Jumat, 27 Maret 2015

Parmusi dan Partai Golkar

Parmusi dan Partai Golkar

Hajriyanto Y Thohari  ;  Wakil Ketua MPR 2009-2014
REPUBLIKA, 26 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Sejarah banyak menunjukkan betapa seringnya terjadi peristiwa yang sebenarnya hanya merupakan repetisi belaka dari pengalaman lama dan replika kejadian masa lalu. Bukan hanya itu, ada banyak paralelisme yang mencolok dalam perpolitikan Indonesia dulu, kini, dan mungkin esok.

Saya ingat betul bagaimana cerita almarhum Lukman Harun, mantan ketua Pemuda Muhammadiyah dan sekretaris jenderal Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) 1968-1973, tentang perpecahan yang melanda tubuh partai kaum Muslim modernis yang sempat digadang-gadang menjadi pewaris Masyumi itu.

Parmusi dibentuk di Jakarta (1968) dan dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo, seorang tokoh Muhammadiyah dan putra Ki Bagus Hadikusumo (ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dan salah satu perumus UUD 1945 yang legendaris itu). Kongres I Parmusi 4-7 November 1968 di Malang secara demokratis memilih Mr Moh Roem (ingat Perjanjian Roem-Royen?) sebagai ketua umumnya.

Namun, karena pemerintah Orde Baru saat itu tidak merestui (tidak mengesahkan, istilah sekarang) kepemimpinannya dengan alasan bahwa Roem itu tokoh yang tidak dikehendaki tampil lagi dalam pentas perpolitikan nasional, kepemimpinan Parmusi dikembalikan kepada Djarnawi Hadikusumo dengan sekjen Lukman Harun.

J Naro, salah seorang ketua Parmusi yang dari unsur Al-Wasliyah, secara mengejutkan pada 17 Oktober 1970 mengumumkan kepengurusan DPP Parmusi (istilah sekarang: DPP Penyelamat Partai atau "DPP Tandingan") dan mengklaim diri sebagai ketuanya. Apa yang terjadi kemudian bisa diduga dengan gampang: atas nama disiplin partai Djarnawi memecat J Naro, dan kemudian J Naro ganti memecat Djarnawi.

Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah parpol di Indonesia, terjadilah dualisme kepemimpinan; persis seperti yang kini terulang melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Setelah melalui berbagai macam pertemuan konsultasi, pemerintahan Presiden Soeharto yang sedang melakukan konsolidasi dan penataan sistem politik Orde Baru demi suksesnya pembangunan, kemudian—diminta atau tidak—mengambil langkah campur tangan untuk membenahi dualisme kepengurusan itu dengan mengesahkan susunan kepengurusan baru Parmusi melalui Surat Keputusan Presiden No 77 Tahun 1970 pada Sabtu, 14 November 1970, dengan mengangkat HMS Mintardja, salah seorang menteri negara sebagai ketua. Adapun Djarnawi Hadikusumo dan J Naro, pimpinan dua kubu yang berselisih, tidak masuk dalam kepemimpinan baru ini. Namun, belakangan J Naro menjadi salah satu ketua.

Baiklah, hal itu kita tinggalkan karena sudah menjadi bagian dari sejarah politik kepartaian Indonesia. Hal yang menarik untuk dikemukakan di sini adalah apa yang diceritakan oleh almarhum Lukman Harun: ketika J Naro membentuk kepengurusan tandingan itu mayoritas mutlak pengurus Parmusi tingkat wilayah dan daerah menyatakan berdiri di belakang DPP Parmusi di bawah kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo-Lukman Harun.

Soliditas dan solidaritas partai dirasakan sedemikian meyakinkan dan bahkan sangat mengagumkan dirinya. Djarnawi-Lukman Harun sangat terkesan dan terpukau oleh loyalitas dan militansi jajaran kepengurusan partai yang sedemikian membanggakannya.

Atas dasar keyakinan itulah, Djarnawi Hadikusumo melakukan perlawanan politik secara maksimal. Namun, apa yang kemudian terjadi di wilayah dan daerah? Alih-alih ikut berjuang melawan sampai titik darah penghabisan, begitu angin politik kekuasaan menunjukkan tanda-tanda keberpihakan pada kepengurusan baru yang disahkan pemerintah itu, pelan tapi pasti dan sedikit demi sedikit dukungan pimpinan wilayah dan daerah kepada DPP Parmusi Djarnawi mulai mengendur, mengendur, dan mengendur untuk kemudian "balik kanan" meloncat mendukung DPP yang mendapat pengesahan pemerintah.

Djarnawi dan Lukman Harun akhirnya tinggal sendirian laksana nyanyi sunyi seorang bisu. Apakah keduanya menyerah kalah? Tidak begitu jelas catatan yang tersedia dalam sejarah. Hal uang pasti, fakta politik menunjukkan langkah pengesahan kepengurusan yang diambil pemerintah dipandang sebagai penyelesaian yang "efektif" untuk mengatasi dualisme kepengurusan parpol sekaligus konsolidasi politik bagi dirinya.

Pemerintah selalu turun tangan setelah kedua belah pihak yang bertikai (dibuat) gagal menyelesaikan perpecahan internalnya sendiri secara mandiri sehingga terbukalah celah pihak eksternal untuk bermain.

Lukman Harun mengatakan—ini poin penting dalam tulisan ini—"Di negeri dengan kultur politik semacam ini janganlah pernah melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal. Kalian akan kalah!"

Pemerintah itu mempunyai banyak instrumen kekuasaan untuk memenangkan sebuah pergumulan politik. Itulah mengapa pemerintahan sering disebut dengan "penguasa" karena memang berkuasa. Meski tidak mahakuasa seperti Tuhan, tetap saja yang namanya pemerintah itu penguasa yang mempunyai alat-alat kekuasaan untuk memenangkan kepentingannya. Itulah watak kekuasaan di negeri ini, tidak dulu, tidak sekarang.

Kini, nyatalah bagi kita apa yang terjadi dalam tubuh PPP dan Partai Golkar sekarang ini merupakan repetisi pengalaman lama dan replika masa lalu belaka. Apa yang dulu menimpa Parmusi (1970) kini terulang lagi: menimpa Partai Golkar (2015).

Dulu ada SK Presiden No 77 Tahun 1970 tentang Pengesahan Pengurus Parmusi tertanggal 14 November 1970 dan kini ada SK Menteri Hukum dan HAM No M.HH-01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Komposisi Personalia Partai Golkar tertanggal 23 Maret 2015. Mungkin tidak sama, tetapi ada paralelisme yang mencolok dalam dua kasus, dua parpol, di "dua era" itu.

Akhirnya, ini yang lebih menarik lagi, apa yang menimpa Parmusi terjadi pada masa sebelum Reformasi, dan apa yang menimpa Partai Golkar terjadi pada era Reformasi yang demokratis. Lantas, mungkin ada yang bertanya, apakah yang membedakan pemerintahan yang otoriter dan yang demokratis itu? Apres nous le deluge. Artinya, kira-kira, embuh ora weruh! Aku ora melu-melu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar