Sabtu, 28 Maret 2015

Mangkatnya Singa Pembangunan Singapura

Mangkatnya Singa Pembangunan Singapura

Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti Madya Institute for Research and Development, Jakarta
SINAR HARAPAN, 25 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Bapak arsitek pembangunan negeri Singapura yang sangat fenomenal, Lee Kuan Yew, meninggal pada Senin (23/3) di usia 91 tahun akibat serangan pneumonia. Ia salah satu legenda Asia yang dikenal luas di dunia internasional sebagai pemimpin sebuah negeri, tokoh politik, dan begawan pembangunan. Lee berhasil membawa Singapura dari negeri antah berantah, menuju negeri yang sangat disegani dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, bahkan Asia. Singapura menang karena unggul dalam sektor pengembangan jasa.

Singapura menjadi negeri transit dari berbagai bangsa besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, maupun negara maju di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Bangsa-bangsa itu mempercayai Singapura sebagai akses atau pintu masuk di kawasan Asia Tenggara. Faktor Lee sangat penting karena ia telah banyak berkiprah bagi kebijakan membuka keran deregulasi di Singapura.

Singapura saat ini boleh dibilang sebagai negeri adidayanya di kawasan Asia Tenggara, khususnya dalam bidang kemajuan ekonomi dan pendidikan. Banyak negara dan daerah, maupun tokoh politik yang mengagumi Singapura sekaligus menjadikannya contoh untuk diterapkan di kawasannya masing-masing. Sebut saja dari Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, hingga Presiden Rwanda Paul Kagame. Keduanya mengidolakan Singapura dan tokohnya Lee Kuan Yew sebagai arsitek pembangunan.

Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah terinspirasi dari Singapura, menjadikan Bantaeng yang dulu terkenal dengan semak belukar, sekarang telah berubah menjadi kabupaten dengan “sejuta” tempat wisata indah. Nurdin bercita-cita menjadikan Bantaeng sebagai Singapuranya Indonesia. Itu karena sebagian besar pusat pemerintahan dan fasilitas pelayanan publik dipindahkan di daerah pantai.

Daerah nun jauh di Afrika sana bernama Rwanda, presidennya terinspirasi Lee dalam membangun Singapura. Rwanda yang pernah dilanda konflik etnis berkepanjangan yang berujung genosida pada 1994 yang diperkirakan menewaskan 1 juta jiwa manusia, telah mendeklarasikan diri sebagai Singapuranya Afrika.

Rwanda di bawah Kagame yang terinspirasi dari Lee benar-benar sangat transformistik berubah besar-besaran. Bayangkan, tujuh tahun lalu di sana masih belum ada mesin ATM, supermarket, dan sangat sulit mencari alat telekomunikasi publik. Namun, kini di Rwanda telah ada berbagai jenis supermarket, lusinan mesin-mesin ATM dari bank-bank internasional, pelayanan telekomunikasi publik yang murah-meriah, serta akses internet rakyat.

Ada satu lokasi wisata di Rwanda yang sangat terkenal, yakni Pegunungan Gorila (Mountain’s Gorilla). Tujuh tahun lalu, pemerintah Rwanda berjuang keras supaya turis tertarik berkunjung dan membelanjakan uangnya untuk paket wisata seharga US$ 375. Namun, kini tidak cukup membayar paket wisata itu seharga US$ 500 karena sangat tingginya permintaan (demand).

Pemerintah Rwanda ingin memperbaiki dan memakmurkan negeri melalui sektor pariwisata, yang tentu ditopang dengan sistem keamanan domestik. Pembangunan hotel terjadi di mana-mana. Pemerintah Rwanda merangkul Korea Telecom untuk menunjang internet broadband nirkabel. Surganya restoran, dan yang terpenting juga meriahnya dunia pendidikan, seperti pembangunan universitas idesiakan pemerintah Rwanda. Bahasa nasional kedua mereka berpindah dari Prancis ke bahasa Inggris. Rwanda, seperti juga Singapura, telah bergabung dalam serikat Commonwealth atau negara-negara persemakmuran.

Kisah dari semuanya ialah pentingnya sosok pemimpin, seperti Lee, Kagame, maupun di Indonesia seperti Nurdin Abdullah. Bukan cuma soal popularitas, karisma, dan intrik politik untuk meraih kuasa dengan menggunakan berbagai jalan, melainkan pemimpin harus memiliki wawasan visioner yang membumi, mengerti strategi pembangunan, memahami apa yang dibutuhkan bagi negerinya, dan yang terpenting harus dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Lalu, apa pentingnya bagi negeri kita Indonesia?

Pelajaran untuk Indonesia

Sejak Reformasi 1998 hingga kini, negeri yang besar bernama Indonesia masih tertatih-tatih. Hendak kemana pembangunan bangsa besar ini mau dibawa? Jokowi memang telah mendeklarasikan akan dibawa ke arah pengembangan sektor kemaritiman, tetapi masih berusia “jabang bayi”. Secara menyeluruh arah kebijakan pemerintah belum terlalu kentara, apalagi dari sektor industri, pariwisata, ekonomi, sosial dan politik. Semuanya belum membuahkan hasil yang menggembirakan hingga saat ini.

Mestinya untuk membangun bangsa besar ini, pemerintah harus memfokuskan pada skala prioritas, misalnya melalui sektor kemaritiman seperti didengungkan Jokowi. Dari fokus skala prioritas itu, niscaya jika sudah berkembang dan maju maka akan terbuka jalan untuk sektor-sektor lain. Penetrasi pembangunan memang sangat lah diperlukan sehingga konsentrasi pembangunan dari kebijakan pemerintah tidak terpecah-pecah. Itulah yang dilakukan Singapura selama dipimpin Lee Kuan Yew.

Penetrasi pertama menjadikan negeri itu sebagai negeri jasa, lalu meningkat ke perdagangan, pariwisata, dan lain-lain. Itulah yang menjadikan Singapura hari ini sangat disegani dan terhormat bergaul dengan bangsa-bangsa besar lain, bahkan sebagai alat percontohan bagi negara-negara berkembang.

Seperti dikatakan Kagame, yang terpenting dari seorang pemimpin adanya kemauan (willingness) untuk “turun ke lapangan”, bekerja keras, “melipat lengan baju”, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan pemimpin yang pandai melakukan retorika, melainkan kosong makna serta tindakan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar