Senin, 30 Maret 2015

Membangun Sektor Pelayaran

Membangun Sektor Pelayaran

Carmelita Hartoto  ;  Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA); Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Logistik/Bendahara
KORAN SINDO, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Kita patut mengapresiasi Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo— Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memberikan perhatian kepada sektor maritim melalui program-program dalam rangka Tol Laut maupun untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Terlepas dari ada pro dan kontra, program tersebut memberikan harapan bagi sektor-sektor yang terkait kemaritiman, termasuk sektor pelayaran untuk lebih berkembang dan berdaya saing tinggi. Konsep tersebut akan memperkuat pencapaian selama 10 tahun terakhir sejak Indonesia mempertegas kembali pelaksanaan haknya untuk menerapkan asas cabotage bagi angkutan dalam negerinya.

Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sudah waktunya bagi bangsa Indonesia untuk mengembalikan kejayaan maritim nasional. ”Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita,” demikian kalimat yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat pidato pertama kali sebagai presiden Republik Indonesia.

Memang masih perlu kajian sejarah kapan Indonesia pernah mencapai kejayaan sebagai bangsa maritim sehingga kita tergerak dan berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Tetapi, di bidang transportasi laut, kita pernah memiliki catatan sejarah yang manis di mana pada 1960-an hingga 1980-an, pelayaran niaga nasional menguasai kegiatan angkutan laut dalam negeri dan konon menguasai lebih dari 70% muatan angkutan laut ekspor-impor.

Karena itu, memberikan perhatian yang lebih besar kepada sektor kemaritiman, khususnya di bidang angkutan laut, merupakan hal yang sangat fundamental menilik Indonesia sebagai bangsa maritim yang memiliki potensi ekonomi strategis yang sangat besar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Modal Penting

Kita mencatat bahwa memasuki medio tahun 1980-an, sektor pelayaran nasional mulai mengalami kemunduran. Puncaknya pada 2005 saat Indonesia benar-benar menjadi penonton di negerinya sendiri. Indikator kemunduran itu sebanyak 46% angkutan laut domestik dan 96% angkutan ekspor-impor Indonesia dikuasai perusahaan dan kapal-kapal luar negeri.

Entah berapa kerugian ekonomi yang harus ditanggung bangsa ini selama dua dasawarsa tersebut sebelum akhirnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional terbit. Yang jelas, selama pelayaran terpuruk, biaya ekonomi dan logistik menjadi sangat mahal, bahkan imbasnya masih dirasakan masyarakat Indonesia hingga sekarang. Mahalnya biaya logistik yang saat ini mencapai 23,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN serta indeks logistic performance index (LPI) yang buruk dibandingkan 2007 merupakan sisa dari masalah kondisi angkutan laut yang terpuruk sejak 1980-an tersebut.

Hanya, saat ini Indonesia telah memiliki modal untuk mengembalikan kejayaan maritim nasional, khususnya di bidang angkutan laut. Modal utamanya adalah success story asas cabotage yang berhasil dilaksanakan sejak 2005. Konsistensi Indonesia dalam menerapkan asas cabotage selama ini mampu menarik investasi untuk pembelian kapal hingga lebih dari USD18 miliar.

Tidak heran jika sekarang, pelayaran niaga nasional sudah mendekati sasaran utama untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dengan kemampuan mengangkut seluruh kargo domestik seperti yang pernah terjadi pada era 1960-an hingga 1980-an meski harus diakui, kapal niaga nasional belum bisa banyak berbicara pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia. Kapal-kapal nasional juga sudah banyak ragam dan tipenya.

Terdapat ratusan kapal-kapal untuk kebutuhan angkutan domestik seperti kapal jenis general cargo, kapal curah kering, kapal curah cair, kapal penumpang dan roro, maupun kapal-kapal peti kemas yang berkapasitas 1.500 TEUs. Populasi dan kapasitas kapal untuk angkutan antarpelabuhan dan pulau ini akan terus meningkat sejalan pertumbuhan muatan dan ketersediaan infrastruktur penunjangnya.

Di sisi lain, pelayaran nasional juga sudah membeli kapal-kapal yang memerlukan investasi sangat mahal serta berteknologi mutakhir seperti kapal jenis platform service vessel, anchor handling tug and supply di atas 12.000 horse power, very large crude carrier, very large gas carrier, kapal-kapal untuk kegiatan pengeboran minyak dan gas di laut, kapal penunjang kegiatan konstruksi lepas pantai maupun kapal untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi.

Kemajuan ini seharusnya sudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia melalui tarif angkutan laut yang semakin kompetitif, jaringan pelayaran yang semakin luas, dan disparitas harga bahan pokok yang dapat ditekan. Hingga kini tarif angkutan laut masih terkesan mahal banyak faktor pemicunya seperti tarif kepelabuhanan, biaya bongkar muat, waktu tunggu kapal, pajak-pajak yang tidak lazim di dunia internasional hingga kesenjangan muatan antarpelabuhan.

Langkah Cerdas

Apa yang sudah dicapai pelayaran saat ini bisa dikatakan sebagai satu langkah penting dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai bangsa maritim dalam perspektif angkutan laut. Langkah berikutnya bagaimana pelayaran nasional dapat berbicara banyak di kancah internasional yakni memperbesar peran pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia.

Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015—2019, Kabinet Kerja di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan target tinggi di bidang pelayaran seperti populasi kapal niaga nasional meningkat menjadi 21.111 unit pada 2019 dan jumlah perusahaan pelayaran mencapai 4.060 unit.

Jika merujuk pada data terakhir perkembangan populasi kapal nasional hingga Juli 2014, selama lima tahun ke depan akan ada tambahan kapal nasional sebanyak 7.075 unit dan perusahaan baru di bidang pelayaran sebanyak 980 unit perusahaan. Kondisi ini cukup menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan mengingat saat ini saja setidaknya 30% armada niaga nasional menganggur karena kesulitan muatan.

Salah satu solusi agar RPJM di bidang perkapalan tercapai, bagaimana pemerintah dapat mendorong meningkatkan pangsa pasar angkutan kapal niaga nasional pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia mengingat tidak kurang dari 91% kegiatan ekspor-impor komoditas Indonesia masih dikuasai kapalkapal luar negeri. Sejak 2010 organisasi pelayaran nasional INSA telah mendorong program angkutan ekspor-impor Indonesia menggunakan kapal nasional.

Program ini diusulkan sebagai bagian dari strategi lanjutan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Kementerian Perhubungan telah memberikan dukungannya untuk mewujudkannya, tetapi program ini melibatkan kementerian lain. Pada 2013 Kementerian Perdagangan telah merespons program tersebut dengan merencanakan untuk mengubah term of trade ekspor dari free on board (FOB) menjadi coast, insurance, and freight (CIF) hingga sejak awal 2014 lahir dan diberlakukanlah kebijakan ekspor dari Indonesia wajib menggunakan sistem pencatatan term CIF.

Tetapi, pencapaian tersebut belum mampu mendorong pemilik barang atau eksportir dan importir untuk beralih dari menggunakan kapal-kapal asing menjadi kapal-kapal berbendera Merah Putih. Akibat itu, hingga kini potensi ekonomi, devisa, dan penerimaan negara dari ongkos angkut mengalir deras ke luar negeri, padahal nilainya berkisar Rp80 triliun hingga Rp120 triliun per tahun.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa kemajuan industri pelayaran yang dicapai akan memberikan multiplier effect yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, baik terhadap aspek ekonomi, kedaulatan, sosial budaya, politik maupun pertahanan dan keamanan. Dengan sendirinya Indonesia telah kembali mencapai kejayaan di bidang maritim, khususnya di bidang angkutan laut.

Karena itu, kita berharap kepada Kabinet Kerja yang memiliki program andalan Tol Laut dan Poros Maritim dapat memelopori langkah cerdas dengan mempercepat penggunaan kapal berbendera Merah Putih pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia. Langkah ini penting melihat besarnya potensi ekonomi, penerimaan negara dan devisa yang selama bertahuntahun lamanya dibiarkan menguap ke luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar