Selasa, 24 Maret 2015

Hati Nurani

Hati Nurani

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 22 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Di Youtube pernah saya temukan video yang sangat mengerikan tentang sederetan tawanan yang dijejerkan oleh tentara ISIS. Masing-masing dijaga oleh seorang tentara ISIS yang siap dengan pisau masing-masing. Tentara ISIS itu tidak bertopeng, sehingga tampak jelas wajah mereka yang rata-rata berjenggot. Setelah terdengar suara pidato yang saya tidak mengerti apa maksudnya (dalam bahasa Arab), para tawanan itu serempak dipaksa tengkurap, rambut ditarik, sehingga kepala mendongak ke atas, pisau ditempelkan dan sekejap kemudian kepala-kepala sudah terlepas dari tubuh masing-masing.

Saya melihat adegan itu dengan kedua tangan saya menutupi mata, tetapi sesekali jari direnggangkan untuk bisa mengintip. Kejam sekali. Tahukah mereka bahwa Islam adalah agama damai, bukan agama sadis? Punya hati nuranikah mereka? Lalu orang pada umumnya menjawab, ”Tidak, orang-orang ISIS ini tidak punya hati nurani.”

Tetapi pada kesempatan lain, saya mendapat kiriman video melalui WhatsApp tentang kamp latihan ISIS untuk anak-anak. Sejumlah anakanak dipakaikan baju dan ikat kepala hitam-hitam, dilatih bela diri dan menembak, setelah itu mereka terlihat bersama-sama sedang duduk, masing-masing menghadapi sebuah kitab Alquran, dan mereka bersamasama membaca kitab suci itu sambil bergoyang ke kanan dan ke kiri.

Terlihat senjata-senjata mereka dijejerkan di belakang mereka. Tidak mengherankan kalau anak-anak seperti ini nantinya akan tega saja menyembelih manusia seperti kita menyembelih kambing kurban. Terus, ke mana hati nurani itu? 

Di Youtube saya juga menemukan suatu adegan perdebatan antara seorang pejalan kaki yang berjalan di trotoar (kaki lima), dengan seorang pengendara sepeda motor yang mengendarai sepeda motornya di atas trotoar itu juga, tetapi melawan arus. Tampaknya pejalan kaki (PK) sudah kesal sekali terhadap pengendara motor (PM), sehingga dia menyetop salah satu pengendara motor yang ugal-ugalan itu dan mereka pun berdebat.

Kutipan dari dialog mereka, seingat saya, adalah sebagai berikut: PK: Mau ke mana lo ? PM: Mau ke situ. PK: Kenapa lewat sini? PM: Maksud lo ? PK: Lo tahu gak , pejalan kaki jalannya di mana? PM: Di trotoar PK: Nah, terus lo naik motor di mana? PM: Di trotoar.

PK: Terus, yang jalan kaki mau lo suruh jalan di mana? PM: Awas dong, gua mau lewat! PK: Lo lewat sana (sambil menunjuk ke arah belakang pengendara motor), balik! PM: Enggak, gua cuma mau ke situ doang , dekat. PK: Enggak bisa! Balik! Lo tahu gak jalannya motor? PM: Enggak apa-apa, gua udah biasa kok , lewat sini. PK: Enggak bisa! Balik!

Pengendara mencoba melewati pejalan kaki, tetapi pejalan kaki dengan gigih menghadang sehingga pengendara motor tidak bisa lewat. Tetapi akhirnya seorang lain yang kebetulan melintas mendekati mereka berdua, berbicara dengan pejalan kaki (mungkin menanyakan, ”Ada apa ini?”) dan kesempatan itu digunakan oleh pengendara motor untuk melarikan diri, tetap dengan melawan arus.

Mengendarai sepeda motor melawan arus sudah menjadi kebiasaan di Jakarta. Demikianlah pengakuan pejalan kaki tersebut. Pengakuan spontan yang tidak mengada-ada, karena di jam-jam tertentu rombongan sepeda motor memang bagaikan air bah menutup jalur yang berlawanan. Bukti bahwa menyerobot jalan adalah kebiasaan. Akibatnya tentu saja kemacetan total. Pertanyaannya, ke mana hati nurani?

Orang sering sekali menggunakan istilah hati nurani. Akhir-akhir ini istilah itu makin sering dilakukan oleh para pelaku atau pengamat politik. Kalau ada perselisihan, selalu diajukan agar kedua pihak duduk bersama dan menggunakan hati nurani masing-masing, pasti akan ada jalan keluar yang damai sejahtera, aman sentosa.

Seakanakan hati nurani adalah pemberian Tuhan yang sudah dibawa oleh setiap manusia sejak lahir sehingga hati nurani itu pasti versi orisinalnya seragam. Dengan begitu, ketika kita duduk bersama, membersihkan diri dari emosi atau kepentingan pribadi atau golongan, hati nurani yang orisinal bisa mencuat lagi dan itulah yang membuat para pihak yang berbeda pendapat bisa mencari titik temu.

Tetapi dalam kenyataannya, hampir tidak pernah terjadi kesepakatan berdasarkan seperti itu. Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, sudah diperdebatkan panjang lebar di DPR. Sehingga, mestinya, kalau hati nurani itu yang bermain, masalahnya akan dengan cepat rampung. Kenyataannya, kasus Bank Century diakhiri dengan voting. Jadi terbuktilah bahwa hati nurani itu tidak seragam, sehingga perlu divoting.

Di dalam psikologi, tidak ada istilah hati nurani. Yang ada adalah kebiasaan. Kebiasaan yang diajarkan oleh orang tua sejak masa kanak-kanak, itulah yang akan terbawa terus sampai dewasa. Sigmun Freud menyebutnya sebagai super ego , yang akan mengarahkan perilaku individu sesuai dengan jalan yang benar dan menghindari yang tidak baik sesuai dengan anjuran atau didikan orang tua.

Tetapi kalau yang menanamkan kebiasaan itu bukan orang tua, melainkan ISIS, maka memenggal kepala orang dikategorikan baik oleh hati nurani. Demikian pula jika semua pengendara motor melawan arus, maka naik kendaraan dengan melawan arus dianggap biasa.

Maka, di sinilah diperlukan hukum, yang obyektif dan netral dan harus ditaati oleh semua orang, terlepas dari hati nurani masing-masing. Tetapi karena penegak hukum juga manusia, maka diciptakanlah sistem elektronik (e-government dll), sehingga mesin dan sistemlah yang menjalankan hukum itu, bukan hati nurani.

Tentu ujung-ujungnya yang mengelola sistem-sistem elektronik itu manusia juga, tetapi makin sedikit jumlah manusianya, makin kecil pula kemungkinan kesalahan. Apalagi kejahatan yang disengaja seperti korupsi atau manipulasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar