Kamis, 26 Maret 2015

Menyoal Dana Parpol

Menyoal Dana Parpol

Bawono Kumoro  ;  Peneliti Politik di The Habibie Center
REPUBLIKA, 24 Maret 2015

Artikel ini telah dimuat di KORAN SINDO 19 Maret 2015
                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Usul pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini usul itu datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Politisi PDI Perjuangan itu mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai peserta pemilihan umum mendapat dana Rp 1 triliun per tahun dari pemerintah.

Sikap pro dan kontra pun bermunculan. Bagi para fungsionaris dan elite partai politik usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin eksistensi mereka di langgam politik nasional.

Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat demokrasi, usul itu dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung mengecewakan. Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi dasar --komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik-- tetapi juga karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.

Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber daya besar agar dapat mendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses. (Jacobson, 1980: 33).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 2 Tahun 2008 memang telah mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai politik.

Pertama, iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal oleh partai politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undang-undang mengenai besaran iuran anggota. Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian besar partai politik tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para anggotanya.

Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 UU Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan dimaksud. Pertama, perseorangan anggota partai politik pelaksanaan diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Kedua, perseorangan bukan anggota partai politik paling banyak senilai Rp 1.000.000.000 per orang dalam waktu satu tahun anggaran. Ketiga, perusahaan dan/atau badan usaha paling banyak senilai Rp 7.500.000.000 per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu satu tahun anggaran.

Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Deaerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara.

Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai --pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah-- maka sumber-sumber keuangan di atas tidak lagi mencukupi. Hal itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan sumber keuangan di anggaran negara.

Partai politik pun mulai melakukan perburuan rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente dilakukan partai politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik.

Secara umum ada dua modus utama perburuan rente oleh partai politik. Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah.

Kedua, melalui lembaga eksekutif. Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki akses dana besar. Perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.

Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana siluman Rp 12,1 triliun dalam APDB DKI Jakarta merupakan sejumlah contoh kasus perburuan rente dilakukan partai politik.

Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politk semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus Klitgaard C=D+M-A (C: Corruption, D: Discretion, M: Monopoly, dan A: Accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan elite politik. (Klitgaard, 2002: 29).

Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat publik merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan.

Berbagai kasus korupsi melibatkan partai politik diduga masih akan terus terjadi. Apalagi partai politik di Indonesia belum mengendepankan pelembagaan transparansi dan akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan akuntabilitas partai politik, publik selama ini tidak pernah mengetahui dari mana saja asal-usul dana dimiliki oleh partai politik.

Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini didorong tiga hal. Pertama, praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia. Kedua, kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran tanpa disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban publik. Ketiga, ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana secara ilegal.

Selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran tentang sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh partai politik. Salah satu sumber dana alternatif adalah melalui pemberian negara sebagaimana diusulkan Menteri Dalam Negeri.

Dasar utama usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik dalam kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung jawab negara agar partai politik berfungsi optimal.

Alasan lain selama ini marak praktik korupsi menggerogoti APBN dan APBD. Praktik kotor itu tidak sedikit dilakukan para elite partai politik di legislatif dan eksekutif. Karena itu, ketimbang membiarkan penggalangan biaya politik melalui cara-cara merugikan negara, maka lebih baik dialokasikan anggaran lebih besar dari negara bagi partai politik. Bila merujuk pada usul Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 1 triliun per partai politik per tahun.

Namun, hemat penulis, pemberian dana negara kepada partai politik tidak harus berbentuk tunai. Pemberian dana negara kepada partai politik dapat dilakukan secara nontunai, seperti menyediakan saksi-saksi bagi setiap partai politik di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) saat pemilu berlangsung.

Selama ini cukup besar dana dikeluarkan oleh partai politik untuk membayar saksi saat pemilu berlangsung. Hal itu dirasakan sangat membebani keuangan partai politik bersangkutan. Apalagi jumlah TPS di seluruh Indonesia dalam setiap pemilu hampir mencapai 550 ribu TPS.

Pemberian dana kepada partai politik dari negara dalam bentuk nontunai seperti ini juga akan menjadi jalan tengah bagi sikap pro dan kontra terhadap usul pemberian Rp 1 triliun per partai politik per tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar