Rabu, 25 Maret 2015

Menakar Otonomi Partai Politik

Menakar Otonomi Partai Politik

Wasisto Raharjo Jati  ;  Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Membincangkan masalah otonomi dalam tubuh partai adalah membicarakan mengenai independensi sebuah partai. Premis tersebut sesuai dengan fungsi partai politik sebagai komunikator politik yang menjadi penjembatan antara negara dan masyarakat. Namun demikian, membahas masalah otonomi dikaitkan dengan pembiayaan dan kekuasaan adalah persoalan tersendiri. Dikarenakan hal itu akan berimplikasi kepada fungsi partai politik sebagai pilar demokrasi.

Secara leksikal partai memiliki tiga tujuan, yakni office seeking (pengejar kuasa), rent seeking (pengejar materi), dan public seeking (peraih simpati publik) yang kemudian menghasilkan partai pemerintah dan partai oposisi. Meitzner (2013) menguji ketiga fungsi tersebut dalam dua perspektif yakni institusionalisasi dan juga kartelisasi partai.

Hasilnya bisa disimak bahwa pasca-Orde Baru, setiap partai politik tumbuh dengan pola relasi institusional bergaya tradisional, penjagaan relasi patrimonial dengan masyarakat, dan pola kartel yang menghasilkan adanya konsensus politik antarpartai politik. Implikasinya kemudian memunculkan beberapa isu strategis terkait partai politik di Indonesia, yakni munculnya isu pembiayaan partai, munculnya patron partai, dan juga munculnya penyanderaan negara.

Adapun kesemuanya tersebut bila dikulminasikan, kemudian menghasilkan temuan bahwa setiap partai politik pasca otoritarian Indonesia memiliki ”otonomi relatif” terhadap posisi tawar politik mereka dalam pemerintahan. Gagasan otonomi relatif sendiri pada dasarnya berasal dari rumpun teori negara pasca kolonial yang dapat diartikan sebagai ”perilaku otonom yang berusaha untuk melakukan subjugasi dan subordinasi terhadap kelas politik lainnya”.

Dalam kasus negara pasca kolonial, negara/ pemerintahan adalah arena status quo yang diperebutkan oleh ketiga kelas yakni kelas politik yang partai politik, kelas ekonomi yang diwakili oleh pengusaha/ borjuasi, kelas masyarakat yang diwakili kelas masyarakat sipil. Dalam hal ini, pertarungan dalam negara pascakolonial tersebut memunculkan kongsi kelas politik dan kelas ekonomi sebagai pemenang utama.

Kasus partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa otonomi relatif tersebut dibangun dengan cara menginjeksi logika ekonomi politik ke dalam perebutan kuasa. Hal itulah yang kemudian menampilkan partai politik memegang kuasa otonomi relatif dalam negara yang berusaha menundukkan kelas ekonomi dan kelas masyarakat sipil sebagai bagian dari penguasaan relatif terhadap kedua kelas tersebut.

Hal signifikan yang perlu dikaji mengenai derajat otonomi partai adalah relasinya dengan pembiayaan partai melalui anggaran. Status otonomi yang menempatkan partai sebagai aktor intermediary antara negara dengan masyarakat memungkinkan untuk mendapatkan dana guna operasionalisasi politiknya.

Kondisi tersebut menempatkan partai politik sebagai entitas strategis bagi para stakeholder untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam ranah politik. Konteks itulah yang justru menjadikan dimensi independensi yang diusung oleh partai politik malah mengarahkan pada patronase. Komoditisasi atas otonomi yang dimiliki partai politik itulah menjadikan orientasi partai politik justru mengarahkan pada kepentingan ekonomi-politik.

Hal itu bisa disimak dengan maraknya borjuasi yang kini mendirikan maupun menjadi pengurus partai. Yang terpenting dari membangun gagasan otonomi relatif dalam partai politik Indonesia terletak dalam dua isu penting, yakni figuritas dan pembiayaan.

Partai politik di Indonesia pada dasarnya bercorak presidential party, yakni partai politik sebagai personifikasi figur dan pembiayaan sendiri terkait dengan upaya partai dalam memenuhi kas partai supaya bisa tetap eksis dan survival dalam arena politik kompetitif. Kondisi tersebut kemudian yang meminggirkan dan menafikan dikotomi oposisi dan koalisi tersebut, semata-mata hanya mengejar kursi kekuasaan semata.

Operasionalisasi otonomi relatif sebuah partai sangat ditentukan oleh figur ketua umum sebagai chief of strategist. Peran itu diambil semata-mata untuk bisa menyelamatkan dan memenuhi kepentingan politik partai dalam negara. Maka tidaklah mengherankan, apabila dalam teorisasi otonomi relatif partai, kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi sendiri hanya akan menurut perintahnya ketua umum daripada ketua lembaga pemerintahan sekalipun.

Hal itu disebabkan semua kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi adalah petugas partai atau pesuruh ketua umum dan bukan lagi abdi rakyat. Oleh karena itulah, pengamanan kepentingan partai politik yang utama adalah pembiayaan mesti segera dilaksanakan dan diamankan oleh segenap kader partai. Loyalitas yang kemudian menghasilkan lingkar kroni bersifat oligarki merupakan suatu kebutuhan bagi partai untuk menerapkan prinsip monoloyalitas demi kuasa yang dikejar.

Maka itulah, dalam kasus keterpilihan kepala eksekutif di Indonesia itu merangkap sebagai patron partai dengan tujuan mengamankan aliran pembiayaan baik bagi partai maupun kroninya. Pada akhirnya, kemudian, otonomi relatif yang terjadi dalam kasus konstelasi partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa presiden yang sebenarnya berkuasa adalah figur ketua partai.

Pola inilah yang menjelaskan kenapa loyalitas dan dedikasi bekerja para kader partai politik di pemerintahan maupun oposisi di parlemen sendiri menginduk pada kebijakan pembiayaan dan monoloyalitas yang dititahkan oleh sang ketua umum. Jika demikian adanya, wajah politik di Indonesia sendiri adalah warisan patrimonalisme tradisional yang kemudian mengalami transformasi dalam era demokrasi modern.

Sudah sewajarnya apabila praktik politik koruptif dan kolutif seperti demikian disudahi saja karena negara sendiri arena pengabdian bagi publik sebagai demos dan bukan partai kepada ketuanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar