mesti tetap diperiksa agar tidak menyembunyikan sisi ketidakadilan, manipulasi epistemis, dan represi para pemegang status quo. Di hadapan para korban, manusia dapat menyadari dirinya sebagai pelaku dan korban sekaligus sehingga berusaha menghilangkan pengalaman negatif atau penderitaan orang lain. Teriakan para korban menjadi imperatif etis yang mengundang keberpihakan dan solidaritas profetik. Masyarakat Papua perlu didengarkan sebagai manusia bermartabat, bukan sekadar prioritas pembangunan material atau infrastruktur.

Sudah saatnya pemerintah negeri ini menoleh dan mendengar kan teriakan para korban. Pemerintah dapat memberikan jaminan kepastian dan pengadilan hukum yang adil terhadap para pelaku kekerasan. Rekonsiliasi dapat menjadi langkah awal penciptaan dunia baru bagi para korban; suatu dunia baru yang adil, solider, dan karitatif di tengah pusaran peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar